Hukum Puasa Rajab, dari Sunnah sampai Makruh

Rabu, 02 Februari 2022 - 11:03 WIB
loading...
Hukum Puasa Rajab, dari Sunnah sampai Makruh
Hukum puasa Rajab adalah sunnah, namun ada ulama yang memakruhkan. (Foto/Ilustrasi: Ist).
A A A
Hukum puasa Rajab oleh sebagian ulama dianggap sunnah. Hanya saja, sebagian ulama lainnya menganggap bid'ah karena hadits yang dijadikan dasar ibadah tersebut dhaif, bahkan ada yang palsu.



Ulama yang menganjurkan berpuasa Rajab di antaranya dirumuskan berdasarkan hadits sahabat Abdullah bin al-Harits al-Bahili. Beliau sangat rajin berpuasa. Beliau hanya makan di malam hari, sampai badannya kurus dan lemah. Nabi Muhammad SAW sampai ‘pangling’ (tidak mengenali) al-Bahili karena perubahan drastis pada kondisi fisik tubuhnya, padahal baru satu tahun tidak berjumpa.

Nabi akhirnya memberikan petunjuk agar al-Bahili mengurangi frekuensi puasanya. Nabi menyarankan agar al-Bahili berpuasa pada waktu-waktu tertentu, di antaranya adalah di bulan-bulan mulia (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

Nabi menganjurkan kepada al-Bahili agar berpuasa di bulan-bulan mulia dilakukan dengan jeda, sehari berpuasa sehari berbuka atau tiga hari berpuasa tiga hari berbuka. Berikut ini adalah bunyi lengkap haditsnya:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ الله أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Dari Mujibah al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/kurus).

Ia berkata, "Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?"

Rasul menjawab, "siapakah engkau?"

Ia menjawab, "Aku al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam."

Nabi menjawab, "Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar)."

Ia menjawab, "Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu."

Nabi berkata, "Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya."

Al-Bahili berkata, "Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa)."

Nabi menjawab, "Berpuasalah dua hari."

Ia berkata, "Mohon ditambahkan lagi ya Rasul."

Nabi menjawab, "Berpuasalah tiga hari."

Ia berkata, "Mohon ditambahkan lagi ya Rasul."

Nabi menjawab, "Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah."

Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya.” (HR Abu Daud).



Mengomentari redaksi “Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya”, Syekh Abu al-Thayyib Syams al-Haq al-Adhim dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan:

“Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia sekehendakmu. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukan bahwa al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari."

"Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh al-Sindi. Wallahu A’lam.”

Dalam hadits tersebut Nabi memerintahkan kepada Sahabat al-Bahili agar puasa di bulan Rajab tidak dilakukan secara terus-menerus, akan tetapi diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka. Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.

Menafsirkan hadits ini ada ulama yang berpendapat bahwa anjuran Nabi tersebut konteksnya hanya berlaku bagi orang yang tidak mampu berpuasa penuh di bulan Rajab, seperti al-Bahili. Di dalam awal hadits ditegaskan bahwa al-Bahili memang tidak kuat berpuasa, ia memaksakan diri hingga menimbulkan dampak yang buruk untuk kesehatannya. Sehingga wajar bila Nabi membatasi frekuensi puasa Rajab al-Bahili.

Adapun orang yang mampu berpuasa penuh di bulan Rajab, maka sunah bagi dia untuk melakukannya. Syekh Abdul Hamid al-Syarwani mengutip statemen Syekh Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan:

“Dan di dalam kitab al-I’ab juga disebutkan, Abu Daud dan lainnya meriwayatkan, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi memerintahkan al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat, sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits.”

أَمَّا مَنْ لَا يَشُقُّ عَلَيْهِ فَصَوْمُ جَمِيعِهَا لَهُ فَضِيلَةٌ وَمِنْ ثَمَّ قَالَ الْجُرْجَانِيُّ وَغَيْرُهُ يُنْدَبُ صَوْمُ الْأَشْهُرِ الْحُرُمِ كُلِّهَا اهـ

“Adapun orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan. Karena itu, Syekh al-Jurjani dan lainnya mengatakan sunah berpuasa penuh di bulan-bulan mulia.” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, juz 3, hal. 461).



Makruh
Sementara itu, laman Al-Manhaj menjelaskan ulama yang berpendapat bahwa puasa di bulan Rajab sebagai bid'ah karena tidak ada dalil yang kuat. Ibnu Rajab berkata: “Tentang puasa tidak ada satu pun hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabatnya tentang keutamaan puasa Rajab secara khusus.”

Para ulama salaf juga melarang puasa Rajab seluruhnya. Diriwayatkan dari Umar bin Khatab Ra bahwa ia memukul tangan orang-orang yang puasa Rajab hingga mereka meletakkannya pada makanan (membatalakan puasanya) seraya berkata: “Apakah Rajab itu? Bulan ini dulu dimuliakan orang-orang jahiliyah, setelah Islam datang hal ini ditinggalkan.”

Dalam riwayat lain: “ia tidak suka puasa Rajab dianggap sunah”

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Ra ia melarang puasa penuh pada bulan Rajab. Dari Abu Bakrah Ra ia melihat keluarganya bersiap-siap untuk puasa Rajab, ia berkata: “Apakah kalian menjadikan Rajab seperti Ramadhan?”.

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Ra ia berpendapat untuk tidak berpuasa beberapa hari pada bulan ini sedangkan Anas bin Malik dan Said bin Jubair dan yang lainnya memakruhkannya.

Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam bukunya “Tabyinul ajab bima warada fi fadhli Rajab” menerangkan: “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dan bisa dijadikan hujah tentang keutamaan bulan Rajab, baik puasa seluruhnya, puasa sebagian harinya, atau sholat pada malam tertentu darinya”

Wallahu'alam

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2480 seconds (0.1#10.140)