Kisah Abu Ubaidah Ragu Jalankan Perintah Umar Mengeksekusi Khalid bin Walid

Kamis, 13 Juni 2024 - 14:59 WIB
Di Madinah Umar sedang menunggu kedatangan Khalid dalam keadaan yang sudah dipecat dari jabatannya. Ilustrasi: Ist
Kisah Abu Ubaidah ragu menjalankan perintah Khalifah Umar bin Khattab untuk memecat Khalid bin Walid dari ketentaraan diceritakan Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul "Al-Faruq Umar" yang diterjemahkan Ali Audah menjadi "Umar bin Khattab, Sebuah teladan mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya masa itu" (PT Pustaka Litera AntarNusa, 2000).

Pemecatan Khalid itu dipicu masalah pemberian hadiah kepada Al-­Asy'as bin Qais 10.000 dirham. Bilal bin Rabah telah menginterogasi dirinya. Khalid mengaku bahwa duit itu adalah milik pribadinya. Bukan uang dari pampasan perang. Bukan uang negara.



Haekal mengisahkan menyaksikan peristiwa itu mereka berkata satu sama lain, mereka berlainan pendapat satu sama lain. Satu pihak berpendapat bahwa Amirulmukminin benar. Dalam mengadili Khalid, ia tidak membedakan-bedakan, sama seperti ketika mengadili wakil-wakilnya yang lain.

Sementara yang sebagian lagi berpendapat bahwa Khalid pemimpin militer Muslimin yang terbaik dan terbanyak memperoleh kemenangan, maka jika akan menilai kesalahan-kesalahannya harusnya juga disertai penilaian terhadap jasa-jasanya yang begitu agung, dan jika Umar mau mengadilinya, seharusnya ia dipanggil dan diadili sendiri dan jangan disidangkan sebagai tertuduh kejahatan di tengah-tengah pasukan yang sangat menghormati dan mengaguminya.

Orang-orang yang sudah begitu fanatik kepada Khalid, penghinaan macam itu sungguh telah menimbulkan kemarahan dalam hati mereka. Mereka lalu teringat pada peranan Umar tatkala baru menggantikan Abu Bakar dan pemecatan Khalid dari pimpinan militer.

Mereka pula yang menduga bahwa Amirulmukminin memperlakukan Khalid dengan penghinaan serupa itu karena ia iri hati kepadanya mengingat orang sudah begitu fanatik dan mencintainya. Itu hanya persaingan yang membangkitkan soal lama, yang tak ada hubungannya sama sekali dengan keadilan.



Rasa terkejut Khalid tidak hilang begitu saja sesudah pertemuan itu. Dalam hati ia masih bertanya-tanya, bercampur bingung: Apa maunya Umar gerangan dengan dia?

Tidak wajar rasanya jika jawabnya cukup bahwa hadiah yang diberikannya kepada Asy'as dari dirinya sendiri, dan sudah tentu dia sudah menulis kepada Abu Ubaidah lebih dari apa yang sudah terjadi itu.

Andaikata maksudnya sekadar untuk mengetahui asal usul yang sepuluh ribu itu, niscaya cukup Abu Ubaidah saja menanyakan kepada Khalid dan menyampaikan jawabannya kepada Amirulmukminin.

Bahwa dia sampai disidang di tengah-tengah orang banyak dengan begitu hina, tentu ada masalah lain di balik itu. Dan masalah itu tentu penting sekali, terbukti dari kebingungan Abu Ubaidah sendiri hingga ia memilih diam.

Menurut Haekal, untuk menghilangkan kebingungannya dan untuk mengetahui berita dengan sejelas-jelasnya haruskah Khalid menanyakah sendiri kepada Abu Ubaidah?

Ia membicarakan masalah ini kepada beberapa orang stafnya. Mereka mengatakan kepadanya bahwa orang ramai bicara bahwa dia mengatakan, uang yang dihadiahkan kepada Asy'as itu dari harta perolehan perang dan dia akan dipersalahkan dan Abu Ubaidah akan mengembalikannya ke tempat tugasnya.



Perlukah kiranya ia menemui Abu Ubaidah dan membisikkan kepadanya apa yang sebenarnya dikehendaki Umar supaya ia dikembalikan ke Kinnasrin?

Dalam hal ini ia masih maju mundur sesudah ia bertanya-tanya dalam hatinya. Kalau ia lakukan hal itu dan orang tahu, martabatnya di mata mereka akan jatuh, kepercayaan mereka kepadanya akan hilang.

