Awas Riba dalam Tradisi Tukar Uang Baru Menjelang Lebaran
Kamis, 20 April 2023 - 08:05 WIB
Mereka juga mengatakan bahwa tukar uang receh ini dapat dikategorikan ke dalam akad wakalah bil ajr (perwakilan dengan upah) atau ijarah (suatu pekerjaan dengan upah). Dengan asumsi, bahwa si penawar jasa penukaran adalah wakil, dan si pembeli (penukar) adalah muwakkil. Sehingga dibolehkan ada tambahan pada penukaran uang sejenis yg diposisikan sebagai upah kepada wakil.
Bantahan
Qiyas dalam hal ini sangat tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yang dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yang lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Belum lagi dilihat dari sisi-sisi yang lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah pihak, penjual maupun pembeli. Beda kasusnya jika misalnya si A ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil-nya jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Adakah Solusinya?
Menurut Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mendatangi Bank Indonesia atau bank lainnya. Di sana layanan tukar menukar uang tersedia dan tidak memungut biaya sepeserpun darinya, uang Rp50 ribu ditukar dengan Rp50 ribu.
Bahkan untuk memudahkan proses tukar uang receh ini, BI telah bekerja sama dengan beberapa bank dan mengirimkan mobil-mobil stand penukaran uang di beberapa titik, sayangnya baru ada di beberapa kota besar.
"Terkadang ada yang tidak betah dengan antrean panjang. Apa solusi lain? Jika memang malas mengantre maka kita bisa menyuruh seseorang untuk mengerjakannya lalu kita beri biaya uang lelah atas tenaga dan waktunya yang terbuang karena harus antri. Nah, ini solusi win-win kelihatannya," terang Dai yang juga pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur.
Wallahu A'lam
Bantahan
Qiyas dalam hal ini sangat tidak tepat. Karena dalam akad wakalah, upah haruslah jelas di awal akad, tidak boleh berubah. Adapun dalam konteks ini, si penawar jasa penukaran bisa saja menjual kepada satu pelanggan dengan keuntungan 10% dari jumlah yang dimaksud, dan kepada pelanggan lainnya dengan keuntungan yang lebih besar atau lebih kecil dari 10%. Hukum supply and demand bekerja dalam hal ini.
Belum lagi dilihat dari sisi-sisi yang lain, dari awal tidak ada sama sekali perjanjian akad wakalah antar dua belah pihak, penjual maupun pembeli. Beda kasusnya jika misalnya si A ditugaskan oleh kantor untuk menukarkan uang receh sejumlah 10 juta kepada bank tertentu, dengan upah 500 ribu rupiah. Tentu hal ini dibolehkan, karena wakil dan muwakkil-nya jelas, jumlah upahnya juga jelas.
Adakah Solusinya?
Menurut Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq, solusi untuk permasalahan ini adalah dengan mendatangi Bank Indonesia atau bank lainnya. Di sana layanan tukar menukar uang tersedia dan tidak memungut biaya sepeserpun darinya, uang Rp50 ribu ditukar dengan Rp50 ribu.
Bahkan untuk memudahkan proses tukar uang receh ini, BI telah bekerja sama dengan beberapa bank dan mengirimkan mobil-mobil stand penukaran uang di beberapa titik, sayangnya baru ada di beberapa kota besar.
"Terkadang ada yang tidak betah dengan antrean panjang. Apa solusi lain? Jika memang malas mengantre maka kita bisa menyuruh seseorang untuk mengerjakannya lalu kita beri biaya uang lelah atas tenaga dan waktunya yang terbuang karena harus antri. Nah, ini solusi win-win kelihatannya," terang Dai yang juga pengasuh Ma'had Subuluna Bontang Kalimantan Timur.
Wallahu A'lam
(rhs)