Alam Barzakh: Ruh Para Syuhada Tersimpan di Rongga Burung Hijau
loading...
A
A
A
Al-Quran tidak hanya menjelaskan tentang hari akhir , tetapi juga memberikan sekian banyak informasi menyangkut kejadian-kejadian saat kematian , kehidupan barzakh, dan peristiwa-peristiwa sesudahnya. Dengan kematian, seseorang beranjak untuk memasuki saat pertama dari hari akhir.
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa: "Siapa yang meninggal, maka kiamatnya telah bangkit". Kiamat ini dinamai "kiamat kecil". Saat itu yang bersangkutan dan semua yang meninggal sebelumnya hidup dalam satu alam yang dinamai "alam barzakh". Mereka semua menanti kedatangan kiamat besar, yang ditandai dengan peniupan sangkakala pertama.
... sehingga apabila datang kematian kepada seorang di antara mereka (yang kafir) ia berkata: "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku, agar aku berbnat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan." (Allah berftrman), "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (pemisah) sampai hari mereka dibangkitkan" (QS Al-Mu'minun [23]: 99-100).
Dari segi bahasa, "barzakh" berarti "pemisah". Para ulama mengartikan alam barzakh sebagai "periode antara kehidupan dunia dan akhirat ". Keberadaan di sana memungkinkan seseorang untuk melihat kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan di sana bagaikan keberadaan dalam suatu ruangan terpisah yang terbuat dari kaca. Ke depan penghuninya dapat melihat hari kemudian, sedangkan ke belakang mereka melihat kita yang hidup di pentas bumi ini.
Al-Quran melukiskan keadaan orang-orang kafir ketika itu dengan firman-Nya:
وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ
ٱلنَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدْخِلُوٓا۟ ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ ٱلْعَذَابِ
... Fir'aun beserta kaum (pengikut)-nya dikepung oleh siksa yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang. Dan (nanti) pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras" (QS Al-Mu'min [40]: 45-46).
Para syuhada ketika itu dilukiskan sebagai orang-orang yang hidup dan mendapatkan rezeki.
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati. Sebenamya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya (QS Al-Baqarah [2]: 154).
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Jangan sekali-kali menduga yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati. Sebenarnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan mereka memperoleh rezeki (QS Ali Imran [3]: 169).
Quraish Shihab dalam Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan sementara orang memahami "ketidakmatian atau kehidupan mereka" dalam arti keharuman dan kelanggengan nama mereka di dunia ini.
Kalau demikian, mengapa surat Al-Baqarah [2]: 154 di atas menyatakan "tetapi kamu tidak menyadarinya"? Bukankah keharuman nama itu kita sadari?
Kemudian apakah ganjaran "kekekalan nama" ini merupakan suatu keistimewaan? Bukankah ada yang gugur dan dikenal namanya secara harum, padahal hakikatnya ia tidak dinilai Allah sebagai syuhada karena kematiannya bukan fi sabilillah? Apakah dengan demikian dipersamakan antara yang baik dan yang buruk?
Di sisi lain, bagaimana pula halnya dengan para syuhada yang tidak dikenal dan alangkah banyaknya mereka. Bukankah Allah menyatakan bahwa mereka hidup dan mendapat rezeki? Kalau demikian apa rezeki mereka yang tidak dikenal itu? Apakah mereka tidak mendapatkannya? Kalau demikian di mana keadilan Ilahi?
Menurut Quraish Shihab, cukup banyak ayat yang dapat dijadikan titik pijak bagi adanya apa yang dinamai kehidupan di alam barzah. Bacalah misalnya surat Al-Baqarah (2): 28, Al-Mu'min (40): 11, dan lain sebagainya. "Memang ada juga yang berpegang pada surat Ya Sin [36]: 52 yang menceritakan ucapan orang-orang kafir saat ditiupnya sangkakala pertama yaitu: Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami?" jelasnya.
Mereka menyatakan bahwa ayat ini menginformasikan bahwa kaum kafir ketika itu merasa diri mereka tidur dan terhentak bangun dengan tiupan sangkakala. Jadi, dalih mereka selanjutnya adalah "Kalau memang mereka tidur dan terhentak dengan tiupan sangkakala, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa ada kehidupan di alam barzakh? Atau ada siksa dan nikmat kubur?"
Quraish berpendapat, pandangan ini bisa dipertimbangkan untuk diterima jika ayat tersebut berkata: "Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami?" Tetapi, redaksinya adalah "dari tempat tidur kami" yakni kubur.
