Kendati Banyak yang Memilih, Khalifah Umar Larang Anaknya Jadi Pejabat

Senin, 20 Juli 2020 - 17:16 WIB
Abdullah bin Umar. Foto/Ilustrasi/Ist
BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya. Begitu lebih kurang pepatah masa lampau yang tentu saja masih aktual sampai masa sekarang. Sosok anak laki-laki acap kali tak berbeda jauh dibandingkan ayahnya. Paling tidak pepatah ini cocok disematkan untuk tokoh Abdullah bin Umar dengan sang ayah Umar bin Khattab . ( )

Keduanya sama-sama zuhud . Keduanya tak mabuk jabatan. Menjelang wafat, Umar bin Khattab menyampaikan wasiat kepada kaum Muslimin soal pemilihan khalifah penggantinya. Beliau melarang anak-anaknya menjadi khalifah. Bahkan tidak boleh menjadi pejabat apa pun.



Anak-anak Khalifah Umar bin Khattab antara lain Abdullah bin Umar, Ubaydullah bin Umar, Zaid bin Umar, Hafsah binti Umar, dan beberapa lagi.

Kala itu, beberapa tokoh Muslimin yang hadir mendengar pesan Umar itu justru menyarankan agar Abdullah bin Umar sebagai penggantinya. "Jadikan saja Abdullah menjadi khalifah, kami akan menerimanya," kata sebagian Muslimin pada saat itu.



"Tidak,” kata Umar yang saat itu sedang menjelang ajalnya karena luka yang diderita. “Tidak ada kaum keturunan Al Khattab hendak mengambil pangkat khalifah ini untuk mereka. Abdullah tidak akan turut memperebutkan pangkat ini," tegasnya.



Setelah itu, Umar bin Khattab menoleh ke arah putranya. "Anakku Abdullah, sekali-kali jangan. Sekali-kali jangan engkau mengingat-ingat hendak mengambil jabatan ini!"

"Baiklah ayah," jawab Abdullah bin Umar.

Abdullah mematuhi wasiat sang ayah. Pada masa perebutan pimpinan antara Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah, Abdullah tercatat sebagai sosok yang netral. Padahal, tak sedikit tawaran beberapa kelompok politik untuk menjadikannya khalifah.



Baca juga
: Khalifah Umar Pecat Khalid bin Walid demi Selamatkan Tauhid Umat



Menurut Hasan RA, tatkala Utsman bin Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibnu Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbaiat kepada anda!"

"Demi Allah, seandainya bisa, janganlah ada darah walau setetes pun tertumpah disebabkan aku," jawabnya.

Massa di luar mengancam: "Anda harus keluar, atau kalau tidak, kami bunuh di tempat tidurmu!"



Ibnu Umar tetap menolak, kendati diancam. Massa pun bubar. Sampai suatu ketika, datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibnu Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih oleh seluruh kaum Muslimin tanpa paksaan.

Jika baiat dipaksakan sebagian orang atas sebagian yang lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa kelompok, bahkan saling mengangkat senjata. Ada yang kesal lantas menghardik Ibnu Umar.



"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap manusia kecuali kamu," kata mereka.

"Demi Allah, aku tidak pernah menumpahkan darah mereka tidak pula berpisah dengan jamaah mereka, apalagi memecah persatuan mereka?" jawab Ibnu Umar heran.

"Seandainya kau mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang," ucap mereka menyakinkan.

)

Ketika Muawiyah II, putra Yazid bin Muawiyah, menduduki jabatan khalifah, datang Marwan menemui Ibnu Umar. Ulurkan tanganmu agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya.

“Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang bagian timur?” tanyanya.

“Kita gempur mereka sampai mau berbaiat,” jawab Marwan.

"Demi Allah, aku tidak sudi dalam umurku yang 70 tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku," kata Ibnu Umar.



Penolakan Ibnu Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. “Siapa yang berkata, 'marilah salat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'marilah menuju kebahagiaan' akan kuturuti pula,” katanya. “Tetapi siapa yang mengatakan 'marilah membunuh saudara kita seagama dan merampas hartanya', maka saya katakan, tidak!” tegasnya.

Abul 'Aliyah al-Barra menceritakan pada suatu hari ia berjalan di belakang Ibnu Umar tanpa diketahuinya. Maka ia mendengar Abdullah berbicara kepada dirinya: “Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata: Hai Abdullah bin Umar ikut lah dan berikan bantuan, sungguh sangat menyedihkan”. ( )
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki hutang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya.

(HR. Muslim No. 1935)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More