Sejarah Salat Tarawih 20 Rakaat
Jum'at, 22 Maret 2024 - 15:14 WIB
Oleh: Ust. Abil Ash, M.Ag
Dosen Ilmu Hadis, Institut Daarul Qur’an Jakarta
Salat Tarawih adalah salat yang dianjurkan selama bulan Ramadan berlangsung. Kata tarawih itu sendiri memiliki arti istirahat, karena dalam setiap dua raka’at itu melakukan gerakan istirahat sejenak. Maka esensi dari salat ini adalah salat yang tidak terburu-buru, karena harus melakukan istirahat dalam setiap dua raka’atnya.
Dengan redaksi:
Memberikan mereka istirahat sekadar berwudhu dan menunaikan hajat mereka.
Salat Tarawih dengan nominal dua puluh raka’at adalah amalan yang diperkenalkan dan dipelopori oleh Khalifah Umar bin al-Khattab (Sunatul Umar).
Walaupun Salat Tarawih sendiri itu telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan istilah qiyamul lail (menghidupkan malam) bukan dengan istilah tarawih.
Berikut adalah sejarah lahirnya 20 raka’at dalam salat tarawih:
1. Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, salat tarawih terpecah-pecah atas beberapa jama’ah di dalam masjid. Yang seharusnya masjid itu menyatukan jama’ah, malah jama’ahnya ini terpencar dan terpisah-pisah. Di tambah dengan bermodal suara bagus untuk menarik para jama’ah untuk salat bersamanya.
2. Dan pada akhirnya Umar mengeluarkan suatu kebijakan untuk membuat jama’ah yang terpencar-pencar itu menjadi satu kesatuan yakni satu jamaah engan satu imam. Tidak ada dua jama’ah dalam satu masjid melaksanakan salat sunah yang sama yakni salat tarawih.
3. Awal memulai dalam mengeksekusi kebijakan, salat dikerjakan dengan format delapan raka’at dan dalam waktu yang lama, karena memang bacaan yang dibaca adalah surah-surah yang panjang.
4. Kemudian format lama di ganti dengan format baru yakni dengan format bacaan yang lebih pendek atau sedikit tetapi jumlah raka’at dalam salat lebih banyak menjadi 13 raka’at.
5. Format kembali berubah lagi menjadi lebih ringan. Bacaan imam diperpendek dan diperpendek waktu yang dihabiskan untuk salat 2/4 malam saja. Ringan dan tidak terlalu melelahkan serta masih menyisahkan waktu untuk istirahat di malam harinya.
6. Munculnya istilah Tarawih (pengistirahatan), karena di masa ini, Imam memberikan waktu Tarwih (istirahat) di setiap 2 rakaat. Karena banyaknya istirahat (tarwih) maka salat ini disebut dengan istilah salat tarawih. Salat yang banyak Istirahatnya.
7. Akhirnya muncul kesan, bahwa gaya Umar ra itu “sedikit rakaat banyak bacaan atau banyak rakaat sedikit bacaan”. Dan itu memang benar-benar terjadi sekarang ini.
Pada akhirnya di zaman khalifah Umar menetapkan jumlah raka’at salat ini menjadi 20 rakaat berlandaskan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Yazid bin Khushoifah dari al-Saib bin Yazid:
Diriwayatkan dari Yazid bin khushoifah dari al-Sa’ib bin Yazid, beliau berkata: “Para Sahabat di masa Umar bin Khattab ra melakukan qiyamullail (beribadah di tengah malam) di bulan Ramadan 20 rakaat dengan membaca 200 ayat, sedangkan pada masa Utsman ra mereka bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri”. (HR Al Baihaqi (2/496), dan dinilai sahih Imam Nawawi dalam kitab Majmu, Imam Zaila’i dalam kitab Nasb al-Rayah, dan mayoritas ulama. (Nuruddin Iter, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram: juz: 1, hal: 79)
Hal tersebut dikuatkan dengan hadis lain tentang perintah Nabi untuk mengamalkan sunah Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan dalam hadits:
“Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin yang mendapatkan hidayah setelahku, berpegang tegunglah dengan kuat sunnah tersebut”. (HR. Ahmad: 4/126).
Dosen Ilmu Hadis, Institut Daarul Qur’an Jakarta
Salat Tarawih adalah salat yang dianjurkan selama bulan Ramadan berlangsung. Kata tarawih itu sendiri memiliki arti istirahat, karena dalam setiap dua raka’at itu melakukan gerakan istirahat sejenak. Maka esensi dari salat ini adalah salat yang tidak terburu-buru, karena harus melakukan istirahat dalam setiap dua raka’atnya.
