Menyikapi Hadis-hadis Dhaif Seputar Amaliah Bulan Rajab

Sabtu, 27 Februari 2021 - 10:30 WIB
Ustaz Miftah el-Banjary, Dai yang juga pakar ilmu linguistik Arab dan Tafsir Al-Quran asal Banjar Kalimantan Selatan. Foto/Ist
Ustaz Miftah el-Banjary

Pakar Ilmu Linguistik Arab dan Tafsir Al-Qur'an,

Pensyarah Kitab Dalail Khairat

Kaum muslimin selalu dibuat repot dengan perdebatan Hadis Dhaif setiap kali masuknya bulan Rajab, Sya'ban hingga Ramadhan. Sudah menjadi kebiasaan bagi umat Islam setiap masuknya Rajab mulai bersemangat berbenah mempersiapkan diri dengan cara meningkatkan amaliah-amaliah sunnah, seperti puasa doa dan zikir di bulan Rajab.

Seiring itu pula, bermunculan berbagai tudingan terkait larangan tidak boleh beramal dengan amaliah yang bersumber dari hadits-hadits dhaif dari kelompok-kelompok yang seringkali mempersoalkan dan memperdebatkan permasalahan klasik yang sejatinya telah selesai ratusan tahun yang lalu.



Ditambah lagi, ada pula orang-orang awam yang baru "melek" mengaji pun ikut berbicara dan berkomentar tentang kualitas hadits dhaif. Padahal mereka sejatinya orang awam yang belum lagi pernah mengenal apa itu Ilmu Musthalahul Hadits.

Kadang lucu juga, ada orang yang ujug-ujug mengatakan, "Ini hadits dhaif, tidak boleh diamalkan!" Lantas, begitu kita bertanya balik, "Apa itu definisi hadits dhaif? Apa saja pembagian hadits-hadits Dhaif itu? Bagaimana sebuah hadits menjadi turun peringkatnya menjadi hadits dhaif?"

Sampai di sini, si penuding akan tetap keukeh, "Pokoknya sekali dhaif ya tetap dhaif! Tidak boleh diamalkan!"

Nah, menghadapi pemahaman seperti ini, kita akan dibuat repot dengan orang yang ingin berbicara hukum syariat, akan tetapi tidak memahami metodologi hukum. Argumentasinya cuma "pokoknya" atau "pokoke". Selain tidak ilmiah, tidak objektif, juga tidak akan bisa "Nyambung".

Baik, mari kita gelar tikar pembahasan kajian ilmu hadits secara singkat. Para ulama Ushul menyepakati bahwa definisi hadits itu adalah segala sesuatu yang bersumber dari atau disandarkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم, baik itu qaulan (perkataan), fi'lan (perbuatan) maupun taqriran (isyarat) dan ada pula yang menambahkan shifat/sifat.

Jadi, apa pun yang berkenaan dengan ketiga kategori di atas merupakan hadits, meskipun nanti ada klasifikasi kategori antara, hadits, khabar dan atsar berdasarkan sumber periwayatannya.

Klasifikasi hadits secara ushulnya terbagi pada dua kategori, yaitu Khabar Mutawatir dan Khabar Ahad. Pada pembahasan Khabar Ahad terdapat dua pembahasan utama, yaitu klasifikasi Khabar Ahad dari segi banyaknya jumlah perawinya dan klasifikasi Khabar Ahad dari segi kekuatan kualitas dan lemahnya (dhaif).

Selanjutnya, dari klasifikasi yang kedua terakhir ini, para ulama kembali membagi pada dua klafikasi, yaitu "Maqbul" (diterima) dan "Mardud" (ditolak).

Nah, pada pembahasan "Maqbul" inilah kemudian akan ada lagi dua klasifikasi, yaitu "Al-Maqbul Ila Ma'mul bihi" (Diterima dan boleh diamalkan) dan "Ghaira Ma'mul" (dan tidak boleh diamalkan).

Nah, barulah pada pembahasan Maqbul ada dua pembahasan, yaitu: Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Kategori Shahih terbagi pada Hadits Shahih lidzatihi dan Shahih lighairi dzatihi. Demikian pula, Hadits Hasan terbagi pada Hasan lidzatihi dan lighairi dzatihi.

Kategori terakhir, Mardud. Pada pembahasan ini, ada tiga pembahasan, yaitu Dhaif, Mardud disebabkan cacatnya sanad dan Mardud disebabkan tercelanya perawi.

Dhaif itupun bertingkat pula kategorinya. Tidak semua yang dhaif itu tertolak. Sebab, ada diantara para ulama semisal Imam Nawawi yang masih mentolerir dalam hal melandaskan amaliah pada hadits-hadits yang dhaif, selama bukan termasuk kategori hadits maudhu alias palsu.



Baca Juga: Ustaz Budi Ashari: Rajab, Semangat Menjaga Diri Dari Dosa
Halaman :
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Abu Qatadah dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: Tidak ada sikap lalai ketika tidur, akan tetapi kelalaian itu hanya ada ketika terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga datang waktu shalat yang lain.

(HR. Sunan Abu Dawud No. 373)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More