Muhammad bin Ali, Arsitek Dinasti Abbasiyah yang Kampanyekan Ahlul Bait

Rabu, 09 Februari 2022 - 18:15 WIB
Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib adalah arsitek pertama kekhalifahan Bani Abbasiyah. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Muhammad bin Ali (62-125 H), nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib. Beliau adalah ayahanda dari Ibrahim Al-Imam, Abul Abbas As-Saffah, dan Abu Jafar Al-Manshur, yang merupakan perintis Bani Abbasiyah .

Syaikh Muhammad Al-Khudari dalam bukunya yang berjudul "Ad-Daulah Al-Abbasiyyah" menjelaskan Muhammad bin Ali tercatat sebagai perintis propaganda Bani Abbasiyah pertama kali.

Beliau menetap di wilayah Asy-Syarah dan memulai propagandanya pada tahun 100 H. Beliau berpetualang ke berbagai daerah, serta menggerakkan orang-orang agar meruntuhkan Bani Umayyah untuk memperkuat Bani Abbasiyah.

Ide kekhalifahan Bani Abbasiyah yang dikampanyekan adalah melanjutkan kepemimpinan Rasulullah SAW . Cita-cita ini sempat tercapai ketika Ali bin Abu Thalib naik menggantikan Utsman bin Affan sebagai khalifah. Hanya saja, setelah itu Ahlul Bait tersingkir.

Bani Abbasiyah mengkampanyekan diri hak ahlul bait sebagai pemimpin Islam dan berupaya menggembosi kepemimpinan Bani Umayyah.





Perjuangan Muhammad bin Ali membutuhkan waktu yang panjang. Sebagai mana sejarah mencatat, sepeninggal Ali bin Abi Thalib, para pendukungnya, belakangan disebut kaum Syiah , berpandangan bahwa al-Hasan bin Ali yang berhak menggantikan kedudukannya sebagai khalifah.

Dia merupakan sosok pemimpin yang agung: Ayahnya Ali bin Abi Thalib dan ibunya adalah Fathimah putri Rasulullah SAW . Hanya saja, Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan, Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib lebih senang berdamai dengan Muawiyah bin Abi Sufyan .

Menurut dia, dengan syarat-syarat yang diajukannya untuk dirinya dan para pendukungnya, al-Hasan melepaskan haknya sebagai khalifah demi menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam, dan ketenangan mereka.

Al-Hasan bin Ali berada di Madinah dan menetap di sana hingga meninggalnya tahun 50 H.

Api Fitnah

Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan Muawiyah bin Abi Sufyan senantiasa memimpin umat Islam dengan keramahan karakter dan kedermawanannya. Umat Islam pun bersatu, loyal, dan patuh serta menerima kepemimpinannya.

Dakwah umat Islam menjadi tenang dan api fitnah kaum Syiah dapat dipadamkan. Hanya saja, api fitnah itu masih menitis dalam diri mereka dan menunggu waktu yang tepat untuk melancarkannya.

Muawiyah melimpahkan kekuasaannya sebagai khalifah kepada putranya, Yazid. Ketika Yazid berkuasa, maka badai fitnah menghantam Madinah Al-Munawwarah dan Makkah Al-Mukarramah serta Kufah.

Di Madinah, muncul gerakan menuntut pemberhentian Yazid bin Muawiyah. Revolusi ini dipimpin oleh beberapa putra kaum Anshar. Akan tetapi revolusi ini dapat ditumpas dengan keras oleh Muslim bin Uqbah al-Murri yang menimpakan kepedihan kepada penduduknya dalam peristiwa Al-Harrah.

Adapun di Mekkah, Abdullah bin Az-Zubair menyatakkan diri sebagai khalifah.



Sedangkan di Kufah, kaum Syiah menghendaki agar Al-Husain bin Ali, saudara kandung Al-Hasan, dibaiat sebagai khalifah dan mencabut pembaiatan mereka terhadap Yazid bin Muawiyah.

Al-Husain pun menemui mereka tanpa membawa tentara yang melindunginya dan tidak pula harta benda untuk perbekalannya. Dalam perjalanan, ia dihadang sejumlah tentara Abdullah bin Ziyad di Irak, pendukung Yazid dan kesemuanya merupakan tentara Irak dan tiada seorang pun dari penduduk Syam.

Tiada seorang pun dari penduduk Irak yang membelanya. Akhirnya Al-Husain bin Ali gugur di Karbala. Anehnya, tiada seorang pun dari kaum Syiah yang mengklaim pendukung ayahnya mau memberikan bantuan, melainkan tetap berdiam diri di kediaman masing-masing.

Peristiwa ini pun berakhir dan Yazid bin Muawiyah meninggal dunia. Pemberontakan Abdullah bin Az-Zubair semakin menguat dan banyak dari penduduk Syam, Mesir, dan Irak, yang mendukung propagandanya.

