Silaturahmi, Salah Satu Tiket untuk Masuk Surga
Selasa, 14 Juli 2020 - 19:22 WIB
Wahai muslimah, salah satu tanda orang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah mereka yang selalu menyambung silaturahmi. Menyambung silaturahmi atau silaturahim iniadalah termasuk salah satu kewajiban kaum muslimin yang harus ditunaikan. Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berziarah (berkunjung kepada kerabat), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain.
Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.
Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
"Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus (memutus tali silaturahmi)”. (Mutafaqun ‘alaihi).
Artinya, jangan sampai kita termasuk orang-orang yang memutus tali silaturahim. Karena hal ini adalah sesuatu yang harus kita jaga. Karena silaturahim mendatangkan kebaikan untuk kehidupan kita di dunia maupun di akhirat. (Baca juga : Inilah Tiga Amalan Sunnah Sebelum Keluar untuk Bekerja )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya, dan agar diakhirkan sisa umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali rahimnya (tali silaturahim). (HR. Al-Bukhari).
Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
"Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambung) apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Ra’d :21).
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ayat tersebut begitu jelas menunjukkan masalah silaturahim (menyambung tali persaudaraan). Ini adalah pendapat Qatadah rahimahullah dan kebanyakan para ahli tafsir. Meski demikian, ayat di atas mencakup semua bentuk ketaatan.
Ada juga suatu riwayat dari imam al-Bukhari dan juga Imam Muslim dari hadis Aisyah radhiyallahu'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah ersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ
"Rahim bergelantung memegang erat pada arsy seraya berkata, “Barangsiapa menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah pun akan memutusnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dengan melihat pentingnya silaturahim di atas, maka pertanyaannya adalah : Sudahkah kita berlemah lembut terhadap kerabat kita? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan saudara kita? Sudahkah kita mengunjungi keluarga besar kita? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekadar meringankan yang mereka butuhkan? Semoga para muslimah termasuk yang menjaga tali silaturahim.
Silaturahim menjadi faktor kuat yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai sebab lapangnya rezeki orang yang menyambungnya, serta menjadikannya sebab keberkahan dan panjangnya umur untuk bisa melakukan amalan-amalan yang saleh, dan mengambil bekal dari kehidupan yang sementara ini menuju negeri yang kekal dan abadi. (Baca juga : Manfaat Takwa, dari Rezeki Hingga Ampunan Allah Ta'ala )
Ibnu Allan rahimahullah dalam Syarah Riyadhus Shalihîn berkata, “Ibnu at-Tîn berkata, “Zahir hadis di atas bertentangan dengan firman Allah:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Al-A’raf:34).
Kita bisa mengkompromikan dan menggabungkan nash tersebut sebagai berikut:
(1). Ditambahkannya umur orang yang menyambung tali silaturahim kita artikan sebagai kinayah (kata kiasan) yang menunjukkan keberkahan dalam umur. Keberkahan umur ini karena ia telah diberi taufiq dan bimbingan dari Allah Azza wa Jalla untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengisi waktunya dengan hal yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada Allah Azza wa Jalla.
Pengertian ini dikuatkan oleh hadis, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan pendeknya umur umat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan umur umat sebelumnya. LantasRasulullahdiberikan malam yang disebut lailatul qadar (yang lebih baik dari seribu bulan).
(2). Penambahan umur ini diartikan dengan makna sebenarnya. Dan itu bila dilihat pada ajal yang memang digantungkan dengan sesuatu hal (mu’allaq) yang tertulis di Lauhul Mahfuzh yang diserahkan kepada Malaikat. Misalnya, telah tersurat bahwa bila si fulan ini melakukan ketaatan, maka umurnya sekian tahun. Kalau ia tidak melakukan ketaatan, maka umurnya sekian tahun. Sedangkan Allah Azza wa Jalla Maha Tahu akan apa yang terjadi dari dua keadaan ini. Sedangkan ajal yang memang sudah dipastikan dalam ayat, itu adalah berdasarkan pada ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memang tak akan ada perubahan di dalamnya. Mengenai hal tersebut (bahwa adanya sesuatu seperti halnya ajal yang tergantung).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (Ar-Ra’d:39)
Artinya bahwa Allah Azza wa Jalla menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Yaitu adanya ajal yang digantungkan pada sesuatu hal. Sedangkan firman Allah Azza wa Jalla selanjutnya [dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)] mengisyaratkan pada ilmu Ilahi yang sama sekali tak ada perubahan di dalamnya. Ini juga diungkapkan dengan istilah qadha yang telah dipastikan (al-qadha’ al-mahtum); sedangkan untuk makna dari ayat bagian pertama di atas diungkapkan dengan sebutan al-qadha’ al-mu’allaq (qadha’ yang digantungkan).
