Kisah Ibnu Umar: Memiliki Libido Tinggi, Berbuka Puasa dengan Jimak
loading...
A
A
A
Perawi Hadis
Karena ketekunannya selalu mengikuti langkah Nabi, dia pun sering menjadi perawi hadis. Namun, dia selalu bersikap hati-hati dalam menyampaikannya. Dia tidak akan menyampaikan hadits Rasulullah, jika tidak ingat dengan seluruh kata-kata Rasulullah. Ini karena dia tidak ingin terselip atau berkurangnya satu huruf saja dari apa yang disampaikan Rasulullah.
Tak hanya itu, ketika memberikan fatwa, dia tetap berhati-hati dan menjaga diri. Dia pun tidak berijtihad karena khawatir fatwa yang diberikannya salah.
Dia menolak ketika ditawari jabatan hakim oleh Khalifah Utsman bin Affan . Karena amanah itu hanya ada tiga macam; hakim yang tanpa ilmu dan hakim yang menggunakan nafsu akan masuk neraka. Sedangkan hakim yang ijtihadnya benar adalah yang adil, tetapi tidak berdosa dan tidak berpahala.
Utsman berharap alasan tersebut tidak tersebar karena khawatir banyak masyarakat yang mengikuti jejaknya, sehingga tak ada lagi yang mau menerima jabatan hakim. Namun, bukan berarti tindakan Abdullah adalah kurang tepat. Karena dia berpikir masih banyak sahabat Rasulullah yang dapat memegang jabatan tersebut. Abdullah berharap untuk selalu meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Taala.
Apalagi, saat itu Islam sedang berjaya, umat Islam begitu mudah mendapatkan harta dan jabatan. Maka hal itu menjadi ujian bagi Abdullah.
Ketika remaja, Abdullah pernah bermimpi. "Di masa Rasulullah SAW saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingin di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana. Hafshah, saudaranya, menceritakan mimpi tersebut kepada Rasulullah."
Sang Nabi berkata Abdullah akan menjadi laki-laki yang paling utama masuk surga, seandainya dia sering sholat malam dan banyak melakukannya.
Sejak saat itu hingga ujung usia, dia tak pernah meninggalkan qiyamul lail saat bermukim maupun menjadi musafir. Dia menghidupkan malam dengan sholat, membaca Al-Quran dan berzikir menyebut Allah hingga bercucuran air mata ketika mendengar ayat Al-Quran tentang peringatan.
Menolak Menjadi Khalifah
Kendati berulang kali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, Ibnu Umar menolaknya. Hasan ra meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!"
Namun, Ibnu Umar menyahut: "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku." Massa di luar mengancam: "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"
Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan.
Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.
"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka.
"Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran.
"Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang. Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."
Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. "Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya. Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur? Kita gempur mereka sampai mau berbaiat".
"Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," jawab Ibnu Umar.
Karena ketekunannya selalu mengikuti langkah Nabi, dia pun sering menjadi perawi hadis. Namun, dia selalu bersikap hati-hati dalam menyampaikannya. Dia tidak akan menyampaikan hadits Rasulullah, jika tidak ingat dengan seluruh kata-kata Rasulullah. Ini karena dia tidak ingin terselip atau berkurangnya satu huruf saja dari apa yang disampaikan Rasulullah.
Tak hanya itu, ketika memberikan fatwa, dia tetap berhati-hati dan menjaga diri. Dia pun tidak berijtihad karena khawatir fatwa yang diberikannya salah.
Dia menolak ketika ditawari jabatan hakim oleh Khalifah Utsman bin Affan . Karena amanah itu hanya ada tiga macam; hakim yang tanpa ilmu dan hakim yang menggunakan nafsu akan masuk neraka. Sedangkan hakim yang ijtihadnya benar adalah yang adil, tetapi tidak berdosa dan tidak berpahala.
Utsman berharap alasan tersebut tidak tersebar karena khawatir banyak masyarakat yang mengikuti jejaknya, sehingga tak ada lagi yang mau menerima jabatan hakim. Namun, bukan berarti tindakan Abdullah adalah kurang tepat. Karena dia berpikir masih banyak sahabat Rasulullah yang dapat memegang jabatan tersebut. Abdullah berharap untuk selalu meningkatkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Taala.
Apalagi, saat itu Islam sedang berjaya, umat Islam begitu mudah mendapatkan harta dan jabatan. Maka hal itu menjadi ujian bagi Abdullah.
Ketika remaja, Abdullah pernah bermimpi. "Di masa Rasulullah SAW saya bermimpi seolah-olah di tanganku ada selembar kain beludru. Tempat mana saja yang saya ingin di surga, maka beludru itu akan menerbangkanku ke sana. Hafshah, saudaranya, menceritakan mimpi tersebut kepada Rasulullah."
Sang Nabi berkata Abdullah akan menjadi laki-laki yang paling utama masuk surga, seandainya dia sering sholat malam dan banyak melakukannya.
Sejak saat itu hingga ujung usia, dia tak pernah meninggalkan qiyamul lail saat bermukim maupun menjadi musafir. Dia menghidupkan malam dengan sholat, membaca Al-Quran dan berzikir menyebut Allah hingga bercucuran air mata ketika mendengar ayat Al-Quran tentang peringatan.
Menolak Menjadi Khalifah
Kendati berulang kali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah, Ibnu Umar menolaknya. Hasan ra meriwayatkan, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!"
Namun, Ibnu Umar menyahut: "Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku." Massa di luar mengancam: "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"
Diancam begitu Ibnu Umar tak tergerak. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan.
Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.
"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka.
"Kenapa? Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran.
"Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang. Aku tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."
Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. "Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya. Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur? Kita gempur mereka sampai mau berbaiat".
"Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," jawab Ibnu Umar.