Ia pergi menemui saudara perempuannya, Fatimah binti Walid, untuk dimintai pendapat. Saudaranya itu mengatakan: "Umar memang tak pernah mencintaimu. Keinginannya hanya supaya Anda mendustakan hatimu, kemudian ia akan memecatmu."

Khalid setuju dengan pendapatnya itu, dan sambil mencium kepala Fatimah ia berkata: "Anda benar." Ia hanya tinggal menunggu apa yang akan terjadi atas dirinya.

Sementara itu sedang terjadi di Hims, di Madinah Umar sedang menunggu kedatangan Khalid dalam keadaan yang sudah dipecat dari jabatannya.

Sama sekali tak terlintas dalam pikirannya, bahwa Abu Ubaidah akan menahan penyampaian soal pemecatan itu atau akan membiarkan Khalid tetap bertugas dalam jabatannya sesudah ia dibebaskan dari jabatan itu.



Setelah lama ia menunggu dan Khalid pun tidak muncul, timbul dugaannya apa yang sudah terjadi itu. Ia sudah dapat menangkap, bahwa Abu Ubaidah dengan segala kehalusan budinya, kelambanan dan sikap rendah hatinya, ia memperkirakan kesedihan yang akan menimpa hati Khalid bila mengetahui tujuan yang diinginkan Amirulmukminin, dan sebagai akibatnya kegelisahan Muslimin dan pasukannya yang akan timbul pada saat-saat yang sangat diperlukan oleh Abu Ubaidah untuk menghindari segala macam kegelisahan dan fitnah.

Adakah kita mengira bahwa Aminul Ummah masih mengharapkan Umar akan menarik kembali perintahnya. Jika keadaan sudah tenang dari nafsu marahnya ia akan menulis surat kepadanya supaya Khalid dikembalikan ke tempat tugasnya semula.

Itu sebabnya ia diam dan akan bersabar sampai badai itu lalu dan orang sudah tak lagi melihat bekasnya. Terpikir oleh Amirulmukminin bahwa memang perasaan ini yang mungkin bergejolak dalam hati Abu Ubaidah, sehingga dengan ketenangan hatinya, dengan sikapnya yang selalu berkepala dingin serta keteguhannya hatinya, ia tak sampai hati melaksanakan sendiri tuduhan itu.

Karenanya ia kemudian menulis surat kepada Khalid memintanya datang untuk memberitahukan persoalan yang oleh Abu Ubaidah masih ditahan-tahan penyampaiannya.



Sesudah Khalid menerima surat itu, tersentak hatinya. Ia melihat apa yang dilakukan Abu Ubaidah itu karena kasihan kepadanya, padahal dia sendiri adalah orang yang suka mengejek perasaan kasihan dan tidak mengenalnya. Ia pergi menemui Abu Ubaidah dengan hati yang bergejolak antara rasa cintanya dengan rasa marah kepadanya.

"Semoga Allah memberi rahmat kepada Anda!" katanya setelah menemuinya. "Apa maksud Anda dengan tindakan Anda itu?! Anda merahasiakan soal yang tadinya sangat ingin saya ketahui!"

Tetapi Abu Ubaidah menjawab dengan kata-kata penuh rasa kasih sayang: "Saya tidak ingin mengejutkan dan membuat Anda terharu dalam hal yang pasti akan demikian. Saya tahu ini akan sangat mengejutkan dan mengharukan Anda."
(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
cover top ayah
وَقَالَ مُوۡسٰى يٰقَوۡمِ اِنۡ كُنۡتُمۡ اٰمَنۡتُمۡ بِاللّٰهِ فَعَلَيۡهِ تَوَكَّلُوۡاۤ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّسۡلِمِيۡنَ (٨٤) فَقَالُوۡا عَلَى اللّٰهِ تَوَكَّلۡنَا‌ ۚ رَبَّنَا لَا تَجۡعَلۡنَا فِتۡنَةً لِّـلۡقَوۡمِ الظّٰلِمِيۡنَۙ‏ (٨٥) وَنَجِّنَا بِرَحۡمَتِكَ مِنَ الۡقَوۡمِ الۡكٰفِرِيۡنَ (٨٦)
Dan Musa berkata, Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang Muslim (berserah diri). Lalu mereka berkata, Kepada Allah-lah kami bertawakal. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zhalim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat-Mu dari orang-orang kafir.

(QS. Yunus Ayat 84-86)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More