Puasa Ramadan Bukan Sekadar Menahan Haus, Lapar dan Berahi
Jum'at, 08 Maret 2024 - 10:14 WIB
Hakikat pengertian puasa tidak saja mampu menahan diri dari makan, minum, atau berhubungan intim di siang hari Ramadan ( jimak ). Lebih dari itu pengertian puasa adalah menahan diri dari segala perbuatan dan ucapan yang diharamkan.
Umat Islam juga diperintahkan menjauhi hal-hal yang tercela, seperti menggunjing, menghasut, dan saling bermusuhan. Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwatha’nya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
Artinya, "Puasa itu adalah perisai, jika salah satu dari kalian sedang berpuasa, maka jangan sampai berkata rafats (kotor) dan jangan pula bertingkah laku jahil (sombong, suka mengejek, atau bertengkar). Jika ada orang lain yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka hendaklah dia mengatakan "Aku sedang puasa, Aku sedang puasa." (HR Imam Malik).
Imam Ibnu Asyur dalam kitab Kasyful Mughattha menjelaskan, puasa merupakan perisai dari berbagai marabahaya. Puasa menjadi tameng dari setiap bahaya yang akan menerpa. Puasa menjadi tameng dari melakukan perbuatan tercela, sebagai perisai dari nafsu yang hina agar kita menjadi bersih hatinya.
Itu sebabnya, pada saat berpuasa harus mampu menahan mulut, mata, telinga, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan pahala puasa.
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ath Thabaroni)
Hadis di atas sebagai warning agar puasa kita tidak sia-sia tidak berpahala, sebagaimana dikuatkan dalam hadits lain;
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan keji.’ (HR Baihaqi dan Al-Hakim).
Termasuk contoh menahan diri dari perkataan yang sia-sia adalah ghibah, yaitu membicarakan kejelekan, kesalahan atau kekurangan orang lain.
Baik secara langsung atau melalui sosial media. Membicarakan, menulis atau merasa nyaman mendengarkan kejelekan, kesalahan dan kekuarangan orang lain. Semuanya sama termasuk ghibah, dan perbuatan ghibah termasuk penyebab puasanya sia-sia atau tidak berpahala. Dalam salah satu riwayat hadis disebutkan sebagai berikut:
“Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa, yaitu ghibah, mengadu domba, berdusta, ciuman, dan sumpah palsu.”
Terhadap hadis riwayat di atas Imam Nawawi menjelaskan: “Sahabat kami (ulama kalangan Syafiiyyah) menjawab hadis-hadis tersebut, selain hadis kelima, bahwa yang dimaksud sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut dapat diperoleh dengan menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, dan perkataan yang buruk, bukan bahwa puasa batal dengannya. Adapun hadis terakhir, (Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa) hadisnya batil tidak dapat dijadikan hujjah. Imam Mawardi, Al-Mutawalli, dan yang lainnya telah menjawab bahwa yang dimaksud batal adalah batal pahalanya, buka puasanya.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, juz VI halaman 356).
Dalam keterangan kitab lain disebutkan: “Adapun hadis tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah“, maka tidak ada Jumat baginya,“ hadis ini tidak bermaksud salatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala Jumatnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak salat.“ (Al-Bayan fi Madzhabi syafi’i, juz 3, halaman 536).
Itu sebabnya untuk kesempurnaan ibadah puasa Ramadan, maka selama berpuasa hindari bacaan, postingan berita, gambar, video dan lainnya yang mengarah pada ghibah, fitnah, adu domba dan perbuatan apapun yang diharamkan.
Umat Islam juga diperintahkan menjauhi hal-hal yang tercela, seperti menggunjing, menghasut, dan saling bermusuhan. Sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwatha’nya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا: فَلَا يَرْفُثْ، وَلَا يَجْهَلْ، فَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ، أَوْ شَاتَمَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ، إِنِّي صَائِمٌ
Artinya, "Puasa itu adalah perisai, jika salah satu dari kalian sedang berpuasa, maka jangan sampai berkata rafats (kotor) dan jangan pula bertingkah laku jahil (sombong, suka mengejek, atau bertengkar). Jika ada orang lain yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya maka hendaklah dia mengatakan "Aku sedang puasa, Aku sedang puasa." (HR Imam Malik).
