Hagia Shopia dan Akhlakul Karimah Umat Islam

Kamis, 16 Juli 2020 - 11:25 WIB
Yang dipertanyakan kemudian adalah benarkah bahwa gedung itu pernah dibeli oleh sang penakluk Al-Fatih? Atau itu sebuah klaim yang memerlukan pembuktian? Yang pasti adalah bahwa dokumen yang diperlihatkan saat ini oleh banyak kalangan dicurigai sebagai surat wakaf dan bukan akta pembelian gedung. Sehingga klaim bahwa gedung itu memang dibeli oleh Al-Fatih adalah klaim yang belum pasti.

Di sini ada nilai akhlak yang boleh jadi kurang dihargai. Yaitu pentingnya membangun kejujuran dalam menyampaikan sebuah argumentasi tentang sebuah hal. Dan Islam adalah "as-Sidqu" (kejujuran) dan menjunjung kejujuran. ( )

Rumah Ibadah Sebagai Harta Rampasan?

Argumentasi kedua yang disampaikan adalah bahwa secara Syar'i selama tidak ada perjanjian dengan pihak yang tertaklukkan, dibenarkan mengambil rumah ibadah mereka sebagai bagian dari harta rampasan perang. Terlepas dari kasus Hagia Sophia , Saya justru melihat argumentasi ini dilemmatik pada dirinya. Hal itu karena nampak ada kontradiksi atau paradoks dengan posisi dasar Islam ketika bersentuhan dengan isu agama orang lain.

Saya ingin sekali lagi menuliskan kembali minimal dua posisi dasar Islam dalam menyikapi agama-agama lain, termasuk dalam situasi peperangan.

Pertama, posisi dasar Islam "laa ikraaha" (tiada paksaan) dalam beragama. Ayat tentang hal ini menjadi salah satu ayat termayshur ketika kita berbicara tentang jaminan "freedom of religion". Konsep ini bahkan berlaku dalam peperangan. Bahwa ketika terjadi penaklukkan, penduduk negeri yang ditaklukkan tidak dapat dipaksa untuk memeluk agama Islam.

Mungkin kita masih ingat bahwa ketika Rasulullah SAW menaklukkan Makkah beliau justru memberikan "general amnesty" atau memberikan pemaafan publik dengan memberikan kebebasan kepada semua penduduk Makkah untuk tetap mengimani keyakian mereka.

Larangan pemaksaan memeluk Islam bagi pemeluk agama lain, tentu berarti memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengimani dan menjalankan agama (ibadah) sesuai keyakinan mereka. Maka logikanya jika mereka bebas menjalankan agamanya, maka rumah ibadah mereka juga termasuk dalam bagian yang dijamin eksistensinya.

Kedua, dalam Al-Qur'an Surah Al-Hajj ayat 40 disebutkan bahwa dalam peperangan sekalipun rumah ibadah apapun dilarang untuk dirusak. Pelarangan merusak rumah ibadah ini tentunya juga berarti pelarangan mengambil alih rumah ibadah orang lain.

Dan karenanya dapat dipastikan bahwa berdasarkan ayat ini dan konsep kebebasan beragama di atas, pengambil alihan rumah ibadah orang lain untuk dijadikan masjid tidak dibenarkan. Posisi dasar Islam inilah yang dipraktekkan oleh para pejuang Islam di masa awal Islam, termasuk Khulafa Rasyidin. Kita ambil misalnya bagaimana Umar yang kita kenal keras itu. Tapi di negeri-negeri yang ditaklukkan pada masanya rumah-rumah ibadah tetap menjadi milik umat lain (baca Kristiani Roma) tersebut.

Pada akhirnya saya ingin menekankan lagi bahwa situasi dunia di mana kita hidup saat ini sangat berbeda dari masa-masa lalu. Dengan Deklarasi Universal PBB di tahun 1948 tentang Hak-Hak Dasar Manusia, termasuk di dalamnya Kebebasan Beragama (Religious Freedom), mau atau tidak, suka atau tidak, ijtihad-ijtihad agama yang tidak sesuai perlu untuk ditinjau kembali.

Jangan salah pahami saya. Pada kasus harta rampasan dan rumah ibadah, tidak ada ayat maupun hadis yang perlu ditinjau (wal-Iyadzu billah). Yang ada adalah melihat kembali pemahaman dan juga praktek agama dalam hal ini di masa lalu. Mungkin satu contoh yang sama adalah kasus tahanan wanita dalam peperangan. Di masa lalu wanita yang ditangkap dalam peperangan bisa dijadikan budak dengan segala isu terkait. Saya yakin semua setuju bahwa hal ini tidak lagi dapat diterima dalam dunia kita saat ini.

Sama halnya dengan pengambil alihan rumah ibadah orang lain sebagai bagian dari harta rampasan tadi. Selain nampak tidak sejalan dengan posisi dasar Islam , juga karena adanya tatanan dunia yang sangat berbeda.

Selain itu mari kita ingat, saat ini banyak negeri atau daerah Muslim yang sedang berada di bawah kekuasaan non Muslim. Anggaplah Palestina dan Kashmir. Tentu kita tidak ingin bahwa karena mereka merasa berkuasa lalu mengambil alih masjid-masjid menjadi rumah ibadah mereka.

Ingat pula, bahwa kebijakan di sebauh tempat atau negeri bisa berimbas atau berdampak pada tempat atau negeri yang lain. Dunia kita saat adalah dunia yang saling terikat, dan saling berdampak.

Kita akui memang pernah dan masih ada yang melakukan itu. Siapa yang tidak ingat masjid-masjid megah di Spanyol yang diubah menjadi gereja atau night club? Bahkan beberapa tahun lalu masjid bersejarah, Baabri, di India dirubuhkan untuk mereka bangun rumah ibadah Hindu di atas tanah itu.

Tapi harapan kita lingkaran kejahatan dan pelanggaran ini harus diputus oleh kita dengan menghentikan melakukan hal yang sama. Ibaratnya untuk menghentikan virus Corona maka perlu dihentikan pergerakan kejahatan (mengambil rumah ibadah orang lain) itu.

Di atas semua itu jangan pernah lupa moral ground agama ini dalam segala hal yang kita lakukan. Akhlakul karimah bukan sekedar sebuah konsep yang dibanggakan. Tapi harusnya dilaksanakan, apapun konsekwensinya.

Dengan akhlakul karimah inilah umat Islam di negara-negara mayoritas non Muslim banyak mengkonversi gereja-gereja menjadi masjid-masjid. Ratusan bahkan ribuan gereja dan rumah ibadah lainnya telah terkonversi menjadi masjid-masjid.

Karena ternyata memang akhlakul karimah itu sebuah kekuatan yang jauh lebih dahsyat dari sekedar letupan atau luapan emosi sesaat. Apalagi jika emosi itu hanya bagian dari impian sejarah dan kegemilangan masa lalu. Masanya bangkit. Bangkit dengan nilai ajaran mulia, al-akhlaq al-karimah kita. Insya Allah! ( )
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
Hadits of The Day
Dari Abdullah, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.  Abdullah berkata, Dikatakan, Siapakah orang-orang yang terasing itu?  beliau menjawab: Orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah (yang sesat).

(HR. Ibnu Majah No. 3978)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More