Di sisi lain harus dipahami bahwa kubur yang dimaksud di sini bukannya sebidang tanah tempat jasad mereka dikuburkan, tetapi satu alam yang kita tidak tahu persis bagaimana keadaannya. Kalaulah ayat di atas dianggap "tidak jelas maknanya" atau yang diistilahkan oleh para ulama dengan mutasyabih, maka ayat-ayat lain yang maknanya cukup jelas (muhkam) seperti sekian banyak ayat yang telah disinggung sebelum ini -dapat menjadi patokan untuk memahaminya.
Hadis-hadis Nabi pun -dengan kualitas yang beraneka ragam- menurut Quraish, amat banyak yang berbicara tentang alam barzah, sehingga amat riskan untuk menolak keberadaan alam itu hanya dengan menggunakan satu atau dua ayat yang sepintas terlihat berbeda dengan keterangan-keterangan tersebut.
Ketika putra Nabi yang bernama Ibrahim meninggal dunia, Nabi saw bersabda: Sesungguhnya ada yang menyusukannya di surga (HR Bukhari).
Imam Ahmad ibn Hanbal, Ath-Thabarani, Ibnu Abi Ad-Dunya, dan Ibnu Majah meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Abu Said Al-Khudri, bahwa Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya yang meninggal mengetahui siapa yang memandikannya, yang mengangkatnya, yang mengafaninya, dan siapa yang menurunkannya ke kubur.
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa, apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang tempat tinggalnya (kelak di hari kiamat). Kalau dia penghuni surga, maka diperlihatkan kepadanya (tempat) penghuni surga; dan kalau penghuni neraka, maka diperlihatkan (tempat) penghuni neraka. Disampaikan kepadanya bahwa inilah tempatmu sampai Allah membangkitkanmu ke sana (HR Bukhari).
Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan sebuah riwayat bahwa Nabi saw setelah selesainya Perang Badar, menuju tempat pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang tewas ketika itu, dan memanggil nama-nama mereka satu per satu:
"Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai 'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar."
Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?"
Beliau menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka (tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab saya."
Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata:
"Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin Mas'ud tentang ayat, Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]: 169)."
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau bersabda, arwah mereka di dalam rongga burung (berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian menginginkan sesuatu?"
Mereka menjawab: "Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahnya di surga, ke mana pun kami kehendaki?"
Tuhan melakukan hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu(sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka dibiarkan."'
Sudah Dekat
Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib bahwa beliau bertanya kepada Yunus bin Zibyan: "Bagaimana pendapat orang tentang arwah orang-orang mukmin?"
Yunus menjawab: "Mereka berkata bahwa arwahnya berada di rongga burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita di bawah 'Arsy llahi."
Ali bin Abi Thalib berkomentar: Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau, wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah, ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum, sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia.
Boleh jadi ada saja yang bertanya bagaimana kehidupan itu? Quraish menjelaskan kita tidak dapat menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya hal tersebut lebih banyak merupakan kemungkinan, walaupun ada sekian riwayat yang dijadikan pegangan.
Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki "jasad berganda": pertama, jasad duniawi; dan kedua, jasad barzakhi. Mustafa dalam --Baina 'Alamain-- setelah mengutip sekian banyak pendapat ulama tentang hal di atas, berusaha untuk menjelaskan hal tersebut dengan teori frekuensi dan gelombang-gelombang suara. Contoh konkret yang dikemukakannya adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara yang berbeda-beda melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia saling masuk-memasuki, namun ia tidak menyatu dan tetap berbeda. Ini pula yang menjadikan kita tak dapat melihat sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat perbedaan frekuensi dan gelombang-gelombang itu.
Apa yang dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran, antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang sekarat:
{فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ
وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ
Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS AlWaqi'ah [56]: 83-85).
Atau firman-Nya:
فَلَآ أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ
وَمَا لَا تُبْصِرُونَ
Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata, dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya, sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua, dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban Nabi saw ketika kaum Muslim mempertanyakan pembicaraan beliau dengan Ahl Al-Qalib (tokoh-tokoh kaum musyrik yang tewas dalam peperangan Badar) sebagaimana dikemukakan di atas. (Mustafa Al-Kik dalam Baina 'Alamain hlm. 51)
Quraish Shihab menyimpulkan, akhirnya betapa pun terdapat sekian banyak ayat dengan penafsiran-penafsiran di atas, serta ada pula riwayat-riwayat dari berbagai sumber dan kualitas, namun kita tidak dapat mencap mereka yang mengingkari kehidupan barzakh, sebagai orang-orang yang keluar dari keimanan atau ajaran Islam, selama mereka tetap mengucapkan dua kalimat syahadat. "Ini disebabkan karena akidah harus diangkat dari nash keagamaan yang pasti, yaitu Al-Quran dan maknanya pun harus pasti. Sedangkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan di atas belum mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah," demikian Quraish Shihab.(
Dalam sebuah riwayat dinyatakan bahwa: "Siapa yang meninggal, maka kiamatnya telah bangkit". Kiamat ini dinamai "kiamat kecil". Saat itu yang bersangkutan dan semua yang meninggal sebelumnya hidup dalam satu alam yang dinamai "alam barzakh". Mereka semua menanti kedatangan kiamat besar, yang ditandai dengan peniupan sangkakala pertama.
