5 Konsep Islam Mempersempit Perbedaan Antargolongan Menurut Syaikh Al-Qardhawi
Rabu, 05 Juli 2023 - 06:41 WIB
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan Islam mengakui adanya perbedaan antarmanusia dalam masalah hak milik dan rezeki, karena fitrah (ciptaan) Allah menghendaki adanya perbedaan di antara mereka. Bahkan yang lebih dari itu, yaitu dalam hal kecerdasan, kecantikan, kekuatan fisik dan seluruh pemberian dan kemampuan secara khusus, maka tidak aneh jika terjadi perbedaan antara manusia di dalam harta dan kekayaan, dan di bawah faktor-faktor yang lainnya.
Allah SWT berfirman: "Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki..." ( QS An-Nahl : 71)
"Perbedaan itu bukan merupakan suatu permainan belaka atau tanpa arti, akan tetapi memiliki hikmah , karena dengannya kehidupan ini akan tegak dan teraturlah urusan hidup," ujar Syaikh Yusuf al Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997)
Allah SWT berfirman: "Kami telah membagi (menentukan) antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah mengangkat (meninggikan) sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain..." ( Q S Az-Zukhruf : 32)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud dengan mempergunakan di sini bukan paksaan dan merendahkan, akan tetapi dengan sistem yang administratif, karena kehidupan ini bagaikan pabrik yang besar (raksasa), yang di dalamnya ada yang memimpin dan dipimpin, ada supervisor ada karyawan biasa, ada juga satpam dan ada pelayan.
"Masing-masing dari mereka mempunyai tugas sendiri-sendiri, dan masing-masing mereka itu penting keberadaannya agar mesin kehidupan bisa beroperasi dan produktif," katanya.
Meskipun Islam menegaskan adanya prinsip perbedaan di dalam masalah rezeki dan perbedaan dalam kekayaan dan kemiskinan, tetapi jika kita lihat maka Islam juga berupaya untuk mendekatkan (mengurangi) sisi perbedaan antargolongan, sehingga membatasi penyimpangan orang-orang kaya dan mengangkat martabat orang-orang fakir dalam rangka mewujudkan tawazun (keseimbangan) dan menghilangkan sebab-sebab pertarungan dan permusuhan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Demikian itu, kata al-Qardhawi, karena sesungguhnya Islam membenci berputarnya kekayaan di tangan orang-orang tertentu yang mereka putar di antara mereka, sementara sebagian besar orang tidak memilikinya.
Islam senang kalau harta itu tidak hanya berkisar pada orang-orang kaya saja. Oleh karena itu Islam memiliki beberapa sarana untuk mengatasi hal-hal seperti itu, antara lain sebagai berikut:
Pertama, mengharuskan orang kaya untuk tidak mengembangkan kekayaannya dengan cara-cara yang diharamkan, seperti riba, menimbun, menipu, memperdagangkan barang-barang terlarang dan sebagainya. Dengan pembatasan masalah pengembangan harta ini, dapat menutup jalan menuju kekayaan yang curang dan keji.
Kedua, diwajibkannya zakat pada harta orang-orang kaya, untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Ia merupakan pemungutan dan pemberian. Zakat sebagaimana disyari'atkan oleh Islam, tidak lain kecuali merupakan sarana untuk memberi pemilikan kepada kaum fuqara' sehingga dapat mencukupi kebutuhan mereka. Baik yang bersifat rutin tahunan atau secara terus menerus.
Imam Nawawi mengatakan, "Orang fakir dan miskin itu terus diberi sehingga terpenuhi kebutuhannya dan memperoleh kecukupan darinya. Hal itu berbeda-beda tergantung kepada kondisi orangnya. Orang yang mampu bekerja tetapi tidak mendapatkan alat ketrampilannya maka ia diberi uang untuk membeli alat itu, baik harganya murah atau mahal. Atau seorang pedagang diberi modal untuk memperbaiki bisnisnya, sekiranya keuntungannya dari bisnis bisa mencukupi kebutuhannya secara umum. Dan barangsiapa yang tidak pandai bekerja atau berdagang maka ia diberi secukupnya untuk pemenuhan kebutuhan seumur hidupnya secara umum."
Dengan demikian zakat bisa berfungsi untuk memperbanyak jumlah pemilikan dari orang-orang fakir. Dengan zakat itu Islam memberikan hak milik kepada orang yang bekerja yaitu dengan memberikan perabotan produksi, baik peralatannya atau pabrik atau sebagian dari pabrik, dan memberikan hak milik kepada petani berupa sawah atau sebagian dari sawah yang dimiliki bersama orang lain.
