Bolehkah Berkurban untuk Orang Lain?
loading...
A
A
A
Kurban merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Apalagi ibadah ini hanya datang setahun sekali. Tak sekadar mengandung nilai ibadah, kurban menjadi momentum untuk belajar kerelaan dan berbagi dengan sesama.
Salah satu pembelajaran tentang kerelaan dan berbagi di momen kurban ialah dengan berkurban untuk orang lain. Pertanyaannya, bolehkah berkurban untuk orang lain? Pahalanya kemudian untuk siapa?
Menjawab pertanyaan ini, Dewan Syariah Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ustaz Amir Faishol Fath menjelaskan bahwa kurban tidak melulu harus atas nama pribadi. Beliau menegaskan bahwa tidak ada dalil yang melarang seseorang berkurban untuk orang lain.
"Jadi misal Anda sepakat mau mengumpulkan uang, lalu uangnya anda berikan ke fulan, dan oleh fulan ini supaya dipakai kurban tahun ini. Ini boleh saja. Kurbannya atas nama fulan tersebut. Pahalanya juga untuk fulan tersebut," jelas Ustaz Amir.
Persoalan berkurban untuk orang lain, sebut Ustaz Amir, berbeda dari kurban bersama (patungan). Kurban patungan status pekurbannya adalah seluruh anggota yang tergabung dalam iuran hewan kurban. Sementara perihal berkurban untuk orang lain, status pekurban sekaligus pahala kurbannya adalah milik orang lain tersebut.
Rasulullah SAW pun pernah berkurban atas nama istri-istrinya. Diriwayatkan dalam hadis Imam Al-Bukhari dari Sayidah Aisyah radhiyallahu 'anha, berkisah: "Nabi shollallahu 'alahi wasallam pernah menemui Sayyidah Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu Sayidah Aisyah sedang menangis. Kemudian Nabi bertanya, "Kenapa? Apakah engkau sedang haid?" Sayidah Aisyah menjawab: "Iya". Beliau pun bersabda: "Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji namun jangan thawaf di Ka'bah. "Tatkala kami di Mina, saya didatangkan daging sapi. Saya pun berkata, "Apa ini?" Mereka (para sahabat) menjawab, " Rasulullah SAW melakukan udhiyah (berkurban) atas nama istri-istrinya dengan sapi."
Dari hadis tersebut diketahui bahwa Rasulullah pernah berkurban untuk istrinya tanpa seperizinan sang istri terlebih dahulu. Namun, bila seseorang hendak berkurban bukan untuk keluarganya atau orang lain, perlu mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan berkurban.
Hal ini sebagaimana riwayat Syekh Wahbah Azzuhaili dalam Kitabnya Alfiqhul Islami wa Adillatuhu bahwa ulama Syafiiyah berkata bahwa tidak boleh berkurban untuk orang lain tanpa seizin dari orang tersebut.
Berkurban untuk Orang yang Sudah Wafat
Sementara itu, hukum berkurban untuk orang yang sudah wafat, sebagian ulama membolehkannya. Hal ini merujuk pada hadis yang diriwayatkan Muslim dari Sayidah Aisyah bahwa Rasulullah pernah berkurban dengan mengucapkan: "Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad."
Salah satu pembelajaran tentang kerelaan dan berbagi di momen kurban ialah dengan berkurban untuk orang lain. Pertanyaannya, bolehkah berkurban untuk orang lain? Pahalanya kemudian untuk siapa?
Menjawab pertanyaan ini, Dewan Syariah Aksi Cepat Tanggap (ACT) Ustaz Amir Faishol Fath menjelaskan bahwa kurban tidak melulu harus atas nama pribadi. Beliau menegaskan bahwa tidak ada dalil yang melarang seseorang berkurban untuk orang lain.
"Jadi misal Anda sepakat mau mengumpulkan uang, lalu uangnya anda berikan ke fulan, dan oleh fulan ini supaya dipakai kurban tahun ini. Ini boleh saja. Kurbannya atas nama fulan tersebut. Pahalanya juga untuk fulan tersebut," jelas Ustaz Amir.
Persoalan berkurban untuk orang lain, sebut Ustaz Amir, berbeda dari kurban bersama (patungan). Kurban patungan status pekurbannya adalah seluruh anggota yang tergabung dalam iuran hewan kurban. Sementara perihal berkurban untuk orang lain, status pekurban sekaligus pahala kurbannya adalah milik orang lain tersebut.
Rasulullah SAW pun pernah berkurban atas nama istri-istrinya. Diriwayatkan dalam hadis Imam Al-Bukhari dari Sayidah Aisyah radhiyallahu 'anha, berkisah: "Nabi shollallahu 'alahi wasallam pernah menemui Sayyidah Aisyah di Sarif sebelum masuk Mekkah dan ketika itu Sayidah Aisyah sedang menangis. Kemudian Nabi bertanya, "Kenapa? Apakah engkau sedang haid?" Sayidah Aisyah menjawab: "Iya". Beliau pun bersabda: "Ini adalah ketetapan Allah bagi para wanita. Tunaikanlah manasik sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang berhaji namun jangan thawaf di Ka'bah. "Tatkala kami di Mina, saya didatangkan daging sapi. Saya pun berkata, "Apa ini?" Mereka (para sahabat) menjawab, " Rasulullah SAW melakukan udhiyah (berkurban) atas nama istri-istrinya dengan sapi."
Dari hadis tersebut diketahui bahwa Rasulullah pernah berkurban untuk istrinya tanpa seperizinan sang istri terlebih dahulu. Namun, bila seseorang hendak berkurban bukan untuk keluarganya atau orang lain, perlu mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum melaksanakan berkurban.
Hal ini sebagaimana riwayat Syekh Wahbah Azzuhaili dalam Kitabnya Alfiqhul Islami wa Adillatuhu bahwa ulama Syafiiyah berkata bahwa tidak boleh berkurban untuk orang lain tanpa seizin dari orang tersebut.
Berkurban untuk Orang yang Sudah Wafat
Sementara itu, hukum berkurban untuk orang yang sudah wafat, sebagian ulama membolehkannya. Hal ini merujuk pada hadis yang diriwayatkan Muslim dari Sayidah Aisyah bahwa Rasulullah pernah berkurban dengan mengucapkan: "Dengan nama Allah, ya Allah, terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan dari umat Muhammad."
(rhs)