... sehingga apabila datang kematian kepada seorang di antara mereka (yang kafir) ia berkata: "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku, agar aku berbnat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan." (Allah berftrman), "Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (pemisah) sampai hari mereka dibangkitkan" (QS Al-Mu'minun [23]: 99-100).
Dari segi bahasa, "barzakh" berarti "pemisah". Para ulama mengartikan alam barzakh sebagai "periode antara kehidupan dunia dan akhirat ". Keberadaan di sana memungkinkan seseorang untuk melihat kehidupan dunia dan akhirat. Kehidupan di sana bagaikan keberadaan dalam suatu ruangan terpisah yang terbuat dari kaca. Ke depan penghuninya dapat melihat hari kemudian, sedangkan ke belakang mereka melihat kita yang hidup di pentas bumi ini.
Al-Quran melukiskan keadaan orang-orang kafir ketika itu dengan firman-Nya:
وَحَاقَ بِآلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ
ٱلنَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا ۖ وَيَوْمَ تَقُومُ ٱلسَّاعَةُ أَدْخِلُوٓا۟ ءَالَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ ٱلْعَذَابِ
... Fir'aun beserta kaum (pengikut)-nya dikepung oleh siksa yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang. Dan (nanti) pada hari terjadinya kiamat, (dikatakan kepada malaikat): "Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras" (QS Al-Mu'min [40]: 45-46).
Para syuhada ketika itu dilukiskan sebagai orang-orang yang hidup dan mendapatkan rezeki.
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu) mati. Sebenamya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya (QS Al-Baqarah [2]: 154).
وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۢا ۚ بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Jangan sekali-kali menduga yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati. Sebenarnya mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan mereka memperoleh rezeki (QS Ali Imran [3]: 169).
Quraish Shihab dalam Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat menjelaskan sementara orang memahami "ketidakmatian atau kehidupan mereka" dalam arti keharuman dan kelanggengan nama mereka di dunia ini.
Kalau demikian, mengapa surat Al-Baqarah [2]: 154 di atas menyatakan "tetapi kamu tidak menyadarinya"? Bukankah keharuman nama itu kita sadari?
Kemudian apakah ganjaran "kekekalan nama" ini merupakan suatu keistimewaan? Bukankah ada yang gugur dan dikenal namanya secara harum, padahal hakikatnya ia tidak dinilai Allah sebagai syuhada karena kematiannya bukan fi sabilillah? Apakah dengan demikian dipersamakan antara yang baik dan yang buruk?
Di sisi lain, bagaimana pula halnya dengan para syuhada yang tidak dikenal dan alangkah banyaknya mereka. Bukankah Allah menyatakan bahwa mereka hidup dan mendapat rezeki? Kalau demikian apa rezeki mereka yang tidak dikenal itu? Apakah mereka tidak mendapatkannya? Kalau demikian di mana keadilan Ilahi?
Menurut Quraish Shihab, cukup banyak ayat yang dapat dijadikan titik pijak bagi adanya apa yang dinamai kehidupan di alam barzah. Bacalah misalnya surat Al-Baqarah (2): 28, Al-Mu'min (40): 11, dan lain sebagainya. "Memang ada juga yang berpegang pada surat Ya Sin [36]: 52 yang menceritakan ucapan orang-orang kafir saat ditiupnya sangkakala pertama yaitu: Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami?" jelasnya.
Mereka menyatakan bahwa ayat ini menginformasikan bahwa kaum kafir ketika itu merasa diri mereka tidur dan terhentak bangun dengan tiupan sangkakala. Jadi, dalih mereka selanjutnya adalah "Kalau memang mereka tidur dan terhentak dengan tiupan sangkakala, maka bagaimana bisa dinyatakan bahwa ada kehidupan di alam barzakh? Atau ada siksa dan nikmat kubur?"