Selain itu, memberikan hak milik kepada pedagang dengan memberi tempat untuk berdagang dan peralatannya, dan juga memberikan hak milik kepada selain mereka berupa pekarangan atau lainnya.
Lalu, sesuatu yang sekiranya bisa menjadi pemasukan rutin yang teratur sehingga bisa mencukupi kebutuhannya dengan sempurna dan juga mencukupi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. "Semua itu diatur oleh lembaga zakat dengan memperhatikan secara optimal terhadap mereka dan apa yang ada di bawah tangan mereka," ujar al-Qardhawi.
Ketiga, diwajibkannya penunaian kewajiban-kewajiban selain zakat kepada para aghniya', seperti nafkah untuk para kerabat, berbagai nadzar dan kaffaraat, menyembelih korban (wajib menurut madzhab Abu Hanifah), hak-hak tetangga dan famili, menyuguh tamu, memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang terkena musibah, melepaskan tawanan, mengobati orang sakit, bantuan ketika ada musibah mendadak yang menimpa ummat seperti peperangan, kelaparan dan lain sebagainya. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak beriman kepadaku orang yang semalam suntuk ia kekenyangan, sementara tetanggannya kelaparan di sisinya sedangkan ia mengetahuinya" (HR Thabrani dan Hakim)
Keempat, pewarisan yang disyari'atkan oleh Islam ditujukan kepada anak-anak, kedua orang tua, para suami dan pemilik 'Ashabaat (sisa), dan orang yang punya hubungan famili, dengan syarat-syarat dan perincian perhitungan yang jelas.
Ini merupakan faktor terbesar dalam membagi kekayaan dan mendistribusikannya, yaitu setelah matinya orang yang mewariskan dengan jumlah ahli waris yang cukup besar.
Berbeda dengan sebagian sistem yang memberikan tarikah (tinggalan mayyit) untuk anaknya yang tertua dan sistem-sistem lain yang mirip dengan itu. Di samping itu ada yang disebut dengan "Wasiat" untuk selain ahli waris. Sebagian ulama salaf mewajibkan wasiat, berdasarkan firman Allah SWT:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda maut), jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang mengubah warna wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui." ( QS Al Baqarah : 180)
Dari ayat inilah diambil undang-undang wasiat yang wajib, yang berupaya ingin mengobati penyakit terlantarnya anak cucu.
Kelima, hak waliyyul 'Amrisyar'i dalam mengembalikan keseimbangan apabila rusak, dengan melalui harta umum seperti fai' dan lainnya. Bukan dengan cara mushadarah (mengeluarkan) hak milik yang resmi di mana pemiliknya harus komitmen terhadap hukum Islam.
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membagi harta fai' Bani Nadhir. Beliau membagikannya kepada Muhajirin saja tanpa melibatkan kaum Anshar kecuali hanya dua orang dari mereka yang sangat memerlukannya.
Rahasia dari itu bahwa sesungguhnya kaum Muhajirin telah mengeluarkan diri dari rumah-rumah mereka dan mengorbankan harta mereka, sehingga perbedaan kondisi antara mereka dan saudara-saudaranya kaum Anshar besar sekali.
Kaum Anshar memiliki tanah dan pekarangan sedangkan kaum Muhajirin hampir tidak memiliki apa-apa, betapa pun kaum Anshar juga telah memberikan teladan yang menarik dalam penghormatan mereka dan kesediaan mereka untuk ditempati serta itsar (sikap mendahulukan kepentingan saudaranya) mereka terhadap kaum Muhajirin. Tetapi tawazun yang diinginkan oleh Islam menjadikan Nabi SAW menyelesaikan persoalan ketika ada kesempatan yang pertama kali, dan Al Qur'an sendiri mendukung sikap Rasulullah SAW yang seperti ini.
"Bahkan juga menyebutkan hikmahnya bahwa harta rampasan itu dibagi hanya kepada kaum tertentu yang membutuhkan dari anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (musafir yang membutuhkan)," ujar al-Qardhawi.
Allah SWT berfirman:
"Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan (diputuskan) Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesunggahnnya Allah sangat keras hukum-Nya. ( QS Al Hasyr : 7)
Menurut al-Qardhawi, sesungguhnya sikap Rasulullah SAW ini yang memberikan contoh yang haq kepada penguasa Muslim yang adil yaitu berhukum pada apa yang diturunkan Allah dengan mengkhususkan orang-orang fakir untuk diberi harta negara yang dapat mempersempit kesenjangan dan jurang pemisah antara mereka dengan orang-orang kaya, sehingga mampu mewujudkan keseimbangan ekonomi di dalam masyarakat Islam.
