Pengakuan Umar Bin Khattab Tentang Kisah Dirinya Masuk Islam

Kamis, 04 Juni 2020 - 12:52 WIB
"Rasulullah," kata Umar, "saya datang untuk menyatakan keimanan kepada Allah dan kepada Rasul-Nya serta segala yang datang dari Allah."

Ketika itu juga Rasulullah bertakbir, yang oleh sahabat-sahabatnya sudah dipahami bahwa Umar masuk Islam.

Pengakuan Umar

Demikian sumber-sumber yang lebih terkenal mengenai keislaman Umar. Di samping itu ada beberapa sumber lain, yang menurut Haekal, paling terkenal yang didasarkan kepada Umar sendiri tatkala ia berkata: "Saya memang jauh dari Islam. Saya pecandu minuman keras di zaman jahiliah, saya sangat menyukainya dan saya menjadi peminum. Kami mempunyai tempat sendiri, tempat kami berkumpul dengan pemuka-pemuka Quraisy. Suatu malam saya keluar akan menemui teman-teman duduk itu. Tetapi tak seorang pun yang ada di tempat itu.



Dalam hati saya berkata: Sebaiknya saya mendatangi si polan, pedagang khamar itu. Dia di Makkah berdagang khamar; kalau-kalau di tempat itu ada khamar, saya ingin minum. Saya pun pergi ke sana. Tetapi tak ada orang. Dalam hati saya berkata lagi: Sebaiknya saya ke Ka'bah, berkeliling tujuh kali atau tujuh puluh kali. Maka saya pergi ke Masjid akan bertawaf di Ka'bah.

Tetapi ternyata di sana ada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sedang salat. Ketika itu jika ia salat menghadap ke Syam, dan Ka'bah berada di antara dia dengan Syam, tempat salatnya di antara dua sudut hajar aswad dengan sudut Yamani. Ketika kulihat kataku: Sungguh, saya sangat mengharap malam ini dapat menguping Muhammad sampai saya dapat mendengar apa yang dikatakannya.

Saya khawatir dia akan terkejut kalau saya dekati. Maka saya datang dari arah Hijr. Saya masuk ke balik kain Ka'bah; saya berjalan perlahan hingga saya berdiri di depannya berhadap-hadapan; antara saya dengan dia hanya dibatasi kain Ka'bah. Sementara Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sedang salat dengan membaca Qur'an. Setelah saya dengar Qur'an itu dibacanya, hati saya rasa tersentuh. Saya menangis; Islam sudah masuk ke dalam hati saya. Sementara saya masih tegak berdiri menunggu sampai Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam selesai salat.



Baca juga
: Umar bin Khattab: Si Kidal Penggembala Unta dengan Ayah yang Pemarah

Kemudian ia pergi pulang menuju rumahnya. Saya ikuti dia, hingga sudah dekat ke rumahnya saya dapat menyusulnya. Mendengar suara gerak-gerik saya ia sudah mengenal saya dan dikiranya saya menyusul hendak menyakitinya. Ia menghardikku seraya katanya: Ibn Khattab, apa maksud kedatangan Anda?!

Saya menjawab: Kedatangan saya hendak beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya serta kepada segala yang datang dari Allah.

Setelah menyatakan alhamdulillah beliau berkata: Umar, Allah telah memberi petunjuk kepada Anda. Kemudian ia mengusap dada saya dan mendoakan saya agar tetap tabah. Setelah itu saya pun pergi meninggalkan Rasulullah sebagai orang yang sudah beriman kepada agamanya."

Menurut Haekal, sumber yang dihubungkan kepada Umar ini merupakan sebuah gambaran yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal yang menyebutkan bahwa Umar berkata: “Saya pergi hendak menghadang Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam sebelum saya masuk Islam. Saya lihat dia sudah mendahului saya ke masjid. Saya berdiri di belakangnya. Ia memulai bacaannya dengan surah al-Haqqah.”



