Citra Buruk Islam di Eropa Menurut John Louis Esposito
loading...
A
A
A
Stereotip tradisi agama yang statis, irasional, tidak ada kemajuan dan antimodern ini diabadikan oleh para pakar dan teori pembangunan dalam abad ke-20.
Walaupun dunia Islam dan Kristen sangat membanggakan agama dan kekayaan tradisi belajar dan peradaban mereka, dinamika sejarah hubungan Islam-Kristen kerap menjumpai kedua umat tersebut bersaing, dan terkadang terperangkap dalam peperangan, untuk mendapatkan kekuasaan, tanah dan jiwa.
Akibatnya, mereka lebih sering bermusuhan daripada bersikap sebagai sesama Ahlul Kitab yang berusaha mematuhi dan mengabdi kepada Tuhan mereka. Bagi Kristen, Islam terbukti sebagai ancaman ganda, baik dalam hal agama maupun politik, yang sering mengancam untuk menyerang Eropa, mula-mula di Poitiers dan akhirnya di gerbang Wina.
Baca juga: Hagia Sophia Pintu Masuk Dakwah Islam ke Daratan Eropa
https://kalam.sindonews.com/read/104680/70/hagia-sophia-pintu-masuk-dakwah-islam-ke-daratan-eropa-1594987628
Bukan lelucon jika beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa jika tentara Muslim tidak dikalahkan di Poitiers, mungkin bahasa Oxford, dan juga bahasa Eropa sendiri, adalah bahasa Arab!
Gereja Kristen yakin memiliki kebenaran dan ditakdirkan untuk mengemban misi menyelamatkan maksud-maksud kepausan dan kerajaan yang absah.
Selain itu, ia memperkuat perasaan unggul dan benar yang memberikan alasan bagi mencemarkan nama musuh secara religius, intelektual dan kultural.
Sikap-sikap yang sama ini membuahkan keberhasilan bagi tentara Muslim dan penyebaran Islam yang cepat oleh para tentara, pedagang, dan da'i yang lebih merupakan tantangan bagi agama dan kekuasaan Kristen.
Kalau sepuluh abad pertama tampak sebagai pertandingan yang tidak seimbang di mana Kristen lebih sering terkepung, masa awal kolonialisme Eropa menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan: sejak itu kolonialisme mendominasi sejarah dan jiwa kaum Muslim, dan terus menerus, dan kadang-kadang secara dramatis, mempengaruhi hubungan antara Islam dan Barat sampai kini.
"Dengan adanya Revolusi Iran tahun 1978-1979, lalu Perang Teluk, citra pejuang Salib dan imperialisme Barat tetap hidup, suatu pengalaman yang benar-benar hidup dalam kesadaran dan retorika politik kaum Muslim," demikian John L. Esposito.
Walaupun dunia Islam dan Kristen sangat membanggakan agama dan kekayaan tradisi belajar dan peradaban mereka, dinamika sejarah hubungan Islam-Kristen kerap menjumpai kedua umat tersebut bersaing, dan terkadang terperangkap dalam peperangan, untuk mendapatkan kekuasaan, tanah dan jiwa.
Akibatnya, mereka lebih sering bermusuhan daripada bersikap sebagai sesama Ahlul Kitab yang berusaha mematuhi dan mengabdi kepada Tuhan mereka. Bagi Kristen, Islam terbukti sebagai ancaman ganda, baik dalam hal agama maupun politik, yang sering mengancam untuk menyerang Eropa, mula-mula di Poitiers dan akhirnya di gerbang Wina.
Baca juga: Hagia Sophia Pintu Masuk Dakwah Islam ke Daratan Eropa
https://kalam.sindonews.com/read/104680/70/hagia-sophia-pintu-masuk-dakwah-islam-ke-daratan-eropa-1594987628
Bukan lelucon jika beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa jika tentara Muslim tidak dikalahkan di Poitiers, mungkin bahasa Oxford, dan juga bahasa Eropa sendiri, adalah bahasa Arab!
Gereja Kristen yakin memiliki kebenaran dan ditakdirkan untuk mengemban misi menyelamatkan maksud-maksud kepausan dan kerajaan yang absah.
Selain itu, ia memperkuat perasaan unggul dan benar yang memberikan alasan bagi mencemarkan nama musuh secara religius, intelektual dan kultural.
Sikap-sikap yang sama ini membuahkan keberhasilan bagi tentara Muslim dan penyebaran Islam yang cepat oleh para tentara, pedagang, dan da'i yang lebih merupakan tantangan bagi agama dan kekuasaan Kristen.
Kalau sepuluh abad pertama tampak sebagai pertandingan yang tidak seimbang di mana Kristen lebih sering terkepung, masa awal kolonialisme Eropa menunjukkan adanya pergeseran kekuasaan: sejak itu kolonialisme mendominasi sejarah dan jiwa kaum Muslim, dan terus menerus, dan kadang-kadang secara dramatis, mempengaruhi hubungan antara Islam dan Barat sampai kini.
"Dengan adanya Revolusi Iran tahun 1978-1979, lalu Perang Teluk, citra pejuang Salib dan imperialisme Barat tetap hidup, suatu pengalaman yang benar-benar hidup dalam kesadaran dan retorika politik kaum Muslim," demikian John L. Esposito.
(mhy)