Allah SWT berfirman: "Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki..." ( QS An-Nahl : 71)
"Perbedaan itu bukan merupakan suatu permainan belaka atau tanpa arti, akan tetapi memiliki hikmah , karena dengannya kehidupan ini akan tegak dan teraturlah urusan hidup," ujar Syaikh Yusuf al Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997)
Allah SWT berfirman: "Kami telah membagi (menentukan) antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah mengangkat (meninggikan) sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain..." ( Q S Az-Zukhruf : 32)
Al-Qardhawi menjelaskan yang dimaksud dengan mempergunakan di sini bukan paksaan dan merendahkan, akan tetapi dengan sistem yang administratif, karena kehidupan ini bagaikan pabrik yang besar (raksasa), yang di dalamnya ada yang memimpin dan dipimpin, ada supervisor ada karyawan biasa, ada juga satpam dan ada pelayan.
"Masing-masing dari mereka mempunyai tugas sendiri-sendiri, dan masing-masing mereka itu penting keberadaannya agar mesin kehidupan bisa beroperasi dan produktif," katanya.
Meskipun Islam menegaskan adanya prinsip perbedaan di dalam masalah rezeki dan perbedaan dalam kekayaan dan kemiskinan, tetapi jika kita lihat maka Islam juga berupaya untuk mendekatkan (mengurangi) sisi perbedaan antargolongan, sehingga membatasi penyimpangan orang-orang kaya dan mengangkat martabat orang-orang fakir dalam rangka mewujudkan tawazun (keseimbangan) dan menghilangkan sebab-sebab pertarungan dan permusuhan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
Demikian itu, kata al-Qardhawi, karena sesungguhnya Islam membenci berputarnya kekayaan di tangan orang-orang tertentu yang mereka putar di antara mereka, sementara sebagian besar orang tidak memilikinya.
Islam senang kalau harta itu tidak hanya berkisar pada orang-orang kaya saja. Oleh karena itu Islam memiliki beberapa sarana untuk mengatasi hal-hal seperti itu, antara lain sebagai berikut:
Pertama, mengharuskan orang kaya untuk tidak mengembangkan kekayaannya dengan cara-cara yang diharamkan, seperti riba, menimbun, menipu, memperdagangkan barang-barang terlarang dan sebagainya. Dengan pembatasan masalah pengembangan harta ini, dapat menutup jalan menuju kekayaan yang curang dan keji.
Kedua, diwajibkannya zakat pada harta orang-orang kaya, untuk diberikan kepada orang-orang fakir. Ia merupakan pemungutan dan pemberian. Zakat sebagaimana disyari'atkan oleh Islam, tidak lain kecuali merupakan sarana untuk memberi pemilikan kepada kaum fuqara' sehingga dapat mencukupi kebutuhan mereka. Baik yang bersifat rutin tahunan atau secara terus menerus.
Imam Nawawi mengatakan, "Orang fakir dan miskin itu terus diberi sehingga terpenuhi kebutuhannya dan memperoleh kecukupan darinya. Hal itu berbeda-beda tergantung kepada kondisi orangnya. Orang yang mampu bekerja tetapi tidak mendapatkan alat ketrampilannya maka ia diberi uang untuk membeli alat itu, baik harganya murah atau mahal. Atau seorang pedagang diberi modal untuk memperbaiki bisnisnya, sekiranya keuntungannya dari bisnis bisa mencukupi kebutuhannya secara umum. Dan barangsiapa yang tidak pandai bekerja atau berdagang maka ia diberi secukupnya untuk pemenuhan kebutuhan seumur hidupnya secara umum."
Dengan demikian zakat bisa berfungsi untuk memperbanyak jumlah pemilikan dari orang-orang fakir. Dengan zakat itu Islam memberikan hak milik kepada orang yang bekerja yaitu dengan memberikan perabotan produksi, baik peralatannya atau pabrik atau sebagian dari pabrik, dan memberikan hak milik kepada petani berupa sawah atau sebagian dari sawah yang dimiliki bersama orang lain.
Baca Juga
Selain itu, memberikan hak milik kepada pedagang dengan memberi tempat untuk berdagang dan peralatannya, dan juga memberikan hak milik kepada selain mereka berupa pekarangan atau lainnya.