Maka sebagai seorang Muslim , wajib menyambung tali silaturahim. Akan ada berbagai kebaikan dan kebajikan yang bervariasi. Dan Allah akan memasukkan rasa senang ke dalam hati orang yang menyambung silaturahmi. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyambung umurnya, menyambung rezekinya, dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki dan barakah-Nya. Di mana itu semua tidak akan terwujud tanpa sebab silaturahmi yang agung tersebut.
Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
Ibnu Atsir menjelaskan:
“Banyak hadis yang menyebutkan tentang silaturahim. Silaturahim adalah istilah untuk perbuatan baik kepada karib-kerabat yang memiliki hubungan nasab, atau kerabat karena hubungan pernikahan, serta berlemah-lembut, kasih sayang kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka. Demikian juga andai mereka menjauhkan diri atau suka mengganggu. Dan memutus silaturahim adalah kebalikan dari hal itu semua”. (Dinukil dari Shilatul Arham). Dengan demikian, perbuatan baik dan menyambung hubungan terhadap orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan nasab tidaklah termasuk silaturahim, dan tidak termasuk dalam ayat-ayat dan hadis-hadis mengenai perintah serta keutamaan silaturahim."
Sebaliknya, Allah dalam Alquran juga mengancam mereka yang memutus hubungan silaturahim. Di antaranya, Allah berfirman, "Orang-orang yang merusakkan janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka jahanam)." (QS Ar-Ra'd : 25).
Selain itu, Allah juga memberikan ancaman keras sebagaimana termaktub dalam Al- Qur'an surah Muhammad ayat 22-23. 0rang yang memutuskan tali kekeluargaan akan dilaknat Allah dengan dibuat tuli pendengarannya dan dibutakan penglihatannya.
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوٓا۟ أَرْحَامَكُمْ
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (QS Muhammad :22)
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰٓ أَبْصَٰرَهُمْ
"Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka." (QS Muhammad 23).
Melihat keberkahan silaturahim dan terhinanya para pemutus silaturahmi, maka marilah kita menjadi insan yang bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan jalan menyambung silaturahmi. Takwa memang dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). (Baca juga : Beragam Bacaan Istighfar untuk Meraih Ampunan Allah Ta'ala )
Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.
Wallahu 'Alam
Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diperoleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.
Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
"Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus (memutus tali silaturahmi)”. (Mutafaqun ‘alaihi).
Artinya, jangan sampai kita termasuk orang-orang yang memutus tali silaturahim. Karena hal ini adalah sesuatu yang harus kita jaga. Karena silaturahim mendatangkan kebaikan untuk kehidupan kita di dunia maupun di akhirat. (Baca juga : Inilah Tiga Amalan Sunnah Sebelum Keluar untuk Bekerja )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ, وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ, فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa ingin dilapangkan rezekinya, dan agar diakhirkan sisa umurnya, maka hendaknya ia menyambung tali rahimnya (tali silaturahim). (HR. Al-Bukhari).
Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
"Dan orang-orang yang menghubungkan (menyambung) apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (Ar-Ra’d :21).
Al-Qurthubi rahimahullah berkata, ayat tersebut begitu jelas menunjukkan masalah silaturahim (menyambung tali persaudaraan). Ini adalah pendapat Qatadah rahimahullah dan kebanyakan para ahli tafsir. Meski demikian, ayat di atas mencakup semua bentuk ketaatan.
Ada juga suatu riwayat dari imam al-Bukhari dan juga Imam Muslim dari hadis Aisyah radhiyallahu'anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah ersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللهُ، وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللهُ
"Rahim bergelantung memegang erat pada arsy seraya berkata, “Barangsiapa menyambungku, Allah akan menyambungnya. Dan siapa yang memutuskanku, Allah pun akan memutusnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dengan melihat pentingnya silaturahim di atas, maka pertanyaannya adalah : Sudahkah kita berlemah lembut terhadap kerabat kita? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan saudara kita? Sudahkah kita mengunjungi keluarga besar kita? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekadar meringankan yang mereka butuhkan? Semoga para muslimah termasuk yang menjaga tali silaturahim.
Silaturahim menjadi faktor kuat yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai sebab lapangnya rezeki orang yang menyambungnya, serta menjadikannya sebab keberkahan dan panjangnya umur untuk bisa melakukan amalan-amalan yang saleh, dan mengambil bekal dari kehidupan yang sementara ini menuju negeri yang kekal dan abadi. (Baca juga : Manfaat Takwa, dari Rezeki Hingga Ampunan Allah Ta'ala )
Ibnu Allan rahimahullah dalam Syarah Riyadhus Shalihîn berkata, “Ibnu at-Tîn berkata, “Zahir hadis di atas bertentangan dengan firman Allah:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ ۖ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Al-A’raf:34).
