Ibnu Katsir: Karyanya Berkuaitas Tinggi, Tak Lekang oleh Sejarah
Jum'at, 12 November 2021 - 16:29 WIB
Ketekunan dan kegigihannya dalam belajar, membuahkan hasil yang luar biasa. Ibnu Katsir kemudian dikenal sebagai ahli ilmu-ilmu Al-Qur’an, tafsir, tokoh Hadits, sejarawan, dan ahli fiqih. Saat itu, abad ke-8 H, keulamaannya sangat disegani.
Kepiawaiannya dalam berbagai bidang tersebut diakui oleh banyak ulama besar. Muhammad Husain al-Zahabi, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyatakan “Ibnu Katsir telah menduduki posisi yang sangat tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama menjadi saksi terhadap keluasan ilmunya, penguasaan materinya, khususnya dalam bidang tafsir, Hadits, dan tarikh.”
Keahliannya dalam berbagai bidang ia tuangkan dalam karya tulis yang sangat mumpuni dan mendalam. Dalam bidang fikih, misalnya, ia menulis al-Ijtihād fī Talab al-Jihād dan Kitab Ahkam. Di ranah kajian Hadits, ia menulis Ikhtisār ‘Ulūm al-Hadīs dan Syarah Shahih Bukhari.
Adapun kitab al-Bidāyah wa al-Nihāyah merupakan karangan Ibnu Katsir tentang tema sejarah. Kitab berjumlah 14 jilid ini memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Kitab ini tetap menjadi salah satu rujukan utama hingga kini.
Adapun karya yang paling monumental adalah Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Alīm berjumlah 10 jilid atau disebut juga dengan nama Tafsir Ibnu Katsīr. Kitab Tafsir yang pertama kali diterbitkan di Kairo, Mesir pada tahun 1342 H/1933 M.
Dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim dan Fadhail Al-Qur’an, Ibnu Katsir menawarkan metode dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Ia menawarkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an mesti melalui empat tahap.
Pertama, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya. Menurutnya, inilah tahap tafsir yang paling utama. Bahwa sebenarnya makna dan maksud ayat Al-Qur’an dapat dicari dalam ayat-ayat yang lain.
Kedua, menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadits dan informasi Nabi . Maksud dari tahap ini adalah bahwa apabila suatu ketika tidak dapat menemukan adanya penafsiran Al-Qur’an secara gamblang dari ayat-ayat lain, maka Al-Qur’an harus ditafsirkan melalui penjelasan dari Hadits Nabi.
Ketiga, menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan (ijtihad) para sahabat Nabi. Langkah ini ditempuh apabila dua langkah sebelumnya mengalami kebuntuan. Alasannya, para sahabat merupakan orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Keempat, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat dari para tabiin. Empat metode itu mesti dilakukan secara bertahap dan sistematis dan, tentu saja, dengan penguasaan kaidah-kaidah Bahasa Arab.
Di antara warisan pengetahuan yang lain, empat tahapan dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an inilah warisan yang sangat berharga dari Ibnu Katsir. Oleh karena itulah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm setebal 10 jilid masih menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami ayat Al-Qur’an. Dari warisan ini pula, kajian tafsir Al-Qur’an makin marak. Itulah salah satu warisan terbesar dari ulama besar yang wafat pada tahun 1372 M di Damaskus, Suriah.
Kepiawaiannya dalam berbagai bidang tersebut diakui oleh banyak ulama besar. Muhammad Husain al-Zahabi, dalam al-Tafsir wa al-Mufassirun, menyatakan “Ibnu Katsir telah menduduki posisi yang sangat tinggi dari sisi keilmuan, dan para ulama menjadi saksi terhadap keluasan ilmunya, penguasaan materinya, khususnya dalam bidang tafsir, Hadits, dan tarikh.”
Keahliannya dalam berbagai bidang ia tuangkan dalam karya tulis yang sangat mumpuni dan mendalam. Dalam bidang fikih, misalnya, ia menulis al-Ijtihād fī Talab al-Jihād dan Kitab Ahkam. Di ranah kajian Hadits, ia menulis Ikhtisār ‘Ulūm al-Hadīs dan Syarah Shahih Bukhari.
Adapun kitab al-Bidāyah wa al-Nihāyah merupakan karangan Ibnu Katsir tentang tema sejarah. Kitab berjumlah 14 jilid ini memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. Kitab ini tetap menjadi salah satu rujukan utama hingga kini.
Adapun karya yang paling monumental adalah Tafsīr Al-Qur’ān al-‘Alīm berjumlah 10 jilid atau disebut juga dengan nama Tafsir Ibnu Katsīr. Kitab Tafsir yang pertama kali diterbitkan di Kairo, Mesir pada tahun 1342 H/1933 M.
Dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim dan Fadhail Al-Qur’an, Ibnu Katsir menawarkan metode dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Ia menawarkan bahwa dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an mesti melalui empat tahap.
Pertama, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya. Menurutnya, inilah tahap tafsir yang paling utama. Bahwa sebenarnya makna dan maksud ayat Al-Qur’an dapat dicari dalam ayat-ayat yang lain.
Kedua, menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadits dan informasi Nabi . Maksud dari tahap ini adalah bahwa apabila suatu ketika tidak dapat menemukan adanya penafsiran Al-Qur’an secara gamblang dari ayat-ayat lain, maka Al-Qur’an harus ditafsirkan melalui penjelasan dari Hadits Nabi.
Ketiga, menafsirkan Al-Qur’an dengan perkataan (ijtihad) para sahabat Nabi. Langkah ini ditempuh apabila dua langkah sebelumnya mengalami kebuntuan. Alasannya, para sahabat merupakan orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat-ayat Al-Qur’an.
Keempat, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat dari para tabiin. Empat metode itu mesti dilakukan secara bertahap dan sistematis dan, tentu saja, dengan penguasaan kaidah-kaidah Bahasa Arab.
Di antara warisan pengetahuan yang lain, empat tahapan dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an inilah warisan yang sangat berharga dari Ibnu Katsir. Oleh karena itulah Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm setebal 10 jilid masih menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami ayat Al-Qur’an. Dari warisan ini pula, kajian tafsir Al-Qur’an makin marak. Itulah salah satu warisan terbesar dari ulama besar yang wafat pada tahun 1372 M di Damaskus, Suriah.
(mhy)
Lihat Juga :