Lalu, sesuatu yang sekiranya bisa menjadi pemasukan rutin yang teratur sehingga bisa mencukupi kebutuhannya dengan sempurna dan juga mencukupi orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. "Semua itu diatur oleh lembaga zakat dengan memperhatikan secara optimal terhadap mereka dan apa yang ada di bawah tangan mereka," ujar al-Qardhawi.
Ketiga, diwajibkannya penunaian kewajiban-kewajiban selain zakat kepada para aghniya', seperti nafkah untuk para kerabat, berbagai nadzar dan kaffaraat, menyembelih korban (wajib menurut madzhab Abu Hanifah), hak-hak tetangga dan famili, menyuguh tamu, memberi makan orang yang kelaparan, menolong orang yang terkena musibah, melepaskan tawanan, mengobati orang sakit, bantuan ketika ada musibah mendadak yang menimpa ummat seperti peperangan, kelaparan dan lain sebagainya. Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak beriman kepadaku orang yang semalam suntuk ia kekenyangan, sementara tetanggannya kelaparan di sisinya sedangkan ia mengetahuinya" (HR Thabrani dan Hakim)
Keempat, pewarisan yang disyari'atkan oleh Islam ditujukan kepada anak-anak, kedua orang tua, para suami dan pemilik 'Ashabaat (sisa), dan orang yang punya hubungan famili, dengan syarat-syarat dan perincian perhitungan yang jelas.
Ini merupakan faktor terbesar dalam membagi kekayaan dan mendistribusikannya, yaitu setelah matinya orang yang mewariskan dengan jumlah ahli waris yang cukup besar.
Berbeda dengan sebagian sistem yang memberikan tarikah (tinggalan mayyit) untuk anaknya yang tertua dan sistem-sistem lain yang mirip dengan itu. Di samping itu ada yang disebut dengan "Wasiat" untuk selain ahli waris. Sebagian ulama salaf mewajibkan wasiat, berdasarkan firman Allah SWT:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda maut), jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang mengubah warna wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui." ( QS Al Baqarah : 180)
Dari ayat inilah diambil undang-undang wasiat yang wajib, yang berupaya ingin mengobati penyakit terlantarnya anak cucu.
Kelima, hak waliyyul 'Amrisyar'i dalam mengembalikan keseimbangan apabila rusak, dengan melalui harta umum seperti fai' dan lainnya. Bukan dengan cara mushadarah (mengeluarkan) hak milik yang resmi di mana pemiliknya harus komitmen terhadap hukum Islam.
Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam membagi harta fai' Bani Nadhir. Beliau membagikannya kepada Muhajirin saja tanpa melibatkan kaum Anshar kecuali hanya dua orang dari mereka yang sangat memerlukannya.
Rahasia dari itu bahwa sesungguhnya kaum Muhajirin telah mengeluarkan diri dari rumah-rumah mereka dan mengorbankan harta mereka, sehingga perbedaan kondisi antara mereka dan saudara-saudaranya kaum Anshar besar sekali.
Kaum Anshar memiliki tanah dan pekarangan sedangkan kaum Muhajirin hampir tidak memiliki apa-apa, betapa pun kaum Anshar juga telah memberikan teladan yang menarik dalam penghormatan mereka dan kesediaan mereka untuk ditempati serta itsar (sikap mendahulukan kepentingan saudaranya) mereka terhadap kaum Muhajirin. Tetapi tawazun yang diinginkan oleh Islam menjadikan Nabi SAW menyelesaikan persoalan ketika ada kesempatan yang pertama kali, dan Al Qur'an sendiri mendukung sikap Rasulullah SAW yang seperti ini.
"Bahkan juga menyebutkan hikmahnya bahwa harta rampasan itu dibagi hanya kepada kaum tertentu yang membutuhkan dari anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil (musafir yang membutuhkan)," ujar al-Qardhawi.
Allah SWT berfirman:
"Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan (diputuskan) Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesunggahnnya Allah sangat keras hukum-Nya. ( QS Al Hasyr : 7)
Menurut al-Qardhawi, sesungguhnya sikap Rasulullah SAW ini yang memberikan contoh yang haq kepada penguasa Muslim yang adil yaitu berhukum pada apa yang diturunkan Allah dengan mengkhususkan orang-orang fakir untuk diberi harta negara yang dapat mempersempit kesenjangan dan jurang pemisah antara mereka dengan orang-orang kaya, sehingga mampu mewujudkan keseimbangan ekonomi di dalam masyarakat Islam.
(mhy)