Aspek Hukum Puasa bagi Orang Sakit dan Musafir Berdasarkan Surat Al-Baqarah Ayat 184

Selasa, 21 Maret 2023 - 14:38 WIB


Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama.

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga(mereka) yang tidak berpuasa."

Menurut Quraish, memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:



Selanjutnya Quraish menjelaskan penggalan ayat fa 'iddatun min ayyamin ukhar, yakni sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain.

Menurutnya, ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.

Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.

Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah ra yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan.



Menurut Quraish, tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah SWT. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.

Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut?

Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?

Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.

Membayar Fidyah

Ayat selanjutnya, wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).

Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah SWT memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah.

Halaman :
Lihat Juga :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Handlalah bin Ali bahwa Mihjan bin Al Adra' telah menceritakan kepadanya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masuk ke dalam masjid, lalu beliau mendapati seorang laki-laki membaca tasyahud seusai shalat yang mengucapkan: Allahumma inni as'aluka Ya Allah Al Ahad As Shamad alladzii lam yalid wa lam yuulad walam yakul lahuu kufuwan ahad antaghfira lii dzunuubi innaka antal ghafuurur rakhiim (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, Dzat yang Maha Esa, Dzat yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada beranak dan tidak pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia, semoga Engkau mengampuni dosa-dosaku, sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  Maka beliau bersabda: Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni, Sungguh dosa-dosanya telah di ampuni.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 835)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More