Saya sungguh kagum dengan susunan Qur'an itu. Dalam hati saya berkata: Sungguh dia memang seorang penyair seperti dikatakan Quraisy. Kemudian dibacanya:

"Bahwa ini sungguh perkataan Rasul yang mulia. Itu bukanlah perkataan seorang penyair; sedikit sekali kamu percaya!" (Qur'an, 69:40-41). Kata saya, dia seorang dukun. Kemudian dibacanya:

"Juga bukan perkataan seorang peramal; sedikit sekali kamu mau menerima peringatan. (Ini adalah wahyu) yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Dan kalau dia mengada-adakan perkataan atas nama Kami, pasti Kami tangkap dia dengan tangan kanan, kemudian pasti Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tak seorang pun dari kamu dapat mempertahankannya." (Qur'an, 69:42-47) sampai akhir surah. Maka Islam sungguh menyentuh hati saya begitu dalam.

Inilah sumber yang juga terkenal sesudah yang pertama tadi. Ibn Ishaq memperkuat kedua sumber itu dan menempatkannya berurutan demikian dengan mengatakan: "Yang mana pun hanya Allah Yang Mahatahu."

Tak Masuk Akal

Kedua sumber itu dan yang semacamnya yang biasanya dikutip oleh kitab-kitab sekitar Islamnya Umar, menurut Haekal, melukiskan saat Umar meninggalkan agama nenek moyangnya. Rasulullah telah menyaksikan keimanannya kepada Allah, kepada Rasul-Nya dan kepada segala yang datang dari Allah. Tetapi semua itu tak ada yang melukiskan suatu gambaran dari segi psikologi, apa yang menyebabkan sampai ia memeluk Islam.



Adakah kejadian itu tiba-tiba begitu saja? Sudah begitu jauhkah Umar menjauhi dan memusuhi Islam sampai dia tidak mau lagi memikirkan dan merenungkannya, kemudian Allah menanamkan iman ke dalam hatinya melalui kitab yang dibacakan Khabbab kepada adiknya atau Qur'an yang dibaca Rasulullah dalam salatnya, oleh Yang Mahakuasa dijadikan jalan untuk memberi petunjuk kepada orang yang paling keras memusuhi agama-Nya itu?

Ataukah tidak demikian adanya, Umar sudah pernah mendengar pembacaan Qur'an sebelum yang dibacakan dalam kitab Khabbab, dan sebelum bersembunyi di balik kain Ka'bah lalu mendengarkannya dari Rasulullah, dan bahwa dia mengkaji kembali antara dirinya dengan Rasulullah, kemudian ia berbalik pikir tentang diri lalu merenungkan keadaan dirinya dengan Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya, lalu dengan lama merenungkan itu lelah mengantarkannya kepada Islam, dengan izin Allah?

Yang biasanya diceritakan menurut sumber yang masyhur, bahwa Umar keluar hendak membunuh Nabi Muhammad saat ia dan sahabat- sahabatnya sedang berada di Safa kalau tidak karena Allah telah memberi petunjuk kepadanya waktu ia membaca kitab yang dibacakan Khabbab kepada ipar dan adiknya.



Menurut Haekal tak masuk akal bahwa dengan pedangnya Umar bermaksud membunuh Nabi Muhammad yang sedang di tengah-tengah empat puluh orang sahabatnya, di antaranya ada Hamzah bin Abdul-Muttalib dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah serta pahlawan-pahlawan Makkah lainnya, apalagi mau beranggapan bahwa ia mampu melaksanakan maksudnya itu.

Dapat saja ia memutuskan ingin bebas dari Rasulullah dengan jalan membunuhnya, dan sedang memikirkan cara-cara pelaksanaannya, tetapi sementara ia membaca Qur'an itu dan melihat isinya yang begitu indah ia surut dari niatnya dan kemudian masuk Islam.

“Tetapi bahwa dia akan membunuhnya dengan cara seperti yang dilukiskan oleh cerita yang sudah terkenal tentang Islamnya Umar itu, adalah hal yang tak masuk akal, dan saya cenderung demikian. Yang lebih dapat diterima, ialah sumber kedua dari penuturan Umar sendiri dan yang diperkuat oleh Ibn Hanbal dalam Musnad-nya,” tulis Haekal.

Baca Juga: Biografi Umar Bin Khattab, Khalifah Kedua yang Menaklukkan Romawi dan Persia
Hal ini dapat diterima karena lebih sesuai dengan apa yang sudah umum diketahui tentang pribadi dan psikologi Umar. Dia asli dari masyarakatnya sendiri, sangat fanatik terhadap mereka, ingin sekali melihat ketertiban dan kedudukan kota mereka yang kuat. Di samping itu ia laki-laki yang praktis, suka bekerja.

