Kisah Tabiin Cerdas Iyas Bin Mu’awiyah Al-Muzanni

Jum'at, 26 Juni 2020 - 10:23 WIB
loading...
Kisah Tabiin Cerdas Iyas Bin Mu’awiyah Al-Muzanni
Selain zuhud, Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni dikenal cerdas. Foto/Ilusttrasi/Ist
A A A
Iyas bin Mu’awiyah bin Qurrah al-Muzanni , lahir pada tahun 46 H di daerah Yamamah Najed. Kemudian beliau berpindah ke Bashrah beserta seluruh keluarganya. Menurut Dr Abdurrahman Ra'fat Basya dalam Mereka adalah Para Tabiin , di sanalah beliau tumbuh berkembang dan belajar. Beliau sering mondar-mandir ke Damaskus saat masih belia, tentunya untuk menimba ilmu dari sisa-sisa sahabat yang mulia dan tokoh-tokoh tabi’in yang agung. ( )

Tatkala Iyas masih muda, saat berada di Damaskus, beliau pernah bersengketa dengan salah seorang tua penduduk kota tersebut tentang suatu hak kepemilikan. Setelah putus asa menyelesaikan dengan satu argumen, maka masalah tersebut dibawa ke pengadilan.

Ketika keduanya telah berada di depan hakim, Iyas mengemukakan argumennya dengan suara lantang kepada rivalnya. Lalu di tegur oleh hakim, “Rendahkanlah suaramu wahai anak! Karena lawanmu adalah seorang yang besar baik secara usia maupun kedudukannya,” tegur Hakim.



“Akan tetapi kebenaran lebih besar dari dia,” Iyas berkilah.

“Diam!” kata Hakim dengan marah.

“Siapakah yang akan mengemukakan alasanku, jika aku diam?” balas Iyas.

“Aku tidak mendapatkan semua keteranganmu sejak masuk majelis ini selain kebathilan,” ujar Hakim.

Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalahu, jujurlah, apakah kata-kataku haq ataukah batil?” balas Iyas lagi.

“Benar! Demi Rabb-ul Ka’bah. Benar!” kata Hakim kemudian.



Pemimpin Muda
Semangat Putra al-Muzanni ini semakin membara untuk memperdalam ilmu. Hingga akhirnya sampailah pada suatu titik menakjubkan yang dikehendaki Allah. Sehingga orang-orang tua pun menaruh hormat kepadanya, belajar darinya meskipun beliau masih sangat belia.



Pada suatu tahun, ketika Abdul Malik bin Marwan mengunjungi Bashrah sebelum menjadi Khalifah, dia melihat Iyas yang masih remaja dan belum tumbuh kumisnya berada paling depan sebagai pemimpin, sedangkan di belakangnya ada empat orang qurra’ (penghafal al-Qur’an) yang sudah berjenggot panjang dan memakai pakaian resmi berwarna hijau.

“Celaka benar orang-orang berjenggot ini, apakah di sini tidak ada lagi orang tua yang bisa memimpin, sampai anak sekecil ini dijadikan pemimpin mereka?” ujar Abdul Malik, lalu menoleh kepada Iyas dan bertanya, “Berapa usiamu wahai anak muda?”



“Usiaku sama dengan usia Usamah bin Zaid saat diangkat oleh Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam sebagai panglima pasukan yang di dalamnya ada Abu Bakar dan Umar wahai Amir –semoga Allah memanjangkan umur Anda.”

“Kemari, kemarilah wahai anak muda, semoga Allah memberkatimu,” sambut Abdul Malik kemudian.

Melihat Hilal
Di suatu tahun, orang-orang keluar untuk mencari Hilal Ramadhan dipimpin langsung oleh sahabat utama Anas bin Malik al-Anshari. Ketika itu beliau telah berusia senja dan hampir mencapai umur 100 tahun.



Orang-orang memperhatikan seluruh penjuru langit, namun tidak menemukan apa-apa di langit. Akan tetapi, Anas terus mencari-cari lalu berkata, “Aku telah melihat Hilal, itu dia!” sambil menunjuk dengan tangannya ke langit, padahal tidak seorangpun melihatnya selain beliau.



Ketika itu Iyas memperhatikan Anas Radhiyallahu’anhu ternyata ada sehelai rambut panjang yang berada di alisnya hingga menjulur ke pelupuk matanya. Dengan santun dia meminta izin untuk merapihkan rambut Anas yang terjulur itu lalu bertanya, “Apakah Anda masih melihat Hilal itu wahai shahabat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wasalam.”


“Tidak! Aku tidak melihatnya… Aku tidak melihatnya…” kata Anas.

Tersebarlah berita tentang kecerdasan Iyas. Orang-orang berdatangan kepadanya dari berbagai penjuru untuk bertanya tentang ilmu dan agama. Sebagian ingin belajar, sebagian lagi ada yang ingin menguji dan ada pula hendak berdebat kusir.


Di antara mereka ada Duhqan (seperti jabatan lurah dan di kalangan Persi dahulu) yang datang ke majelisnya dan bertanya,

“Wahai Abu Wa’ilah, bagaimana pendapatmu tentang minuman yang memabukkan?” tanya Duhqan.

“Haram!” jawab Iyas singkat.


“Dari sisi mana dikatakan haram, sedangkan ia tidak lebih dari buah dan air yang diolah, sedangkan keduanya sama-sama halal?” ujar Duhqan mendebat.

“Apakah engkau sudah selesai bicara, wahai Duhqan, ataukah masih ada yang hendak kau sampaikan?” potong Iyas.

“Sudah, silahkan bicara!”



“Seandainya aku mengambil air dan kusiramkan ke mukamu, apakah terasa sakit?” ujar Iyas.

“Tidak!”

“Jika aku mengambil segenggam pasir dan kulemparkan kepadamu, apakah terasa sakit?” Iyas bertanya lagi.



“Tidak!” jawab Duhqan.

“Jika aku mengambil segenggam semen dan kulempar kepadamu, apakah terasa sakit?”

“Tidak!”

“Sekarang, jika kuambil pasir, lalu kucampur dengan segenggam semen, lalu aku tuangkan air di atasnya dan kuaduk, lalu kujemur hingga kering, lalu kupukulkan kepalamu, apakah terasa sakit?” ujar Iyas kemudian. ( )

“Benar. Bahkan itu bisa membunuhku,” ujar Duhqan membenarkan.

“Begitulah halnya dengan khamr,” kata Iyas. “Di saat kau kumpulkan bagian-bagiannya lalu kau olah menjadi minuman yang memabukkan, maka menjadi haram,” jelasnya. ( )
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1343 seconds (0.1#10.140)