Quraish berpendapat, pandangan ini bisa dipertimbangkan untuk diterima jika ayat tersebut berkata: "Siapakah yang membangkitkan kami dari tidur kami?" Tetapi, redaksinya adalah "dari tempat tidur kami" yakni kubur.
Di sisi lain harus dipahami bahwa kubur yang dimaksud di sini bukannya sebidang tanah tempat jasad mereka dikuburkan, tetapi satu alam yang kita tidak tahu persis bagaimana keadaannya. Kalaulah ayat di atas dianggap "tidak jelas maknanya" atau yang diistilahkan oleh para ulama dengan mutasyabih, maka ayat-ayat lain yang maknanya cukup jelas (muhkam) seperti sekian banyak ayat yang telah disinggung sebelum ini -dapat menjadi patokan untuk memahaminya.
Hadis-hadis Nabi pun -dengan kualitas yang beraneka ragam- menurut Quraish, amat banyak yang berbicara tentang alam barzah, sehingga amat riskan untuk menolak keberadaan alam itu hanya dengan menggunakan satu atau dua ayat yang sepintas terlihat berbeda dengan keterangan-keterangan tersebut.
Ketika putra Nabi yang bernama Ibrahim meninggal dunia, Nabi saw bersabda: Sesungguhnya ada yang menyusukannya di surga (HR Bukhari).
Imam Ahmad ibn Hanbal, Ath-Thabarani, Ibnu Abi Ad-Dunya, dan Ibnu Majah meriwayatkan melalui sahabat Nabi, Abu Said Al-Khudri, bahwa Nabi Saw. bersabda: Sesungguhnya yang meninggal mengetahui siapa yang memandikannya, yang mengangkatnya, yang mengafaninya, dan siapa yang menurunkannya ke kubur.
Imam Bukhari juga meriwayatkan bahwa, apabila salah seorang di antara kamu meninggal, maka diperlihatkan kepadanya setiap pagi dan petang tempat tinggalnya (kelak di hari kiamat). Kalau dia penghuni surga, maka diperlihatkan kepadanya (tempat) penghuni surga; dan kalau penghuni neraka, maka diperlihatkan (tempat) penghuni neraka. Disampaikan kepadanya bahwa inilah tempatmu sampai Allah membangkitkanmu ke sana (HR Bukhari).
Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya menuturkan sebuah riwayat bahwa Nabi saw setelah selesainya Perang Badar, menuju tempat pemakaman pemuka-pemuka kaum musyrik yang tewas ketika itu, dan memanggil nama-nama mereka satu per satu:
"Wahai penghuni al-qalib (sumur atau kubur). Hai 'Utbah bin Rabi'ah. Hai Syaibah bin Rabi'ah. Hai Umayyah bin Khalaf. Hai Abu Jahl bin Hisyam. Apakah kalian telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhan kalian dengan benar? Karena sesungguhnya aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku dengan benar."
Kaum Muslim yang ada di sekitar Nabi bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah engkau memanggil/berbicara dengan kaum yang telah menjadi bangkai (mati)?"
Beliau menjawab: "Kamu tidak lebih mendengar dari mereka (tentang) apa yang saya ucapkan, hanya saja mereka tidak dapat menjawab saya."
Di sisi lain Imam Muslim meriwayatkan bahwa Masruq berkata:
"Kami bertanya (atau aku bertanya) kepada Abdullah bin Mas'ud tentang ayat, Janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di jalan Allah adalah orang-orang mati, bahkan mereka hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapatkan rezeki (QS Ali 'Imran [2]: 169)."
Abdullah bin Mas'ud berkata: "Sesungguhnya kami telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw, dan beliau bersabda, arwah mereka di dalam rongga burung (berwarna) hijau dengan pelita-pelita yang tergantung di 'Arsy, terbang dengan mudah di surga ke manapun mereka kehendaki, kemudian kembali lagi ke pelita-pelita itu. Tuhan mereka "mengunjungi" mereka dengan kunjungan sekilas dan berfirman: "Apakah kalian menginginkan sesuatu?"
Mereka menjawab: "Apalagi yang kami inginkan sedangkan kami terbang dengan mudahnya di surga, ke mana pun kami kehendaki?"
Tuhan melakukan hal yang demikian terhadap mereka tiga kali dan ketika mereka sadar bahwa mereka tidak akan dibiarkan tanpa meminta sesuatu, mereka berkata: "Wahai Tuhan, kami ingin agar arwah kami dikembalikan ke jasad kami sehingga kami dapat gugur terbunuh pada jalan-Mu(sabilillah) sekali lagi. Setelah Tuhan melihat bahwa mereka tidak memiliki keinginan lagi di sana (lebih dari apa yang mereka peroleh selama ini) maka mereka dibiarkan."'
