Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (3)
loading...
A
A
A
SEORANG musafir yang sedang dalam keadaan safar memang mendapatkan fasilitas untuk tidak berpuasa. Namun fasilitas itu hanya berlaku selama status orang itu sebagai musafir masih melekat. Ketika statusnya sudah tidak lagi melekat, maka otomatis fasilitas untuk boleh tidak berpuasa pun tidak lagi berlaku. ( Baca juga: Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (1) )
Lantas kapan berakhirnya status sebagai musafir?
Para ulama menetapkan beberapa hal yang menyebabkan status sebagai musafir itu berakhir, di antaranya adalah ketika orang itu berhenti di suatu tempat dan berniat untuk menetap atau tinggal di tempat itu, selain itu juga bila dia sudah sampai di rumahnya sendiri.
Dan juga ada hadis yang menyebutkan bahwa ketika menetap lebih dari 4 hari di suatu tempat, otomatis statusnya sebagai musafir berhenti.
Tiba di Rumah
Status seorang musafir akan berhenti tepat ketika orang itu sudah selesai dari perjalanannya. Dan hal itu ditandai ketika orang itu sudah kembali sampai di dalam rumahnya. Maka orang sudah sampai di rumah, sudah tidak mendapatkan keringanan untuk meninggalkan puasa. Karena sesampainya di rumah, statusnya sebagai musafir sudah berakhir.
Maka dia wajib berpuasa sebagaimana umumnya, begitu sampai di rumah. Dan terkait juga dengan ketentuan itu adalah dalam masalah keringanan untuk menjama' atau mengqashar salat. Orang yang sudah sampai di rumahnya dan sudah bukan lagi musafir, tentu sudah tidak boleh lagi menggunakan fasilitas untuk menjama' dan mengqashar salat. Kalau mau melakukannya, seharusnya dilakukan sebelum tiba di rumahnya. Intinya selama masih menjadi musafir.
Niat Untuk Menetap
Status sebagai musafir juga berakhir ketika dalam perjalanan, seseorang berniat untuk menetap dan menjadi penduduk suatu tempat.
Dasar dari hal ini adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah, maka ketika beliau tiba di kota suci itu, beliau sudah berniat untuk tinggal dan menetap.
Oleh karena itu maka kita tidak menemukan riwayat bahwa beliau masih melakukan jama' atau qashar salat. Sebab pada saat ketibaan itu, status beliau SAW langsung menjadi penduduk Madinah, sementara status beliau sebagai musafir sudah tidak lagi melekat.
Hal itu berbeda ketika sepuluh tahun kemudian beliau datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu status beliau bukan sebagai penduduk Makkah, meski beliau sebenarnya pulang ke kampung halaman yang asli. Sebab secara status, saat itu beliau sudah bukan lagi dianggap sebagai penduduk Makkah, melainkan sebagai warga dan penduduk Madinah.
Dan memang Rasulullah SAW tidak berniat untuk pindah atau menetap di kota Makkah. Makkah hanya menjadi tempat singgah sementara saja. Oleh karena itu kita mendapatkan riwayat bahwa selama di Makkah itu beliau tetap menjama' dan mengqashar salat, karena status beliau selama di Makkah adalah musafir.
Dalam hal ini kita perlu membedakan antara orang yang tiba di suatu kota untuk menetap dan menjadi penduduknya, dengan orang yang hanya berniat untuk singgah sementara.
Berhenti Lebih 4 Hari
Selama seseorang terus menerus berada di dalam safar, maka pada prinsipnya dia tetap terus mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Meskipun perjalanan itu memakan waktu berbulan-bulan.
Namun bila dalam perjalanannya itu, seseorang singgah dan bermukim di suatu tempat dalam waktu yang agak lama, walaupun tidak berniat untuk menjadi penduduk di sana, maka status kemusafirannya akan hilang.
Jumhur ulama, diantaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menetapkan batas seorang musafir boleh berhenti dan bermuqim di satu titik 4 hari paling lama, di luar hari kedatangan atau hari kepergiannya lagi.
Jumhur ulama, diantaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menetapkan batas seorang musafir boleh berhenti dan bermuqim di satu titik 4 hari paling lama, di luar hari kedatangan atau hari kepergiannya lagi.
Dasar pendapat jumhur ulama adalah perbuatan Rasulullah SAW yang selalu mengqashar salatnya selama 4 hari, tatkala beliau mengerjakan ibadah haji. Beliau mengqashar salat sejak tanggal 9 hingga tanggal 12 Dzulhijjah, yaitu sejak beliau mulai wuquf di Arafah, lantas bergerak malamnya dan mabit di Muzdalifah, lalu ke Mina dan menginap lagi di sana hingga tanggal 12 Dzulhijjah. ( Baca juga: Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (2) )
Lantas kapan berakhirnya status sebagai musafir?
