Khutbah Iduladha 2023: Menghayati Nilai Pengorbanan dan Ujian Keimanan
Kamis, 29 Juni 2023 - 08:02 WIB
Hadirin Rohimakumulloh!
Kebesaran hari itu mestinya membawa dampak pada perilaku kita. Merasakan kebesarannya mendorong kita tertunduk malu di hadapan Allah atas pelanggaran-pelanggaran yang kita lakukan selama ini.
Tetapi sekarang, tampaknya kebesaran dan kemuliaan hari seolah tak berbekas di hati kita. Kita semakin tidak merasakan kebesarannya. Mungkin kita melakukan ritual rutin pada hari itu: dengan melakukan shalat Idul Adha dan berkurban. Namun selebihnya, kita tidak merasakan apa-apa. Yang melanggar larangan tetap saja melanggar larangan. Yang mengabaikan perintah tetap saja tak peduli dengan perintah Allah.
Yang selama ini biasa mengambil hak milik orang lain secara tidak sah (entah dengan mencuri, menipu, korupsi dan semacamnya) tetap saja melakukan hal itu meski telah melewati hari nan besar itu. Yang biasa menindas orang lain, melecehkan kehormatan orang lain, tetap saja melanjutkan kebiasaannya, meski telah melewati hari nan besar. Idul Adha menjadi hambar bagi kita. Idul Adha menjadi tak banyak berarti bagi kita.
Yang mencaci tetap mencaci karena merasa lebih hebat dan lebih baik. Padahal Allah yang lebih segalanya. Apalagi menjelang pemilu, semakin ramai cacian, makian dan hinaan antarsesama Muslim, hanya karena beda pilihan. Padahal Rasul mengingatkan bahwa sesama Muslim adalah mulia. Kenapa justru kita sendiri yang saling caci dan menghujat?
Hadirin yang Berbahagia!
Ibadah kurban merupakan ibadah yang diperintahkan Allah sejak jaman Nabi Adam 'alaihissalam. Bahkan setiap Nabi yang diutus Allah ﷻ memiliki perintah kurban. Ibadah kurban yang diikuti Nabi Muhammad ﷺ tidak terlepas dari peristiwa historis Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Rasulullah ﷺ suatu saat ditanya oleh sahabatnya mengenai apa udlhiyah (penyembelihan kurban) itu? Beliau menegaskan: هذه سنّة أبيكم إبراهيم (ini adalah sunnah bapakmu, Nabi Ibrahim).
Nabi Ibrahim hidup pada abad 18 SM. Masa persimpangan jalan pikiran umat manusia tentang kurban-kurban manusia yang dipersembahkan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan mereka, sementara perintah Allah ﷻ kepada Nabiyullah Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail lantaran diilhami dari suatu ru'yah (mimpi) sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran Surat As-Shaaffat Ayat 102:
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkan apa pendapatmu!" Ia (Ismail) menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar."
Hadirin Rohimakumulloh!
Setiap individu yang mengaku beriman pasti akan diuji oleh Allah ﷻ. Sebagai bapak akan diuji, sebagai Ibu dan istri akan diuji dan sebagai anak juga akan diuji. Ujian tersebut untuk membuktikan kebenaran iman kepada Allah ﷻ.
Para mufassir menyatakan, perintah Allah ﷻ kepada Ibrahim agar menyembelih putranya sendiri hendak menyampaikan pesan kepada kita, bahwa betapa pun besarnya cinta seseorang kepada anak atau apapun yang dimiliki, bukanlah sesuatu yang berarti bila Allah menghendakinya. Ridho dan mahabbah Allahlah yang sejatinya yang paling berarti dalam hidup ini.
Disebutkan juga dalam akhir kisah tersebut, Allah ﷻ memberikan pengganti seekor domba besar atas keberhasilan Ibrahim dan Ismail dalam melaksanakan perintah dan ujian yang amat berat itu, seperti diungkap Al-Quran Surat As-Shaaffat ayat 107:
"Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar."
Selain sebagai bukti keimanan kepada Allah ﷻ dengan mengorbankan apapun jika memang diperintahkan, maka peristiwa Nabi Ibrahim juga mengandung 'ibrah (pelajaran) bahwa Allah ﷻ menjunjung tinggi harkat, martabat dan jiwa manusia, sehingga sama sekali tidak memperkenankan manusia dijadikan kurban penyembelihan atau pembantaian serta sebagai tumbal apapun yang pada akhirnya mengakibatkan pertumpahan darah atau melayangnya nyawa manusia.
Karena itu, Islam tidak pernah mentolerir terjadinya kekerasan, kebrutalan, dan penindasan dalam bentuk apapun yang mengakibatkan pertumpahan darah dan penderitaan umat manusia. Ia dengan tegas mengharamkan dan mengutuk perbuatan bunuh diri, membunuh sesama atau membuat kerusakan apapun di muka bumi ini. Intinya kejahatan kemanusiaan maupun kejahatan lingkungan secara tegas dilarang Al-Qur'an.
Dengan menangkap pesan dan 'ibrah dari peristiwa besar yang tidak ada duanya dan tidak akan terulang kedua kalinya dalam sejarah umat manusia itu, dapat disinyalir bahwa Muslim sejati adalah yang memiliki kecintaan dan kepatuhan mutlak kepada Allah ﷻ melebihi kecintaannya kepada siapapun dan apapun.