Baca Juga
Imam Ibnu Asyur dalam kitab Kasyful Mughattha menjelaskan, puasa merupakan perisai dari berbagai marabahaya. Puasa menjadi tameng dari setiap bahaya yang akan menerpa. Puasa menjadi tameng dari melakukan perbuatan tercela, sebagai perisai dari nafsu yang hina agar kita menjadi bersih hatinya.
Itu sebabnya, pada saat berpuasa harus mampu menahan mulut, mata, telinga, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari perbuatan yang dapat mengurangi atau menghilangkan pahala puasa.
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR Ath Thabaroni)
Hadis di atas sebagai warning agar puasa kita tidak sia-sia tidak berpahala, sebagaimana dikuatkan dalam hadits lain;
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ الصِّيَامُ مِنْ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَقَطْ، الصِّييَامُ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Puasa bukan sekadar menahan diri dari makan dan minum saja, puasa adalah menahan diri dari perkataan sia-sia dan keji.’ (HR Baihaqi dan Al-Hakim).
Baca Juga
Termasuk contoh menahan diri dari perkataan yang sia-sia adalah ghibah, yaitu membicarakan kejelekan, kesalahan atau kekurangan orang lain.
Baik secara langsung atau melalui sosial media. Membicarakan, menulis atau merasa nyaman mendengarkan kejelekan, kesalahan dan kekuarangan orang lain. Semuanya sama termasuk ghibah, dan perbuatan ghibah termasuk penyebab puasanya sia-sia atau tidak berpahala. Dalam salah satu riwayat hadis disebutkan sebagai berikut:
خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْغِيبَةُ وَالنَّمِيمَةُ وَالْكَذِبُ وَالْقُبْلَةُ وَالْيَمِينُ الْفَاجِرَةُ
“Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa, yaitu ghibah, mengadu domba, berdusta, ciuman, dan sumpah palsu.”
Terhadap hadis riwayat di atas Imam Nawawi menjelaskan: “Sahabat kami (ulama kalangan Syafiiyyah) menjawab hadis-hadis tersebut, selain hadis kelima, bahwa yang dimaksud sesungguhnya kesempurnaan puasa dan keutamaan yang dituntut dapat diperoleh dengan menjaga puasa dari perbuatan sia-sia, dan perkataan yang buruk, bukan bahwa puasa batal dengannya. Adapun hadis terakhir, (Lima hal yang menyebabkan batalnya puasa) hadisnya batil tidak dapat dijadikan hujjah. Imam Mawardi, Al-Mutawalli, dan yang lainnya telah menjawab bahwa yang dimaksud batal adalah batal pahalanya, buka puasanya.” (Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf An-Nawawi, Majmu’ Syarhul Muhadzzab, juz VI halaman 356).
Dalam keterangan kitab lain disebutkan: “Adapun hadis tersebut, maka yang dimaksud adalah menggugurkan pahala puasa, sehingga menjadi makna perkara yang membatalkan puasa, sebagaimana contoh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya sedangkan imam berkhutbah, “ Diamlah“, maka tidak ada Jumat baginya,“ hadis ini tidak bermaksud salatnya batal, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwasanya pahala Jumatnya gugur sehingga menjadi makna orang yang tidak salat.“ (Al-Bayan fi Madzhabi syafi’i, juz 3, halaman 536).
Itu sebabnya untuk kesempurnaan ibadah puasa Ramadan, maka selama berpuasa hindari bacaan, postingan berita, gambar, video dan lainnya yang mengarah pada ghibah, fitnah, adu domba dan perbuatan apapun yang diharamkan.
(mhy)