Dialog Mesra Orang Tua Rasulullah SAW di Malam Pertama

Rabu, 28 September 2022 - 05:15 WIB
loading...
Dialog Mesra Orang Tua Rasulullah SAW di Malam Pertama
Pasangan Abdullah dan Aminah, orangtua Rasulullah SAW, hidup bersama hanya 10 hari. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Abdullah dan Aminah adalah orangtua Nabi Muhammad SAW . Alkisah, pada hari keempat pernikahan, Abdullah membawa sang istri, Aminah, ke rumahnya yang telah dipersiapkan untuk kedua mempelai.

Fuad Abdurahman dalam bukunya berjudul "Jalan Damai Rasulullah: Risalah Rahmat bagi Semua" mengutip Binti asy-Syathi melukiskan dialog kedua mempelai pada malam pertama di rumah kediaman mereka:



Aminah: “Maukah engkau menyampaikan kepadaku tentang kesibukanmu belakangan ini?”

Abdullah: “Sedikit pun tidak ada yang menyibukkanku selain engkau, wahai Aminah. Yang engkau dengar adalah ajakan mereka (beberapa wanita) kepadaku dan berpalingnya aku dari mereka menuju kepadamu seorang. Namun, kisahnya belum selesai dan belum engkau dengar, tetapi segera akan engkau ketahui. Saat kembali dari rumah ayahmu, aku mempersiapkan rumah ini guna menyambutmu dan itu menyibukkanku sepanjang hari sehingga tidak seorang pun yang tahu apa yang telah terjadi.”

Aminah berkata karena keingintahuannya yang meluap: “Apakah ada peminang-peminang baru yang mengharap kedekatan kepada pemuda Mekkah yang tak ada duanya ini?”

Mendengar pujian dari sang istri tercinta, Abdullah tersenyum seraya berkata, “Sama sekali tidak, hai Aminah! Bahkan, mereka menjauh dan berpaling. Seakan-akan, bukan dia pemuda Mekkah yang membuat mereka terpukau beberapa hari lalu. Mereka melupakan keinginannya terhadap pemuda itu dan jadilah mereka menjauh dan enggan, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang seperti mereka.”

Abdullah berhenti sejenak, agaknya untuk mengetahui bagaimana reaksi sang istri. Namun, Aminah mengangguk sambil memberi isyarat agar suaminya melanjutkan kisahnya.

Abdullah pun melanjutkan. “Benar, wahai Aminah! Mereka semua tidak mau terhadap pemuda pasanganmu ini seolah-olah aku telah terganti dalam bentuk makhluk baru. Hari itu dalam perjalanan dari rumah ayahmu ke rumah kita ini, aku melewati dan bertemu mereka, tetapi mereka memalingkan wajahnya dariku sehingga menimbulkan keheranan dan penasaran dalam hatiku tentang sebab perubahan itu. Maka, aku bertanya kepada salah seorang di antara mereka, yaitu Raqiqah binti Naufal, “Mengapa engkau tidak menawarkan kepadaku yang engkau tawarkan kemarin?



Jawabannya yang aneh adalah: 'Cahaya yang ada padamu kemarin telah berpisah denganmu sehingga hari ini aku tidak lagi memiliki keinginan kepadamu.'

“Wanita yang lain, yaitu Fatimah binti Murrah berpaling juga dariku. Ia berkata kepadaku, 'itu hanya pernah sekali dan kini tidak lagi. Demi Allah, aku bukanlah wanita yang wajar dicurigai, tetapi aku telah melihat cahaya di wajahmu. Aku ingin cahaya itu untukku, tetapi Allah tidak mau kecuali menempatkannya di tempat yang Dia kehendaki. Nah, apakah yang engkau lakukan, wahai Abdullah, sesudah (ajakanku) itu?'

Abdullah hanya menjawab, “Ayahku menikahkanku dengan Aminah binti Wahab.”

Abdullah melanjutkan ceritanya kepada sang istri, bahwa wanita ketiga yaitu Laila al-Adawiyah juga ditanya sebab dia berpaling darinya. Dia menjawab, 'Aku bertemu denganmu kemarin dan kulihat di antara matamu ada ghurrah (sesuatu yang putih cemerlang, tanda keagungan dan kemuliaan), maka kuajak engkau, tetapi engkau menolakku, lalu engkau menikah dengan Aminah, maka dia memperolehnya.'

Kedua pasangan suami-istri itu terdiam, memikirkan peristiwa-peristiwa aneh itu. Lalu, tiba-tiba Aminah memecah kesunyian dengan meminta sang suami mengulangi lagi percakapannya dengan Raqiqah binti Naufal. “Mengapa binti Naufal secara khusus?” tanya Abdullah heran.

“Ceritakanlah dahulu, nanti engkau akan mengetahuinya,” jawab Aminah.

Abdullah memenuhi permintaan sang istri. Aminah terdiam beberapa saat, lalu berkata kepada sang suami, “Wahai putra pamanku, kupikir pasti ada sesuatu di balik semua ini. Wanita itu (Binti Naufal) adalah saudara perempuan Waraqah bin Naufal, sedang Waraqah sebagaimana kita ketahui, telah memeluk agama Nasrani, mempelajari kitab-kitab dan menyampaikan bahwa akan ada nabi untuk umat ini.”

Aminah melanjutkan ucapannya, “Rupanya aku nyaris lupa tentang Fatimah binti Murrah. Dia juga telah membaca kitab-kitab dan dia juga adalah peramal kaum Khasam.”