Kita bisa mengkompromikan dan menggabungkan nash tersebut sebagai berikut:
(1). Ditambahkannya umur orang yang menyambung tali silaturahim kita artikan sebagai kinayah (kata kiasan) yang menunjukkan keberkahan dalam umur. Keberkahan umur ini karena ia telah diberi taufiq dan bimbingan dari Allah Azza wa Jalla untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengisi waktunya dengan hal yang bermanfaat dan mendekatkannya kepada Allah Azza wa Jalla.
Pengertian ini dikuatkan oleh hadis, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan pendeknya umur umat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan umur umat sebelumnya. LantasRasulullahdiberikan malam yang disebut lailatul qadar (yang lebih baik dari seribu bulan).
(2). Penambahan umur ini diartikan dengan makna sebenarnya. Dan itu bila dilihat pada ajal yang memang digantungkan dengan sesuatu hal (mu’allaq) yang tertulis di Lauhul Mahfuzh yang diserahkan kepada Malaikat. Misalnya, telah tersurat bahwa bila si fulan ini melakukan ketaatan, maka umurnya sekian tahun. Kalau ia tidak melakukan ketaatan, maka umurnya sekian tahun. Sedangkan Allah Azza wa Jalla Maha Tahu akan apa yang terjadi dari dua keadaan ini. Sedangkan ajal yang memang sudah dipastikan dalam ayat, itu adalah berdasarkan pada ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memang tak akan ada perubahan di dalamnya. Mengenai hal tersebut (bahwa adanya sesuatu seperti halnya ajal yang tergantung).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
"Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh). (Ar-Ra’d:39)
Artinya bahwa Allah Azza wa Jalla menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Yaitu adanya ajal yang digantungkan pada sesuatu hal. Sedangkan firman Allah Azza wa Jalla selanjutnya [dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh)] mengisyaratkan pada ilmu Ilahi yang sama sekali tak ada perubahan di dalamnya. Ini juga diungkapkan dengan istilah qadha yang telah dipastikan (al-qadha’ al-mahtum); sedangkan untuk makna dari ayat bagian pertama di atas diungkapkan dengan sebutan al-qadha’ al-mu’allaq (qadha’ yang digantungkan).
Maka sebagai seorang Muslim , wajib menyambung tali silaturahim. Akan ada berbagai kebaikan dan kebajikan yang bervariasi. Dan Allah akan memasukkan rasa senang ke dalam hati orang yang menyambung silaturahmi. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyambung umurnya, menyambung rezekinya, dan membukakan baginya pintu-pintu rezeki dan barakah-Nya. Di mana itu semua tidak akan terwujud tanpa sebab silaturahmi yang agung tersebut.
Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
Ibnu Atsir menjelaskan:
“Banyak hadis yang menyebutkan tentang silaturahim. Silaturahim adalah istilah untuk perbuatan baik kepada karib-kerabat yang memiliki hubungan nasab, atau kerabat karena hubungan pernikahan, serta berlemah-lembut, kasih sayang kepada mereka, memperhatikan keadaan mereka. Demikian juga andai mereka menjauhkan diri atau suka mengganggu. Dan memutus silaturahim adalah kebalikan dari hal itu semua”. (Dinukil dari Shilatul Arham). Dengan demikian, perbuatan baik dan menyambung hubungan terhadap orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dan nasab tidaklah termasuk silaturahim, dan tidak termasuk dalam ayat-ayat dan hadis-hadis mengenai perintah serta keutamaan silaturahim."
Sebaliknya, Allah dalam Alquran juga mengancam mereka yang memutus hubungan silaturahim. Di antaranya, Allah berfirman, "Orang-orang yang merusakkan janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mengadakan kerusakan di bumi. Orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (neraka jahanam)." (QS Ar-Ra'd : 25).
Selain itu, Allah juga memberikan ancaman keras sebagaimana termaktub dalam Al- Qur'an surah Muhammad ayat 22-23. 0rang yang memutuskan tali kekeluargaan akan dilaknat Allah dengan dibuat tuli pendengarannya dan dibutakan penglihatannya.
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوٓا۟ أَرْحَامَكُمْ
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (QS Muhammad :22)
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَعَنَهُمُ ٱللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰٓ أَبْصَٰرَهُمْ
"Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka." (QS Muhammad 23).
Melihat keberkahan silaturahim dan terhinanya para pemutus silaturahmi, maka marilah kita menjadi insan yang bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan jalan menyambung silaturahmi. Takwa memang dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). (Baca juga : Beragam Bacaan Istighfar untuk Meraih Ampunan Allah Ta'ala )
Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.
Wallahu 'Alam
(wid)