Dialog Mesra Orang Tua Rasulullah SAW di Malam Pertama

Rabu, 28 September 2022 - 05:15 WIB
loading...
A A A


Membaca Masa Depan
Jauh sebelum itu, Sauda' binti Zahrah al-Kilabiyah, yang ketika ia lahir hampir saja dikubur hidup-hidup oleh ayahnya di daerah Hajun, seandainya sang ayah tidak mendengar suara berulang kali yang melarangnya dan ternyata ketika Sauda dewasa, ia menjadi wanita yang memiliki kemampuan membaca masa depan yang ulung. Kemampuan ini diberikan oleh Allah SWT.

Suatu ketika, Sauda' berkata kepada keluarga Zuhrah (keluarga Aminah): “Di antara kalian ada yang menjadi pemberi peringatan atau melahirkan pemberi peringatan.”

Lalu, ia meminta agar ditunjukkan kepadanya gadis-gadis, tetapi setiap datang gadis, ia selalu berkata, “Dia akan datang,” sampai akhirnya Aminah datang, maka Sauda berkata, “Inilah pemberi peringatan atau yang melahirkan pemberi peringatan.”

Abdullah dan Aminah, menurut para sejarawan, hidup bersama tidak lebih dari 10 atau 15 hari karena Abdullah harus segera berangkat bersama kafilah dagang suku Quraisy menuju Gaza dan Syam.

Kepergian Abdullah berniaga merupakan konsekuensi dari penegakan disiplin yang menjadi salah satu ciri keluarga besar Rasulullah SAW. Ia patuh kepada orangtuanya, seperti patuhnya ia ketika akan dikurbankan kala itu.

Dan, penegakan disiplin ini harus diutamakan daripada bersenang-senang berbulan madu karena perjalanan dagang ini merupakan kepentingan semua anggota suku, yang hasil keuntungannya dibagikan kepada seluruh anggota suku. Itulah latar belakang pujian Allah SWT kepada suku tersebut melalui firman-Nya dalam Surah Quraisy.

Abdullah berpamitan kepada keluarga besarnya dan berpesan agar mereka memperhatikan sang istri tercinta, Aminah, mengurus keperluannya, serta meringankan beban kesedihannya karena perpisahan dan kesendirian.

Abdullah juga berpamitan kepada sang istri, Aminah, seraya berkata, “Kepergianku hanya beberapa minggu. Kemudian, kita akan bertemu, dan pertemuan itu akan sangat indah.”

Usai ditinggal Abdullah, Aminah ternyata hamil, tetapi ia tidak merasakan apa-apa layaknya istri yang sedang hamil. Aminah berkata, “Aku mengandungnya (yakni Muhammad) dan aku tidak merasakan sedikit kesulitan pun sampai aku melahirkannya.”



Abdullah bin Abdul Muthalib menderita sakit yang berujung meninggalnya ia di Madinah dalam perjalanan pulang dari ekspedisi dagang. Ketika mendengar sang suami wafat di Madinah, hati Aminah hancur dan sedih. Air matanya terus mengalir karena kesedihan mendalam.

Keluarga besar Abdul Muthalib dan Wahab berusaha menghiburnya agar tidak terlalu berduka. Yang bisa menghiburnya adalah janin yang sedang dikandungnya, buah pernikahannya dengan Abdullah.

Tidak ada seorang suami pun seperti Abdullah, ayah Rasulullah SAW. Baru saja beliau selamat dari penyembelihan, tiba-tiba setelah beberapa hari pernikahan, ia meninggalkan istri tercinta yang sedang hamil untuk tidak kembali lagi karena maut menjemputnya.

Seakan-akan, memang demikian rencana Allah, tugasnya dalam hidup ini adalah “menaburkan benih” yang akan melahirkan manusia teragung sepanjang sejarah. Ia tidak bertugas memelihara dan mendidik sang anak karena Allah yang menangani langsung pendidikannya. Baginda Rasul pernah berkata tentang dirinya, “Allah telah mendidikku hingga aku terdidik sebaik-baiknya.”

Karena Allah yang mendidik beliau secara langsung, antara lain melalui wahyu-wahyu al-Quran (QS ar-Rahman (55): 4 dan an-Najm (53): 5), maka peranan ayah beliau tidak terlalu dibutuhkan sehingga sang ayah wafat setelah selesai tugas pokoknya dalam konteks kelahiran utusan Allah, Nabi Muhammad SAW.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.6282 seconds (0.1#10.140)