Kisah Pilu Pengemis yang Jatuh Cinta dengan Pangeran
Jum'at, 25 September 2020 - 07:15 WIB
Musyawarah Burung (1184-1187) karya Faridu'd-Din Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim atau Attar dalam gaya sajak alegoris ini, melambangkan kehidupan dan ajaran kaum sufi . Judul asli: Mantiqu't-Thair dan diterjemahan Hartojo Andangdjaja dari The Conference of the Birds (C. S. Nott). (
)
===
Pangeran dan Pengemis
Adalah suatu ketika seorang raja mempunyai putera yang begitu menawan seperti Yusuf , penuh daya pesona dan keindahan. Putera raja itu dicintai setiap orang, dan semua yang melihatnya maulah rasanya dengan senang menjadi debu di bawah kakinya. ( )
Bila ia berjalan malam-malam, adalah seakan matahari baru telah terbit di atas gurun. Matanya bunga narsis hitam, dan bila mata itu memandang, dunia pun menyala karenanya. Senyumnya menebarkan gula, dan di mana saja ia berjalan seribu mawar akan berbunga, tak menunggu musim semi.
Maka adalah seorang darwis biasa yang terpikat hatinya pada pangeran muda ini. Siang dan malam ia duduk dekat istana sang pangeran, tidak makan tidak tidur. ( )
Mestinya ia sudah mati, bila tidak sekali-sekali dapat melihat sepintas pangeran muda itu ketika muncul di pasar. Tetapi bagaimana mungkin seorang pangeran yang semulia itu melipur seorang darwis miskin dalam keadaan demikian? Namun orang biasa ini, yang merupakan bayang-bayang, bagian dari sebutir zarrah, ingin mendekap matahari cemerlang itu di dadanya. ( )
Suatu hari ketika pangeran itu sedang dijulang di kepala para abdinya, darwis itu bangkit berdiri dan berseru-seru, mengatakan, "Sudah gila hamba ini, hati hamba teramat sedih, hamba tak sabar dan tak kuat lagi menderita," lalu ia pun memukul-mukulkan kepalanya ke tanah di hadapan sang pangeran.
Salah seorang pengawal istana hendak menyuruh bunuh darwis itu, lalu menghadap raja. "Tuanku," katanya, "seorang yang tak waras telah jatuh cinta kepada putera Tuanku." ( )
Raja pun amat murka, "'Hukum si jahanam yang berani mati itu dengan hukum tusuk," katanya. "Ikat tangan dan kakinya, dan pancangkan kepalanya di atas tiang."
Orang istana itu pun segera pergi menjalankan perintah raja. Orang-orang pun memasang tali jerat di leher pengemis itu lalu menyeretnya ke tiang. Tak seorang tahu apa yang akan terjadi dan tak seorang pun membela si pengemis. ( )
Setelah wazir menyuruh bawa dia ke bawah tiang perantaian, darwis itu pun menjerit sedih dan katanya, "Demi kasih Tuhan, beri hamba pertangguhan, agar setidak-tidaknya hamba dapat mengucapkan doa di bawah tiang perantaian."
Ini dikabulkan, dan darwis itu pun bersujud dan berdoa, "O Tuhan, karena raja telah memerintahkan untuk membunuh hamba --hamba yang tak berdosa ini-- maka karuniai hamba, abdi yang bodoh ini, sebelum hamba mati, dengan kemujuran untuk melihat -- biar sekali saja pun --wajah pangeran muda itu, sehingga hamba dapat menyerahkan diri hamba sebagai korban. O, Tuhan, Raja hamba, yang mendengarkan seribu doa, kabulkan permohonan hamba yang terakhir ini." ( )
Begitu darwis itu selesai mengucapkan doa itu maka panah hasratnya pun segera mencapai sasarannya. Wazir pun mengetahui keinginannya yang tersembunyi itu dan menaruh kasihan padanya. Ia pun menghadap raja dan menjelaskan ihwal yang sebenarnya.
