Nasehat Abu al-Aliyah kepada Santrinya dalam Belajar Al-Quran

Sabtu, 10 Juli 2021 - 14:20 WIB
loading...
A A A


Ketika terjadi peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, beliau memiliki sikap, beliau bercerita:

“Ketika terjadi peperangan antara Ali dan Mu’awiyah, saya termasuk orang yang bersemangat. Perang ketika itu lebih aku sukai daripada air dingin di musim kering. Maka saya mempersiapkan perlengkapan kemudian mendatangi mereka. Ternyata di hadapan saya telah berdiri dua barisan pasukan berhadapan yang tak kelihatan ujungnya. Jika satu barisan meneriakkan takbir maka barisan yang lainpun meneriakkan takbir. Jika yang satu meneriakkan La ilaaha Illallah, kelompok yang lainpun meneriakkan La ilaaha Illallah. Lalu saya bertanya-tanya kepada diriku sendiri: “Manakah di antara dua kelompok pasukan yang saya anggap kafir dan akan saya perangi? Manakah yang saya anggap mukmin sehingga saya akan berjihad bersamanya? Lalu aku tinggalkan keduanya dan pergi.”

Abu al-Aliyah sepanjang hidupnya masih merasakan kecewa, karena tidak bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau menggantinya dengan mendekati para sahabat yang utama, yang dekat hubungannya dengan Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lebih mengutamakan mereka atas dirinya sedangkan mereka lebih mengutamakan beliau atas diri mereka.

Sebagai bukti adalah tatkala Anas –pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan hadiah apel yang di tangannya kepada beliau. Maka beliaupun mengambilnya lalu menciumnya sambil berkata, “Apel yang telah disentuh oleh tangan yang pernah menyentuh tangan Rasulullah, apel yang telah disentuh oleh tangan yang mendapat kehormatan karena pernah menyentuh tangan Rasulullah.”

Contoh yang lain, tatkala Abu al-Aliyah menemui Abdullah bin Abbas yang saat itu menjadi gubernur Bashrah di bawah pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Abbas menyambutnya dengan sangat baik, beliau dudukkan di atas ranjangnya dan didudukkan di samping kanannya. Ketika itu majlis dihadiri oleh para pembesar Quraisy. Mereka saling melirik dan berbisik di antara mereka: “Tidakkah kalian melihat bagaimana Ibnu Abbas mendudukkan budak itu di atas ranjangnya?” Ibnu Abbas yang melihat gelagat mereka menoleh ke arah mereka dan berkata, “Sesungguhnya ilmu menambah kemuliaan orang yang mulia, dan meninggikan derajat pemiliknya di tengah manusia dan mendudukkan para raja laksana tawanan.”

Suatu tahun, Abu al-Aliyah bertekad untuk pergi berjihad fii sabilillah. Maka beliau mempersiapkan perbekalannya dan mengikatnya di atas kendaraannya bersama para mujahidin. Tatkala terbit waktu subuh, terdapat luka yang parah pada salah satu telapak kakinya. Kemudian rasa sakit tersebut semakin bertambah sedikit demi sedikit. Ketika seorang tabib menengoknya, dia berkata: “Ini terkenal aklah.” Beliau bertanya, “Apakah itu aklah?” Tabib berkata, “Yakni penyakit yang akan mematikan sel-sel dan merambat sedikit demi sedikit hingga mengenai seluruh tubuh.” Kemudian tabib tersebut meminta persetujuannya untuk memotong kakinya hingga setengah betis, maka beliaupun menyetujuinya.

Maka sang tabib menyiapkan perlengkapan amputasi, pisau untuk menyayat daging dan gergaji untuk memotong tulang. Kemudian tabib berkata, “Maukah Anda minum bius agar Anda tidak merasa kesakitan tatkala disayat dan dipotong kakinya?” Beliau menjawab, “Namun ada yang lebih baik untukku daripada itu.” Tabib bertanya, “Apa itu?” Beliau berkata, “Carilah untukku seorang qari’ yang membacakan Kitabullah, mintalah dia membacakan untukku ayat-ayat yang mudah dan jelas. Jika kalian melihat wajahku telah memerah, pandanganku mengarah ke langit, maka berbuatlah sesukamu.” Maka mereka pun melaksanakan permintaan tersebut dan mereka memotong kakinya.

Tatkala selesai amputasi, tabib berkata kepada Abu al-Aliyah, “Seakan Anda tidak merasakan sakit tatkala diamputasi.” Lalu beliau menjawab, “Karena saya tersibukkan oleh sejuknya kecintaan kepada Allah, merasakan kelezatan apa yang aku dengar dari Kitabullah sehingga melupakan panasnya gergaji.” Kemudian beliau pegang kaki beliau dengan tangannya dan beliau melihat kepadanya seraya berkata, “Jika aku bertemu dengan Rabb-ku pada hari kiamat nanti dan bertanya apakah aku telah berjalan dengan engkau (kaki yang telah dipotong) ke tempat yang haram sejak 40 tahun, atau aku telah berjalan denganmu pada tempat yang tidak diperbolehkan? Niscaya aku akan menjawab, ‘Belum pernah’ dan aku jujur terhadap kata-kataku insya Allah.”

Setelah itu, karena ketakwaan Abu al-Aliyah dan karena merasa dekatnya dengan hari kiamat serta persiapannya bertemu dengan Rabb-nya, beliau telah menyiapkan kain kafan untuk dirinya. Beliau memakai kafan tersebut sebulan sekali kemudian beliau kembalikan ke tempatnya. Beliau telah berwasiat 17 kali padahal beliau masih dalam keadaan sehat dan segar. Beliau memberikan batasan pada masing-masing wasiat. Jika batasan waktu telah habis beliau melihatnya lagi, mungkin beliau menggantinya atau mengundurkannya.

Pada bulan syawal tahun 93 H Abu al-Aliyah berangkat menjumpai Rabb-nya dengan membawa jiwanya yang suci. (Selesai)

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1476 seconds (0.1#10.140)