Tatkala Suami Masih Kafir, Kisah Mengharukan Zainab Putri Rasulullah

Jum'at, 29 Mei 2020 - 05:00 WIB
loading...
A A A
"Benarkah engkau telah berbuat demikian wahai Zainab?" Abu al-Ash bertanya dengan heran.

"Aku tidak akan mendustakan ayahku. Demi Allah, sebagaimana engkau kenal, beliau adalah ash-Shadiq al-Amin," jawab Zainab.

Selanjutnya putri sulung Rasulullah ini mengajak suaminya untuk masuk Islam dan tidak lagi menyembah batu dan para berhala sebagaimana yang dikerjakan oleh kaumnya. Zainab juga menyampaikan bahwa beberapa orang terhormat dari kaumnya telah lebih dahulu masuk islam, seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali ibn Abi Thalib, saudara sepupunya Utsman ibn Affan, dan Zubair ibn 'Awwam.

Abu al-Ash sangat gelisah. la berpikir begitu jauh tentang apa yang akan ia dengar dari keluarga dan kerabatnya bahwa sekiranya dirinya telah meninggalkan agama nenek moyang dan mengikuti agama istrinya.



Dengan suara tertekan, Abu al-Ash berkata kepada istrinya, "Wahai Zainab, demi Allah aku tidaklah meragukan kejujuran ayahmu. Tidak ada yang lebih aku sukai dibandingkan dengan menempuh jalan yang sama denganmu, wahai kekasih. Namun, aku tidak ingin jika dikatakan bahwa suamimu telah mengkhianati kaumnya dan kufur kepada nenek moyang demi menyenangkan istrinya. Apakah engkau telah memikirkan hal ini?"

Hijrah ke Madinah
Zainab merasa gagal meyakinkan Abu al-Ash. Di sisi lain, kaum Quraisy semakin keras memusuhi Rasululah SAW. Mereka selalu mengintai siapa saja yang menjadi pengikut Islam untuk menimpakan siksa dan tekanan kepada mereka, menjauhkan mereka dari harta benda dan rumah-rumah mereka, hingga terjadi pemboikotan mengerikan yang tercatat dalam sebuah lembaran dan digantungkan di pintu Kakbah.

Rasulullah bersama kaum mukminin tinggal di suatu daerah atau lembah yang wilayahnya dikuasai oleh Abu Thalib, di luar Makkah. Mereka tinggal di sana dalam pemboikotan yang berlangsung kurang lebih selama tiga tahun.

Enam bulan setelah catatan pemboikotan itu hancur, paman Rasulullah, Abu Thalib, meninggal dunia. Selanjutnya, tiga hari kemudian, Ummul Mukminin Khadijah al-Kubra, ibu dari para putri Rasulullah SAW, menyusul berpulang ke rahmatullah.



Suatu ketika, pagi Makkah tanpa keberadaan Rasulullah dan sahabat setianya Abu Bakar ash-Shiddiq. Malam sebelumnya, peristiwa hijrah telah terjadi. Rombongan hijrah mengarungi padang pasir di tengah kegelapan malam.

Rasulullah melakukan hijrah diikuti oleh semua sahabat dan semua orang yang beriman kepada beliau. Demikian juga halnya para putri Rasulullah lainnya Fathimah, Ummu Kultsum, dan Ruqayyah. Mereka hijrah menyusul sang Ayah.

Zainab menoleh ke kiri dan kanan. Dia tak menemukan ayah dan saudarinya di Makkah. "Di manakah ayah dan ibuku? Di manakah Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah? Di manakah Qasim dan Abdullah? Di manakah keluargaku? Mereka semua telah pergi dan meninggalkan diriku seorang diri di tanah yang gersang dan panas ini, di tengah orang-orang kafir dan durhaka," jerit Zainab dalam hati.

Zainab pergi menziarahi makam mendiang ibunya Khadijah. Ia menyirami tanah kuburan itu dengan air matanya dan membacakan apa yang telah ia pelajari dari madrasah nubuwah sang ayah.

Ibunya yang telah beristirahat dengan tenang di dalam kubur itu kini menjadi orang yang paling dekat dengan dirinya. Sementara itu, orang-orang yang ada di dekatnya kini semuanya menjadi jauh.

Satu pukulan berat bagi Zainab adalah karena sang suami belum mau masuk Islam sehingga suasana rumahnya dipenuhi dengan kegelisahan dan duka nestapa. Sang suami tetap kukuh menjadi penyembah berhala-berhala dan batu-batu. Nikmat yang mereka rasakan bersama berubah menjadi neraka.

Kini, tidak ada lagi yang ia miliki selain Allah yang kepada-Nya ia merendahkan diri dan berdoa agar diberi kesabaran.

Menebus Suami
Hati Zainab benar-benar pedih tatkala pecah perang Badar . Kaum musyrikin meminta suaminya, Abu al-Ash ibn Rabi', untuk pergi bersama mereka memerangi kaum Muslimin dan Rasulullah. (
Abu al-'Ash segera memenuhi panggilan itu. la pergi untuk berperang, tetapi dalam perang ini, ia jatuh menjadi tawanan kaum muslimin. Ketika mendengar suaminya tertawan oleh kaum Muslimin, kesedihan Zainab semakin dalam.

la menyesalkan karena suaminya itu memusuhi ayahnya sendiri, Rasulullah, yang tidak pernah memberikan kepadanya selain kebaikan dan kebenaran.

Abu al-Ash adalah seorang jutawan Makkah. Keluarganya tentu bisa menebus dirinya meski dengan harga yang mahal. Namun, sang istri, Zainab menginginkan untuk menebus sang suami dengan sesuatu yang lebih mahal daripada harta benda.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2573 seconds (0.1#10.140)