Mendengar hal tersebut, Abdullah menatap sang istri seraya berkata, “Engkau kira, wahai Aminah, kita ...!” Aminah tidak membiarkan sang suami, Abdullah, melanjutkan ucapannya. Dia tenggelam dalam pandangan yang penuh makna, mengembalikan pikiran dan khayalannya ke semua isu dan berita yang tersebar di Jazirah Arab menyangkut akan datangnya seorang nabi. Dan, cahaya yang semula memancar di dahi Abdullah, kini berpindah ke Aminah. Padahal, cahaya itulah yang membuat para wanita Quraisy rela menawarkan diri sebagai calon istri Abdullah.

Malam itu Aminah tidur nyenyak. Menjelang Subuh dia terbangun. Dia menghampiri sang suami seraya berkata, “Aku melihat cahaya dari sinar yang amat terang, yang terpancar dari sumbernya yang mahahalus sehingga menerangi dunia dan sekelilingnya. Istana-istana kaisar di Syam bagaikan dapat terlihat dengan sinar itu. Aku mendengar suara menyatakan, “Wahai Aminah, sungguh engkau telah mengandung penghulu umat ini.”



Membaca Masa Depan
Jauh sebelum itu, Sauda' binti Zahrah al-Kilabiyah, yang ketika ia lahir hampir saja dikubur hidup-hidup oleh ayahnya di daerah Hajun, seandainya sang ayah tidak mendengar suara berulang kali yang melarangnya dan ternyata ketika Sauda dewasa, ia menjadi wanita yang memiliki kemampuan membaca masa depan yang ulung. Kemampuan ini diberikan oleh Allah SWT.

Suatu ketika, Sauda' berkata kepada keluarga Zuhrah (keluarga Aminah): “Di antara kalian ada yang menjadi pemberi peringatan atau melahirkan pemberi peringatan.”

Lalu, ia meminta agar ditunjukkan kepadanya gadis-gadis, tetapi setiap datang gadis, ia selalu berkata, “Dia akan datang,” sampai akhirnya Aminah datang, maka Sauda berkata, “Inilah pemberi peringatan atau yang melahirkan pemberi peringatan.”

Abdullah dan Aminah, menurut para sejarawan, hidup bersama tidak lebih dari 10 atau 15 hari karena Abdullah harus segera berangkat bersama kafilah dagang suku Quraisy menuju Gaza dan Syam.

Kepergian Abdullah berniaga merupakan konsekuensi dari penegakan disiplin yang menjadi salah satu ciri keluarga besar Rasulullah SAW. Ia patuh kepada orangtuanya, seperti patuhnya ia ketika akan dikurbankan kala itu.

Dan, penegakan disiplin ini harus diutamakan daripada bersenang-senang berbulan madu karena perjalanan dagang ini merupakan kepentingan semua anggota suku, yang hasil keuntungannya dibagikan kepada seluruh anggota suku. Itulah latar belakang pujian Allah SWT kepada suku tersebut melalui firman-Nya dalam Surah Quraisy.

Abdullah berpamitan kepada keluarga besarnya dan berpesan agar mereka memperhatikan sang istri tercinta, Aminah, mengurus keperluannya, serta meringankan beban kesedihannya karena perpisahan dan kesendirian.

Abdullah juga berpamitan kepada sang istri, Aminah, seraya berkata, “Kepergianku hanya beberapa minggu. Kemudian, kita akan bertemu, dan pertemuan itu akan sangat indah.”

Usai ditinggal Abdullah, Aminah ternyata hamil, tetapi ia tidak merasakan apa-apa layaknya istri yang sedang hamil. Aminah berkata, “Aku mengandungnya (yakni Muhammad) dan aku tidak merasakan sedikit kesulitan pun sampai aku melahirkannya.”



Abdullah bin Abdul Muthalib menderita sakit yang berujung meninggalnya ia di Madinah dalam perjalanan pulang dari ekspedisi dagang. Ketika mendengar sang suami wafat di Madinah, hati Aminah hancur dan sedih. Air matanya terus mengalir karena kesedihan mendalam.

Keluarga besar Abdul Muthalib dan Wahab berusaha menghiburnya agar tidak terlalu berduka. Yang bisa menghiburnya adalah janin yang sedang dikandungnya, buah pernikahannya dengan Abdullah.

Tidak ada seorang suami pun seperti Abdullah, ayah Rasulullah SAW. Baru saja beliau selamat dari penyembelihan, tiba-tiba setelah beberapa hari pernikahan, ia meninggalkan istri tercinta yang sedang hamil untuk tidak kembali lagi karena maut menjemputnya.

Seakan-akan, memang demikian rencana Allah, tugasnya dalam hidup ini adalah “menaburkan benih” yang akan melahirkan manusia teragung sepanjang sejarah. Ia tidak bertugas memelihara dan mendidik sang anak karena Allah yang menangani langsung pendidikannya. Baginda Rasul pernah berkata tentang dirinya, “Allah telah mendidikku hingga aku terdidik sebaik-baiknya.”

Karena Allah yang mendidik beliau secara langsung, antara lain melalui wahyu-wahyu al-Quran (QS ar-Rahman (55): 4 dan an-Najm (53): 5), maka peranan ayah beliau tidak terlalu dibutuhkan sehingga sang ayah wafat setelah selesai tugas pokoknya dalam konteks kelahiran utusan Allah, Nabi Muhammad SAW.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1596 seconds (0.1#10.140)