Begini Tanggapan Syaikh Al-Qardhawi Perihal Hukum Musik dan Nyanyian
Rabu, 22 Mei 2024 - 12:21 WIB
Sebagian orang mengharamkan semua bentuk nyanyian dengan alasan firman Allah: "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." ( QS Luqman : 6)
Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan pada penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.
Mereka juga beralasan pada ayat lain: "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..." ( QS Al Qashash : 55)
Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk "laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).
Syaikh Prof Dr Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press, 1995) menanggapi pendapat tersebut. Sebelumnya, kita mengenal dulu siapa Al-Qaradawi (1926 – 2022).
Beliau adalah ulama Mesir yang tinggal di Doha, Qatar , dan ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional. Ia mendapat pengaruh termasuk dari Ibnu Taimiyah , Ibnu Qayyim , Sayyid Rasyid Ridha, Hassan al-Banna, Abul Hasan Ali Hasani Nadwi, Abul A'la Maududi dan Naeem Siddiqui.
Syaikh al-Qardhawi mengatakan masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. "Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain," katanya.
Menurut al-Qardhawi, mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek.
"Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram," katanya.
Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari raya. "Mengenai hal ini terdapat banyak hadis yang sahih dan jelas," tambah al-Qardhawi.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Di antara mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan dianggapnya mustahab.
Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan musik atau tidak).
"Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang mengharamkannya," ujar al-Qardhawi.
Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan di atas.
Kita perhatikan ayat pertama:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah SAW.
Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain.
Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
"'Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al-Qur'an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir.
Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.
Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan salat karena sibuk membaca Al-Qur'an atau membaca hadis, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."
Adapun ayat kedua:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Syaikh al-Qardhawi berpendapat penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, karena makna zahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." ( QS Al-Qashash : 55)
Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap 'ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih):
"... dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." ( QS Al Furqan : 63)
Andaikata kita terima kata "laghwu" dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya.
Al-Qardhawi menjelaskan kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah SAW memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." ( QS Al Ma'idah : 89)
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?"
"Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'," ujar al-Qardhawi.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Selain firman Allah itu, mereka juga beralasan pada penafsiran para sahabat tentang ayat tersebut. Menurut sahabat, yang dimaksud dengan "lahwul hadits" (perkataan yang tidak berguna) dalam ayat ini adalah nyanyian.
Mereka juga beralasan pada ayat lain: "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..." ( QS Al Qashash : 55)
Sedangkan nyanyian, menurut mereka, termasuk "laghwu" (perkataan yang tidak bermanfaat).
Syaikh Prof Dr Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press, 1995) menanggapi pendapat tersebut. Sebelumnya, kita mengenal dulu siapa Al-Qaradawi (1926 – 2022).
Beliau adalah ulama Mesir yang tinggal di Doha, Qatar , dan ketua Persatuan Ulama Muslim Internasional. Ia mendapat pengaruh termasuk dari Ibnu Taimiyah , Ibnu Qayyim , Sayyid Rasyid Ridha, Hassan al-Banna, Abul Hasan Ali Hasani Nadwi, Abul A'la Maududi dan Naeem Siddiqui.
Syaikh al-Qardhawi mengatakan masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik, merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum muslimin sejak zaman dulu. "Mereka sepakat dalam beberapa hal dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain," katanya.
Menurut al-Qardhawi, mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila berisi ucapan yang jelek.
"Sedangkan setiap perkataan yang menyimpang dari adab Islam adalah haram," katanya.
Mereka juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan, saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari raya. "Mengenai hal ini terdapat banyak hadis yang sahih dan jelas," tambah al-Qardhawi.
Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Di antara mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan dianggapnya mustahab.
Sebagian lagi tidak memperbolehkan nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan musik atau tidak).
"Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang mengharamkannya," ujar al-Qardhawi.
Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah kedua ayat yang dikemukakan di atas.
Kita perhatikan ayat pertama:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna ..."
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia berkata: "Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah SAW.
Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain.
Ketiga: nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
"'Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan ..."
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini, maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi. Jika ada orang yang membeli Al-Qur'an (mushaf) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir.
Perilaku seperti inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya - bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.
Demikian juga orang yang sengaja mengabaikan salat karena sibuk membaca Al-Qur'an atau membaca hadis, atau bercakap-cakap, atau menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia lakukan."
Adapun ayat kedua:
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya ..."
Syaikh al-Qardhawi berpendapat penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan nyanyian tidaklah tepat, karena makna zahir "al laghwu" dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
Baca Juga
"Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil." ( QS Al-Qashash : 55)
Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap 'ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha Pengasih):
"... dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik." ( QS Al Furqan : 63)
Andaikata kita terima kata "laghwu" dalam ayat tersebut meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak mewajibkan berpaling darinya.
Al-Qardhawi menjelaskan kata "al laghwu" itu seperti kata al bathil, digunakan untuk sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah SAW memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada beliau: "Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?" Beliau menjawab, "Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah berfirman:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah) ..." ( QS Al Ma'idah : 89)
Imam Al Ghazali berkata: "Apabila menyebut nama Allah Ta'ala terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan hukuman pada nyanyian dan tarian?"
"Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk menggugurkan amalan yang secara zahir ibadah tetapi secara batin merupakan riya'," ujar al-Qardhawi.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia melihat hatimu." (HR Muslim dan Ibnu Majah)
(mhy)