Nilai pikiran baginya ialah dampaknya yang nyata dalam kehidupan. Tetapi merenung hanya untuk merenung, berpikir semata-mata hanya untuk berpikir dan berlama-lama menimang-nimang untuk mencari kebenaran di balik itu, kendati untuk kebenaran dan pemikiran itu tak memberi kesan yang berpengaruh dalam kehidupan mereka, maka tidaklah dia sendiri akan tertarik atau akan dapat melepaskan diri dari kebiasaan masyarakatnya.

Itulah pandangannya sekitar masalah-masalah duniawi secara keseluruhan, bahkan yang berhubungan dengan masalah-masalah rasa simpati itu sendiri. Ia tidak senang melihat pemuda yang menghabiskan waktunya hanya untuk bercumbu dengan perempuan atau mendendangkan kecantikannya, dengan maksud hendak menggodanya. Baginya, yang demikian hanya memperlihatkan kelemahan, yang tak patut bagi seorang laki-laki yang sudah cukup dewasa. Karenanya, ia tak pernah bersimpati kepada orang-orang yang bercinta-cinta dengan jalan menyanyi-nyanyikan nyanyian rindu asmara sebagai profesinya.



Mengenai pandangannya tentang keyakinannya itu, terlihat dari keberangannya yang luar biasa terhadap saudara sepupunya, Zaid bin Amr, sebab dia meninggalkan agama masyarakatnya, dan pergi mencari agama benar itu dari yang lain.

Buat Umar semua itu khayal belaka yang tak ada artinya dalam hidup, dan tidak sesuai dengan wataknya yang ingin melihat ketertiban umum serta kedudukan Makkah yang kuat di mata semua orang Arab.

Kecenderungan berpikir demikian memang sejalan dengan sosok Umar — bertubuh kuat dan kekar. Oleh karena itu ia percaya kepada kekuatan dalam segala sikapnya. Kepercayaannya kepada kekuatan yang paling menonjol tampak pada permulaan kerasulan Nabi, saat ia sedang berada di puncak keperkasaannya dengan segala kekerasan watak dan semangatnya sebagai pemuda yang belum merasakan asam garamnya kehidupan.



Itu pula sebabnya ia menyiksa siapa saja pengikut Nabi yang dapat disiksanya, supaya keluar dari agamanya. Kalau ia mampu memerangi mereka semua, niscaya akan diperanginya. Tetapi dia tahu bahwa kabilah-kabilah Quraisy melarang yang demikian, dan kabilahnya sendiri — Banu Adi — tidak sependapat dengan dia.

Itu sebabnya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy lainnya, kemampuannya terbatas hanya sampai pada penyiksaan kaum dhuafa atau orang-orang yang lemah, tanpa dapat melakukan kekerasan terhadap Abu Bakar, Usman bin Affan, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan yang lain, yang akan dilindungi oleh kabilah-kabilah mereka. Tetapi yang masih dapat dilakukannya, mengadakan pemboikotan dan menyakiti siapa saja yang dapat dijangkaunya.

Sungguhpun begitu, di samping semua itu sebenarnya Umar orang yang berhati lembut, berperasaan halus dalam arti keadilan.

Salah satu bukti kelembutan hatinya tatkala adiknya hendak melindungi suaminya dipukulnya sekeras-kerasnya. Setelah dilihatnya adiknya sampai berdarah, ia menyesal dan menyadari kesalahannya sendiri.



Baca juga
: Kisah Syahidnya Umar bin Khattab dan Kenaikan Pajak

Kelembutan demikian sering kita jumpai pada orang-orang yang kuat dan bertangan besi tatkala mereka sudah melampaui batas dalam berpegang pada kekuatan.

Percakapannya dengan Umm Abdullah binti Abi Hismah ketika siap akan berangkat hijrah ke Abisinia, memperlihatkan sikap yang sangat lemah lembut kepadanya. Umm Abdullah pun begitu terharu melihat sikapnya yang demikian sehingga ia berkata kepada suaminya yang ketika itu baru datang: "Kalau saja tadi Anda melihat Umar dan sikapnya yang begitu lemah lembut serta kesedihannya melihat kami, sampai-sampai saya mengharapkan ia masuk Islam."
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Makan sahurlah kalian, karena (makan) di waktu sahur itu mengandung barakah.

(HR. Muslim No. 1835)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More