Dengan redaksi:
وَيُرَوِّحُهُمْ قَدْرَ مَا يَتَوَضَأُ اْلمُتَؤَضَأُ وَيَقْضِى حَاجَتَهُ
Memberikan mereka istirahat sekadar berwudhu dan menunaikan hajat mereka.
Salat Tarawih dengan nominal dua puluh raka’at adalah amalan yang diperkenalkan dan dipelopori oleh Khalifah Umar bin al-Khattab (Sunatul Umar).
Walaupun Salat Tarawih sendiri itu telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan istilah qiyamul lail (menghidupkan malam) bukan dengan istilah tarawih.
Baca Juga
Berikut adalah sejarah lahirnya 20 raka’at dalam salat tarawih:
1. Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, salat tarawih terpecah-pecah atas beberapa jama’ah di dalam masjid. Yang seharusnya masjid itu menyatukan jama’ah, malah jama’ahnya ini terpencar dan terpisah-pisah. Di tambah dengan bermodal suara bagus untuk menarik para jama’ah untuk salat bersamanya.
2. Dan pada akhirnya Umar mengeluarkan suatu kebijakan untuk membuat jama’ah yang terpencar-pencar itu menjadi satu kesatuan yakni satu jamaah engan satu imam. Tidak ada dua jama’ah dalam satu masjid melaksanakan salat sunah yang sama yakni salat tarawih.
3. Awal memulai dalam mengeksekusi kebijakan, salat dikerjakan dengan format delapan raka’at dan dalam waktu yang lama, karena memang bacaan yang dibaca adalah surah-surah yang panjang.
4. Kemudian format lama di ganti dengan format baru yakni dengan format bacaan yang lebih pendek atau sedikit tetapi jumlah raka’at dalam salat lebih banyak menjadi 13 raka’at.
5. Format kembali berubah lagi menjadi lebih ringan. Bacaan imam diperpendek dan diperpendek waktu yang dihabiskan untuk salat 2/4 malam saja. Ringan dan tidak terlalu melelahkan serta masih menyisahkan waktu untuk istirahat di malam harinya.
6. Munculnya istilah Tarawih (pengistirahatan), karena di masa ini, Imam memberikan waktu Tarwih (istirahat) di setiap 2 rakaat. Karena banyaknya istirahat (tarwih) maka salat ini disebut dengan istilah salat tarawih. Salat yang banyak Istirahatnya.
7. Akhirnya muncul kesan, bahwa gaya Umar ra itu “sedikit rakaat banyak bacaan atau banyak rakaat sedikit bacaan”. Dan itu memang benar-benar terjadi sekarang ini.
Pada akhirnya di zaman khalifah Umar menetapkan jumlah raka’at salat ini menjadi 20 rakaat berlandaskan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Yazid bin Khushoifah dari al-Saib bin Yazid:
عَنْ يَزِيدَ بْنِ خُصَيْفَةَ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ : كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِينَ رَكْعَةً - قَالَ - وَكَانُوا يَقْرَءُونَ بِالْمِئِينِ، وَكَانُوا يَتَوَكَّئُونَ عَلَى عُصِيِّهِمْ فِى عَهْدِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ شِدَّةِ الْقِيَامِ. أخرجه البيهقي (2 / 496) وصححه النووي في المجموع والزيلعي في نصب الراية والعلماء كافة. (إعلام الأنام شرح بلوغ المرام للشيخ نور الدين عتر: 1 / 79.
Diriwayatkan dari Yazid bin khushoifah dari al-Sa’ib bin Yazid, beliau berkata: “Para Sahabat di masa Umar bin Khattab ra melakukan qiyamullail (beribadah di tengah malam) di bulan Ramadan 20 rakaat dengan membaca 200 ayat, sedangkan pada masa Utsman ra mereka bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri”. (HR Al Baihaqi (2/496), dan dinilai sahih Imam Nawawi dalam kitab Majmu, Imam Zaila’i dalam kitab Nasb al-Rayah, dan mayoritas ulama. (Nuruddin Iter, I’lam al-Anam Syarh Bulugh al-Maram: juz: 1, hal: 79)
Hal tersebut dikuatkan dengan hadis lain tentang perintah Nabi untuk mengamalkan sunah Khulafaur Rasyidin yang dijelaskan dalam hadits:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المَهْدِيِيْنَ مِنْ بَعْدِي عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذ. (رواه أحمد: 4/126).
“Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin yang mendapatkan hidayah setelahku, berpegang tegunglah dengan kuat sunnah tersebut”. (HR. Ahmad: 4/126).
(mhy)