Kekayaan Abu Bakar 40.000 Dirham, Setelah Masuk Islam Tinggal 5.000 Dirham
loading...
A
A
A
Dengan ketenangan dan kedamaian hatinya yang demikian rupa, keimanan Abu Bakar tidak akan sedemikian tinggi, kalau ia tidak melihat segala perbuatan Rasulullah yang memang jauh dari segala yang meragukan, terutama pada waktu Rasulullah sedang menjadi sasaran penindasan masyarakatnya.
Iman yang mengisi jiwa Abu Bakar ini jugalah yang telah mempertahankan Islam, sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka mengenai peristiwa Isra.
Gelar Ash-Shidiq
Nabi Muhammad berbicara kepada penduduk Makkah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam pun merasa ragu.
Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu: “Soalnya sudah jelas. Perjalanan kafilah Makkah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Mekah!”
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi.
Selanjutnya, sebagian dari mereka pergi menemui Abu Bakar, karena mereka mengetahui keimanannya dan persahabatannya dengan Nabi Muhammad. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakannya Rasulullah mengenai Isra. Terkejut mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakar berkata: "Kalian berdusta!"
"Sungguh," kata mereka. "Dia di masjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakar lagi, "tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakar lalu pergi ke masjid dan mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakar sudah pernah mengunjungi kota itu. Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakar berkata: "Rasulullah, saya percaya." Sejak itu Nabi Muhammad memanggil Abu Bakar dengan "ash-Shiddiq".
Haekal menulis, pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakar juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu?
Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang lain?
Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakar ini memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah memperkuat kedudukan Islam?
Baca juga: Kasus Khalid bin Walid, Cara Pandang Umar dan Abu Bakar
“Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus,” ujar Haekal.
Menurut Haekal, kata-kata Abu Bakar itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang benar ini. Kata-kata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh kekuatan Hamzah dan Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakar (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56).
Iman yang mengisi jiwa Abu Bakar ini jugalah yang telah mempertahankan Islam, sementara yang lain banyak yang meninggalkannya tatkala Rasulullah berbicara kepada mereka mengenai peristiwa Isra.
Gelar Ash-Shidiq
Nabi Muhammad berbicara kepada penduduk Makkah bahwa Allah telah memperjalankannya malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan bahwa ia bersembahyang di sana. Oleh orang-orang musyrik kisah itu diperolok, malah ada sebagian yang sudah Islam pun merasa ragu.
Tidak sedikit orang yang berkata ketika itu: “Soalnya sudah jelas. Perjalanan kafilah Makkah-Syam yang terus-menerus pun memakan waktu sebulan pergi dan sebulan pulang. Mana mungkin hanya satu malam saja Muhammad pergi pulang ke Mekah!”
Tidak sedikit mereka yang sudah Islam kemudian berbalik murtad, dan tidak sedikit pula yang masih merasa sangsi.
Selanjutnya, sebagian dari mereka pergi menemui Abu Bakar, karena mereka mengetahui keimanannya dan persahabatannya dengan Nabi Muhammad. Mereka menceritakan apa yang telah dikatakannya Rasulullah mengenai Isra. Terkejut mendengar apa yang mereka katakan itu Abu Bakar berkata: "Kalian berdusta!"
"Sungguh," kata mereka. "Dia di masjid sedang berbicara dengan orang banyak."
"Dan kalaupun itu yang dikatakannya," kata Abu Bakar lagi, "tentu ia mengatakan yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada waktu malam atau siang, aku percaya. Ini lebih lagi dari yang kamu herankan."
Abu Bakar lalu pergi ke masjid dan mendengarkan Nabi yang sedang melukiskan keadaan Baitulmukadas. Abu Bakar sudah pernah mengunjungi kota itu. Selesai Nabi melukiskan keadaan mesjidnya, Abu Bakar berkata: "Rasulullah, saya percaya." Sejak itu Nabi Muhammad memanggil Abu Bakar dengan "ash-Shiddiq".
Haekal menulis, pernahkah suatu kali orang bertanya dalam hati: Sekiranya Abu Bakar juga sangsi seperti yang lain mengenai apa yang diceritakan Rasulullah tentang Isra itu, maka apa pula kiranya yang akan terjadi dengan agama yang baru tumbuh ini, akibat kesangsian itu?
Dapatkah orang memperkirakan berapa banyak jumlah orang yang akan jadi murtad, dan goyahnya keyakinan dalam hati kaum Muslimin yang lain?
Pernahkah kita ingat, betapa jawaban Abu Bakar ini memperkuat keyakinan orang banyak, dan betapa pula ketika itu ia telah memperkuat kedudukan Islam?
Baca juga: Kasus Khalid bin Walid, Cara Pandang Umar dan Abu Bakar
“Kalau dalam hati orang sudah bertanya-tanya, sudah memperkirakan dan sudah pula ingat, niscaya ia tak akan ragu lagi memberikan penilaian, bahwa iman yang sungguh-sungguh adalah kekuatan yang paling besar dalam hidup kita ini, lebih besar daripada kekuatan kekuasaan dan despotisma sekaligus,” ujar Haekal.
Menurut Haekal, kata-kata Abu Bakar itu sebenarnya merupakan salah satu inayah Ilahi demi agama yang benar ini. Kata-kata itulah sebenarnya yang merupakan pertolongan dan dukungan yang besar, melebihi dukungan yang diberikan oleh kekuatan Hamzah dan Siddiq, orang yang selalu membenarkan, percaya, yang menerapkan kata dengan perbuatan, yang kemudian menjadi gelar Abu Bakar (al-Mu'jam al-Wasit); orang yang mencintai kebenaran, yakni Nabi Ibrahim dan Nabi Idris (Qur'an, 19. 41, 56).