Sudah Dekat
Ada juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib bahwa beliau bertanya kepada Yunus bin Zibyan: "Bagaimana pendapat orang tentang arwah orang-orang mukmin?"
Yunus menjawab: "Mereka berkata bahwa arwahnya berada di rongga burung berwarna hijau di dalam pelita-pelita di bawah 'Arsy llahi."
Ali bin Abi Thalib berkomentar: Mahasuci Allah. Seorang mukmin lebih mulia di sisi Allah untuk ditempatkan ruhnya di rongga burung hijau, wahai Yunus. Seorang mukmin bila diwafatkan Allah, ruhnya ditempatkan pada satu wadah sebagaimana wadahnya ketika di dunia. Mereka makan dan minum, sehingga bila ada yang datang kepadanya, mereka mengenalnya dengan keadaannya semasa di dunia.
Boleh jadi ada saja yang bertanya bagaimana kehidupan itu? Quraish menjelaskan kita tidak dapat menjelaskan. Memang ada saja yang berusaha mengilmiahkan kehidupan di sana, tetapi agaknya hal tersebut lebih banyak merupakan kemungkinan, walaupun ada sekian riwayat yang dijadikan pegangan.
Mustafa Al-Kik, misalnya, berpendapat bahwa manusia memiliki "jasad berganda": pertama, jasad duniawi; dan kedua, jasad barzakhi. Mustafa dalam --Baina 'Alamain-- setelah mengutip sekian banyak pendapat ulama tentang hal di atas, berusaha untuk menjelaskan hal tersebut dengan teori frekuensi dan gelombang-gelombang suara. Contoh konkret yang dikemukakannya adalah radio yang dapat menangkap sekian banyak suara yang berbeda-beda melalui gelombang yang berbeda-beda. Walaupun ia saling masuk-memasuki, namun ia tidak menyatu dan tetap berbeda. Ini pula yang menjadikan kita tak dapat melihat sesuatu yang sebenarnya "ada" namun kita tak melihatnya akibat perbedaan frekuensi dan gelombang-gelombang itu.
Apa yang dikemukakan ini -menurutnya sejalan dengan informasi Al-Quran, antara lain yang berbicara tentang keadaan seorang yang sedang sekarat:
{فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ
وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ
Maka mengapa ketika nyawa telah sampai ke kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (yang sekarat), sedangkan (malaikat) Kami lebih dekat kepadanya darimu, tetapi kamu tidak melihat (QS AlWaqi'ah [56]: 83-85).
Atau firman-Nya:
فَلَآ أُقْسِمُ بِمَا تُبْصِرُونَ
وَمَا لَا تُبْصِرُونَ
Aku (Allah) tidak bersumpah dengan apa yang kamu lihat dan yang kamu tidak lihat (QS Al-Haqqah [69]: 38-39).
Kedua ayat mulia di atas mengemukakan teori gelombang dan getaran yang sangat jelas dan gamblang. Keduanya telah membagi materi menjadi dua macam, yang sejalan dengan tingkat bumi sehingga dapat dilihat oleh mata, dan yang tidak sejalan karena tingginya gelombangnya, sehingga tersembunyi dari pandangan dan tidak terlihat oleh mata. Dengan demikian kedua ayat tersebut menunjuk ke alam materi yang terasa oleh kita semua, dan alam lain yang tinggi yang tersembunyi dari mata kita. Teori ini juga menafsirkan kepada kita jawaban Nabi saw ketika kaum Muslim mempertanyakan pembicaraan beliau dengan Ahl Al-Qalib (tokoh-tokoh kaum musyrik yang tewas dalam peperangan Badar) sebagaimana dikemukakan di atas. (Mustafa Al-Kik dalam Baina 'Alamain hlm. 51)
Quraish Shihab menyimpulkan, akhirnya betapa pun terdapat sekian banyak ayat dengan penafsiran-penafsiran di atas, serta ada pula riwayat-riwayat dari berbagai sumber dan kualitas, namun kita tidak dapat mencap mereka yang mengingkari kehidupan barzakh, sebagai orang-orang yang keluar dari keimanan atau ajaran Islam, selama mereka tetap mengucapkan dua kalimat syahadat. "Ini disebabkan karena akidah harus diangkat dari nash keagamaan yang pasti, yaitu Al-Quran dan maknanya pun harus pasti. Sedangkan penafsiran-penafsiran yang dikemukakan di atas belum mencapai tingkat kepastian yang dapat dijadikan akidah," demikian Quraish Shihab.(
(mhy)