Mendengar itu raja pun termenung; kemudian perasaan belas kasihan pun memenuhi hatinya, dan ia mengampuni darwis itu, lalu berkata pada sang pangeran, "Pergilah mendapatkan si miskin itu di bawah tiang perantaian. Berlakulah lemah lembut padanya, dan ajak dia minum bersama, karena dia telah mengenyam racunmu. Bawa dia ke tamanmu dan kemudian bawa dia ke mari." ( )
Pangeran muda, Yusuf kedua itu, segera pergi --matahari yang berwajah api itu datang bertemu muka dengan sebuah zarrah. Lautan mutiara-mutiara indah itu pergi mencari setitik air. Pukul-pukullah kepalamu karena gembira, tapakkan kakimu menari, dan bertepuk tanganlah! Tetapi darwis itu ada dalam putus asa; airmatanya membuat debu menjadi lumpur, dan dunia pun menjadi berat karena keluhan-keluhannya. Bahkan pangeran itu sendiri tak dapat menahan tangisnya, ( )
Ketika darwis itu melihat airmata sang pangeran, ia berkata, "O Pangeran, kini Tuan boleh mengambil nyawa hamba." Dan setelah berkata demikian, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, mati. Ketika mengetahui bahwa ia telah menjadi satu dengan yang dikasihinya, maka tak ada lagi keinginan-keinginan lain yang tinggal padanya. ( )
O kau, yang ada namun sekaligus juga sesuatu yang tak berarti, dengan kebahagiaanmu yang bercampur dengan kesengsaraanmu, bila kau belum pernah mengalami kegelisahan, bagaimana kau akan menghargai ketenangan? Kau rentangkan tanganmu hendak mencapai kilat tetapi terhalang oleh timbunan salju yang tersapu.
Berusahalah dengan berani, bakar-musnahkan pikiran, dan serahkan dirimu pada kedunguan. Bila kau ingin menggunakan ilmu alkimia ini, renungkanlah sedikit, dan ikuti contohku, tinggalkan dirimu sendiri; dari pikiranmu yang mengelana hendaklah kau menarik diri ke dalam jiwamu agar kau dapat sampai pada kepapaan rohani. Akan halnya diriku, yang bukan aku dan bukan pula yang-lain-dari-aku, telah tersesat dari diriku sendiri, dan tak mendapatkan penawar lain kecuali putus asa.
Murid pada Syaikhnya
Seseorang yang berusaha mengatasi kelemahannya pada suatu ketika bertanya pada Nuri, "Bagaimana aku akan dapat mencapai persatuan dengan Tuhan?"
Nuri menjawab, "Untuk itu, kau harus menyeberangi tujuh lautan cahaya dan tujuh lautan api, dan menempuh jalan yang amat panjang. Bila kau telah menyeberangi dua kali tujuh lautan ini, seekor ikan akan menghela kau kepadanya, ialah macam ikan yang bila bernafas menyedot ke dadanya yang awal dan yang akhir. Ikan yang mengagumkan ini tak berkepala maupun berekor. Ia menahan diri di tengah lautan, diam dan terpisah; ia menyapu-hilangkan kedua dunia dan ia menyerap segala makhluk tanpa kecuali."
===
Pangeran dan Pengemis
Adalah suatu ketika seorang raja mempunyai putera yang begitu menawan seperti Yusuf , penuh daya pesona dan keindahan. Putera raja itu dicintai setiap orang, dan semua yang melihatnya maulah rasanya dengan senang menjadi debu di bawah kakinya. ( )
Bila ia berjalan malam-malam, adalah seakan matahari baru telah terbit di atas gurun. Matanya bunga narsis hitam, dan bila mata itu memandang, dunia pun menyala karenanya. Senyumnya menebarkan gula, dan di mana saja ia berjalan seribu mawar akan berbunga, tak menunggu musim semi.
Maka adalah seorang darwis biasa yang terpikat hatinya pada pangeran muda ini. Siang dan malam ia duduk dekat istana sang pangeran, tidak makan tidak tidur. ( )
Mestinya ia sudah mati, bila tidak sekali-sekali dapat melihat sepintas pangeran muda itu ketika muncul di pasar. Tetapi bagaimana mungkin seorang pangeran yang semulia itu melipur seorang darwis miskin dalam keadaan demikian? Namun orang biasa ini, yang merupakan bayang-bayang, bagian dari sebutir zarrah, ingin mendekap matahari cemerlang itu di dadanya. ( )
Suatu hari ketika pangeran itu sedang dijulang di kepala para abdinya, darwis itu bangkit berdiri dan berseru-seru, mengatakan, "Sudah gila hamba ini, hati hamba teramat sedih, hamba tak sabar dan tak kuat lagi menderita," lalu ia pun memukul-mukulkan kepalanya ke tanah di hadapan sang pangeran.
Salah seorang pengawal istana hendak menyuruh bunuh darwis itu, lalu menghadap raja. "Tuanku," katanya, "seorang yang tak waras telah jatuh cinta kepada putera Tuanku." ( )
Raja pun amat murka, "'Hukum si jahanam yang berani mati itu dengan hukum tusuk," katanya. "Ikat tangan dan kakinya, dan pancangkan kepalanya di atas tiang."