Kebesaran hari itu mestinya membawa dampak pada perilaku kita. Merasakan kebesarannya mendorong kita tertunduk malu di hadapan Allah atas pelanggaran-pelanggaran yang kita lakukan selama ini.
Tetapi sekarang, tampaknya kebesaran dan kemuliaan hari seolah tak berbekas di hati kita. Kita semakin tidak merasakan kebesarannya. Mungkin kita melakukan ritual rutin pada hari itu: dengan melakukan shalat Idul Adha dan berkurban. Namun selebihnya, kita tidak merasakan apa-apa. Yang melanggar larangan tetap saja melanggar larangan. Yang mengabaikan perintah tetap saja tak peduli dengan perintah Allah.
Yang selama ini biasa mengambil hak milik orang lain secara tidak sah (entah dengan mencuri, menipu, korupsi dan semacamnya) tetap saja melakukan hal itu meski telah melewati hari nan besar itu. Yang biasa menindas orang lain, melecehkan kehormatan orang lain, tetap saja melanjutkan kebiasaannya, meski telah melewati hari nan besar. Idul Adha menjadi hambar bagi kita. Idul Adha menjadi tak banyak berarti bagi kita.
Yang mencaci tetap mencaci karena merasa lebih hebat dan lebih baik. Padahal Allah yang lebih segalanya. Apalagi menjelang pemilu, semakin ramai cacian, makian dan hinaan antarsesama Muslim, hanya karena beda pilihan. Padahal Rasul mengingatkan bahwa sesama Muslim adalah mulia. Kenapa justru kita sendiri yang saling caci dan menghujat?
ُاَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبرُ و للهِ الحَمْد
Hadirin yang Berbahagia!
Ibadah kurban merupakan ibadah yang diperintahkan Allah sejak jaman Nabi Adam 'alaihissalam. Bahkan setiap Nabi yang diutus Allah ﷻ memiliki perintah kurban. Ibadah kurban yang diikuti Nabi Muhammad ﷺ tidak terlepas dari peristiwa historis Nabi Ibrahim 'alaihissalam. Rasulullah ﷺ suatu saat ditanya oleh sahabatnya mengenai apa udlhiyah (penyembelihan kurban) itu? Beliau menegaskan: هذه سنّة أبيكم إبراهيم (ini adalah sunnah bapakmu, Nabi Ibrahim).
Nabi Ibrahim hidup pada abad 18 SM. Masa persimpangan jalan pikiran umat manusia tentang kurban-kurban manusia yang dipersembahkan kepada dewa-dewa atau tuhan-tuhan mereka, sementara perintah Allah ﷻ kepada Nabiyullah Ibrahim untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail lantaran diilhami dari suatu ru'yah (mimpi) sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran Surat As-Shaaffat Ayat 102:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
"Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkan apa pendapatmu!" Ia (Ismail) menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, Insyaallah Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang bersabar."
Hadirin Rohimakumulloh!
Setiap individu yang mengaku beriman pasti akan diuji oleh Allah ﷻ. Sebagai bapak akan diuji, sebagai Ibu dan istri akan diuji dan sebagai anak juga akan diuji. Ujian tersebut untuk membuktikan kebenaran iman kepada Allah ﷻ.
Para mufassir menyatakan, perintah Allah ﷻ kepada Ibrahim agar menyembelih putranya sendiri hendak menyampaikan pesan kepada kita, bahwa betapa pun besarnya cinta seseorang kepada anak atau apapun yang dimiliki, bukanlah sesuatu yang berarti bila Allah menghendakinya. Ridho dan mahabbah Allahlah yang sejatinya yang paling berarti dalam hidup ini.
Disebutkan juga dalam akhir kisah tersebut, Allah ﷻ memberikan pengganti seekor domba besar atas keberhasilan Ibrahim dan Ismail dalam melaksanakan perintah dan ujian yang amat berat itu, seperti diungkap Al-Quran Surat As-Shaaffat ayat 107:
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
"Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar."
Selain sebagai bukti keimanan kepada Allah ﷻ dengan mengorbankan apapun jika memang diperintahkan, maka peristiwa Nabi Ibrahim juga mengandung 'ibrah (pelajaran) bahwa Allah ﷻ menjunjung tinggi harkat, martabat dan jiwa manusia, sehingga sama sekali tidak memperkenankan manusia dijadikan kurban penyembelihan atau pembantaian serta sebagai tumbal apapun yang pada akhirnya mengakibatkan pertumpahan darah atau melayangnya nyawa manusia.
Karena itu, Islam tidak pernah mentolerir terjadinya kekerasan, kebrutalan, dan penindasan dalam bentuk apapun yang mengakibatkan pertumpahan darah dan penderitaan umat manusia. Ia dengan tegas mengharamkan dan mengutuk perbuatan bunuh diri, membunuh sesama atau membuat kerusakan apapun di muka bumi ini. Intinya kejahatan kemanusiaan maupun kejahatan lingkungan secara tegas dilarang Al-Qur'an.
Dengan menangkap pesan dan 'ibrah dari peristiwa besar yang tidak ada duanya dan tidak akan terulang kedua kalinya dalam sejarah umat manusia itu, dapat disinyalir bahwa Muslim sejati adalah yang memiliki kecintaan dan kepatuhan mutlak kepada Allah ﷻ melebihi kecintaannya kepada siapapun dan apapun.