Para ulama menetapkan beberapa hal yang menyebabkan status sebagai musafir itu berakhir, di antaranya adalah ketika orang itu berhenti di suatu tempat dan berniat untuk menetap atau tinggal di tempat itu, selain itu juga bila dia sudah sampai di rumahnya sendiri.
Dan juga ada hadis yang menyebutkan bahwa ketika menetap lebih dari 4 hari di suatu tempat, otomatis statusnya sebagai musafir berhenti.
Tiba di Rumah
Status seorang musafir akan berhenti tepat ketika orang itu sudah selesai dari perjalanannya. Dan hal itu ditandai ketika orang itu sudah kembali sampai di dalam rumahnya. Maka orang sudah sampai di rumah, sudah tidak mendapatkan keringanan untuk meninggalkan puasa. Karena sesampainya di rumah, statusnya sebagai musafir sudah berakhir.
Maka dia wajib berpuasa sebagaimana umumnya, begitu sampai di rumah. Dan terkait juga dengan ketentuan itu adalah dalam masalah keringanan untuk menjama' atau mengqashar salat. Orang yang sudah sampai di rumahnya dan sudah bukan lagi musafir, tentu sudah tidak boleh lagi menggunakan fasilitas untuk menjama' dan mengqashar salat. Kalau mau melakukannya, seharusnya dilakukan sebelum tiba di rumahnya. Intinya selama masih menjadi musafir.
Niat Untuk Menetap
Status sebagai musafir juga berakhir ketika dalam perjalanan, seseorang berniat untuk menetap dan menjadi penduduk suatu tempat.
Dasar dari hal ini adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika beliau hijrah dari Mekkah ke Madinah, maka ketika beliau tiba di kota suci itu, beliau sudah berniat untuk tinggal dan menetap.
Oleh karena itu maka kita tidak menemukan riwayat bahwa beliau masih melakukan jama' atau qashar salat. Sebab pada saat ketibaan itu, status beliau SAW langsung menjadi penduduk Madinah, sementara status beliau sebagai musafir sudah tidak lagi melekat.
Hal itu berbeda ketika sepuluh tahun kemudian beliau datang ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Saat itu status beliau bukan sebagai penduduk Makkah, meski beliau sebenarnya pulang ke kampung halaman yang asli. Sebab secara status, saat itu beliau sudah bukan lagi dianggap sebagai penduduk Makkah, melainkan sebagai warga dan penduduk Madinah.
Dan memang Rasulullah SAW tidak berniat untuk pindah atau menetap di kota Makkah. Makkah hanya menjadi tempat singgah sementara saja. Oleh karena itu kita mendapatkan riwayat bahwa selama di Makkah itu beliau tetap menjama' dan mengqashar salat, karena status beliau selama di Makkah adalah musafir.
Dalam hal ini kita perlu membedakan antara orang yang tiba di suatu kota untuk menetap dan menjadi penduduknya, dengan orang yang hanya berniat untuk singgah sementara.
Berhenti Lebih 4 Hari
Selama seseorang terus menerus berada di dalam safar, maka pada prinsipnya dia tetap terus mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa. Meskipun perjalanan itu memakan waktu berbulan-bulan.
Namun bila dalam perjalanannya itu, seseorang singgah dan bermukim di suatu tempat dalam waktu yang agak lama, walaupun tidak berniat untuk menjadi penduduk di sana, maka status kemusafirannya akan hilang.
Jumhur ulama, diantaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menetapkan batas seorang musafir boleh berhenti dan bermuqim di satu titik 4 hari paling lama, di luar hari kedatangan atau hari kepergiannya lagi.
Jumhur ulama, diantaranya madzhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi’iyah dan Al-Hanabilah menetapkan batas seorang musafir boleh berhenti dan bermuqim di satu titik 4 hari paling lama, di luar hari kedatangan atau hari kepergiannya lagi.
Dasar pendapat jumhur ulama adalah perbuatan Rasulullah SAW yang selalu mengqashar salatnya selama 4 hari, tatkala beliau mengerjakan ibadah haji. Beliau mengqashar salat sejak tanggal 9 hingga tanggal 12 Dzulhijjah, yaitu sejak beliau mulai wuquf di Arafah, lantas bergerak malamnya dan mabit di Muzdalifah, lalu ke Mina dan menginap lagi di sana hingga tanggal 12 Dzulhijjah. ( Baca juga: Syarat Safar yang Bebas dari Perintah Puasa (2) )
(mhy)