Orang istana itu pun segera pergi menjalankan perintah raja. Orang-orang pun memasang tali jerat di leher pengemis itu lalu menyeretnya ke tiang. Tak seorang tahu apa yang akan terjadi dan tak seorang pun membela si pengemis. ( )
Setelah wazir menyuruh bawa dia ke bawah tiang perantaian, darwis itu pun menjerit sedih dan katanya, "Demi kasih Tuhan, beri hamba pertangguhan, agar setidak-tidaknya hamba dapat mengucapkan doa di bawah tiang perantaian."
Ini dikabulkan, dan darwis itu pun bersujud dan berdoa, "O Tuhan, karena raja telah memerintahkan untuk membunuh hamba --hamba yang tak berdosa ini-- maka karuniai hamba, abdi yang bodoh ini, sebelum hamba mati, dengan kemujuran untuk melihat -- biar sekali saja pun --wajah pangeran muda itu, sehingga hamba dapat menyerahkan diri hamba sebagai korban. O, Tuhan, Raja hamba, yang mendengarkan seribu doa, kabulkan permohonan hamba yang terakhir ini." ( )
Begitu darwis itu selesai mengucapkan doa itu maka panah hasratnya pun segera mencapai sasarannya. Wazir pun mengetahui keinginannya yang tersembunyi itu dan menaruh kasihan padanya. Ia pun menghadap raja dan menjelaskan ihwal yang sebenarnya.
Mendengar itu raja pun termenung; kemudian perasaan belas kasihan pun memenuhi hatinya, dan ia mengampuni darwis itu, lalu berkata pada sang pangeran, "Pergilah mendapatkan si miskin itu di bawah tiang perantaian. Berlakulah lemah lembut padanya, dan ajak dia minum bersama, karena dia telah mengenyam racunmu. Bawa dia ke tamanmu dan kemudian bawa dia ke mari." ( )
Pangeran muda, Yusuf kedua itu, segera pergi --matahari yang berwajah api itu datang bertemu muka dengan sebuah zarrah. Lautan mutiara-mutiara indah itu pergi mencari setitik air. Pukul-pukullah kepalamu karena gembira, tapakkan kakimu menari, dan bertepuk tanganlah! Tetapi darwis itu ada dalam putus asa; airmatanya membuat debu menjadi lumpur, dan dunia pun menjadi berat karena keluhan-keluhannya. Bahkan pangeran itu sendiri tak dapat menahan tangisnya, ( )
Ketika darwis itu melihat airmata sang pangeran, ia berkata, "O Pangeran, kini Tuan boleh mengambil nyawa hamba." Dan setelah berkata demikian, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir, mati. Ketika mengetahui bahwa ia telah menjadi satu dengan yang dikasihinya, maka tak ada lagi keinginan-keinginan lain yang tinggal padanya. ( )
O kau, yang ada namun sekaligus juga sesuatu yang tak berarti, dengan kebahagiaanmu yang bercampur dengan kesengsaraanmu, bila kau belum pernah mengalami kegelisahan, bagaimana kau akan menghargai ketenangan? Kau rentangkan tanganmu hendak mencapai kilat tetapi terhalang oleh timbunan salju yang tersapu.
Berusahalah dengan berani, bakar-musnahkan pikiran, dan serahkan dirimu pada kedunguan. Bila kau ingin menggunakan ilmu alkimia ini, renungkanlah sedikit, dan ikuti contohku, tinggalkan dirimu sendiri; dari pikiranmu yang mengelana hendaklah kau menarik diri ke dalam jiwamu agar kau dapat sampai pada kepapaan rohani. Akan halnya diriku, yang bukan aku dan bukan pula yang-lain-dari-aku, telah tersesat dari diriku sendiri, dan tak mendapatkan penawar lain kecuali putus asa.
Murid pada Syaikhnya
Seseorang yang berusaha mengatasi kelemahannya pada suatu ketika bertanya pada Nuri, "Bagaimana aku akan dapat mencapai persatuan dengan Tuhan?"
Nuri menjawab, "Untuk itu, kau harus menyeberangi tujuh lautan cahaya dan tujuh lautan api, dan menempuh jalan yang amat panjang. Bila kau telah menyeberangi dua kali tujuh lautan ini, seekor ikan akan menghela kau kepadanya, ialah macam ikan yang bila bernafas menyedot ke dadanya yang awal dan yang akhir. Ikan yang mengagumkan ini tak berkepala maupun berekor. Ia menahan diri di tengah lautan, diam dan terpisah; ia menyapu-hilangkan kedua dunia dan ia menyerap segala makhluk tanpa kecuali."
(mhy)