Al-Mukhtar bin Ubaid Ats-Tsaqafi

Akan tetapi tokoh-tokoh dari Bani Hasyim yang berada di Mekkah seperti Muhammad bin Ali yang lebih dikenal dengan Ibnu Al-Hanafiyyah dan Abdullah bin Abbas, dan lainnya enggan membaiatnya hingga mereka terpaksa mendapatkan penindasan dan ditawan.

Pada masa itu, muncul seseorang yang ingin memanfaatkan kekacauan politik dan huru-hara ini dan menempatkan dirinya sebagai pemimpin umat Islam dengan menjadikan wilayah Irak sebagai pusat aktivitas politiknya dengan memanfaatkan kecenderungan penduduk Kufah untuk mendukung Ahlul Bait.

Syaikh Muhammad Al-Khudari mengatakan orang yang dimaksud adalah Al-Mukhtar bin Ubaid Ats-Tsaqafi. Ia bergegas ke Kufah dengan mengenakan baju Syiah seraya mengumumkan orang yang membunuh Al-Husain bin Ali dan menyerukan kepada Al-Mahdi, yaitu Muhammad bin Ali yang merupakan putra bungsu Ali bin Abi Thalib.

Ia pun mencapai tujuannya itu dengan berbagai ungkapan yang membangkitkan semangat tanpa memandang apakah seruan dakwahnya itu benar ataupun palsu.



Menurut Syaikh Muhammad Al-Khudari, para tokoh-tokoh terkemuka Kufah dan orang-orang terpelajar menyebutnya Al-Kadzdzab, karena banyak kebohongan yang terlontar darinya dan tentunya cocok dengan jiwa para pengacau keamanan.

Bahkan Al-Mukhtar bin Ubaid berhasil menarik simpati kaum Syiah di Kufah dan mengirimkan sebuah pasukan untuk membebaskan Muhammad bin Ali yang mengalami penindasan dan dipenjarakan di Mekkah.

Misi tersebut berhasil melepaskannya dari penjara. Musim haji pada tahun tersebut terkumpul empat bendera di Mekkah yakni, bendera yang berada di bawah naungan Abdullah Ibnu Az-Zubair, bendera Bani Umayyah, bendera kaum Khawarij, dan bendera para pendukung Muhammad bin Ali.

Akan tetapi Allah SAW senantiasa melindungi para jamaah haji sehingga tidak terjadi perang di antara tentara yang berbeda kelompok dan kepentingan ini, kendati satu dengan yang lain saling membenci.

Pemberontakan Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Ats-Tsaqafi di Kufah tidak mampu bertahan lama karena Abdullah bin Az-Zubair menyiapkan sebuah pasukan besar yang dipimpin saudaranya, Mushab, dan segera menyerangnya.

Para pemimpin dan tokoh-tokoh terkemuka Irak berhasil mengungkap kebohongan-kebohongan Al-Mukhtar bin Abu Ubaid Ats-Tsaqafi dan niat jahatnya sehingga peperangan tersebut mudah dimenangkan oleh Mushab bersama pasukannya.

Akan tetapi hal itu tidak berarti menumpas kaum Syiah di Irak, melainkan mereka tetap menjaga hati dan jiwa mereka, serta menunggu kesempatan untuk melancarkan aksi mereka dan orang yang mampu memobilisasi mereka.



Sikap Muhammad bin Ali

Syaikh Muhammad Al-Khudari menyebutkan Muhammad bin Ali sendiri menyatakan pembaiatannya terhadap Abdul Malik bin Marwan setelah situasi dan kondisi stabil, terkendali, dan berhasil menumpas pemberontakan Abdullah bin Az-Zubair.

Seluruh wilayah kekuasaan Islam bersatu mendukungnya. Meskipun Muhammad bin Ali telah menyatakan pembaiatannya terhadap Abdul Malik bin Marwan sebagai khalifah, akan tetapi ia masih mempunyai pendukung yang menyatakan bahwa dialah yang lebih berhak sebagai khalifah.

Hanya saja suara mereka ini tidak mampu memenangkan dirinya. Bahkan sebagian pendukungnya ini mengingkari kematiannya ketika mendapatkan informasi bahwa Muhammad bin Ali meninggal dengan mengatakan, “Ia hanya menghilang dan akan kembali lagi.”

Ide dan pemikiran kaum Syiah mengalami kekacauan setelah Muhammad bin Ali wafat. Ada pula yang mengangkat putranya, Abu Hasyim. Kelompok ini dan kelompok sebelumnya dikenal dengan nama Al-Kisaniyah, yang dinisbatkan kepada Kisan, yang merupakan gelar yang disandang Al-Mukhtar bin Abu Ubaid.

Ali Zainal Abidin
Halaman :
Follow
Hadits of The Day
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Semua perbuatan tergantung niatnya, dan balasan bagi tiap-tiap orang tergantung apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan

(HR. Bukhari No.1)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More