Kisah Mush’ab bin Umair, Tuan Muda yang Menawan Walau Kenakan Jubah Usang

Selasa, 15 Maret 2022 - 16:56 WIB
Mushab bin Umair berasal dari keluarga kaya raya. Ia masuk Islam sehingga terusir dari keluarganya. Mushab adalah duta pertama umat Islam di Madinah dan syahid dalam perang Uhud. (Foto/Ilustrasi: Ist)
Pemuda ganteng nan tajir itu bernama Mush’ab bin Umair . Dia adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW . Para muarrikh dan ahli riwayat melukiskan semangat kepemudaannya dengan kalimat: “Seorang warga kota Mekkah yang mempunyai nama paling harum”.

Khalid Muhammad Khalid dalam bukunya yang telah dialihbahasakan Mahyuddin Syaf dkk dengan judul "Karakteristik Perihidup 60 sahabat Rasulullah" memaparkan bahwa Mush’ab dari keluarga berkecukupan. Biasa hidup mewah dan manja. Menjadi buah-bibir gadis-gadis Mekkah dan menjadi bintang di tempat-tempat pertemuan.



Suatu hari anak muda ini mendengar berita yang telah tersebar luas di kalangan warga Mekkah mengenai Muhammad al-Amin. Seorang Nabi yang diutus Allah SWT sebagai pembawa berita suka maupun duka, sebagai da'i yang mengajak ummat beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Mush’ab Ibnu Umair mendengar desas-desus bahwa Rasulullah bersama pengikutnya biasa mengadakan pertemuan di rumah Arqam bin Abil Arqam. Satu tempat di bukit Shafa, dengan harapan jauh dari gangguan gerombolan Quraisy.



Pemuda ini penasaran dengan kabar itu. Ia pun mencari tahu. Akhirnya pada suatu senja ia memutuskan pergi ke rumah Arqam. Pada saat Mush’ab mengambil tempat duduk, Rasulullah SAW tengah membacakan ayat-ayat al-Quran. Mush’ab pun terpesona oleh untaian kalimat Rasulullah. Hampir saja anak muda itu terangkat dari tempat duduknya karena rasa haru. Ia merasakan dirinya terbang karena gembira.

Rasulullah SAW mengulurkan tangannya dan dengan penuh kasih sayang mengurut dada pemuda itu. Mush’ab merasakan keteduhan yang dalam. Pemuda ini pun akhirnya menyatakan diri masuk Islam.

Tetapi di kota Mekkah tiada rahasia yang tersembunyi, apalagi dalam suasana yang tegang seperti itu. Mata kaum Quraisy berkeliaran di mana-mana mengikuti setiap langkah dan menyelusuri setiap jejak. Kebetulan seorang yang bernama Usman bin Thalhah melihat Mush’ab memasuki rumah Arqam secara sembunyi-sembunyi. Kemudian pada hari yang lain dilihatnya pula ia sholat seperti Nabi Muhammad SAW.



Tokoh-tokoh Quraish pun penasaran. Didatangilah rumah Mush’ab. Di hadapan ibu dan keluarganya serta para pembesar Mekkah yang berkumpul di rumahnya, Mush’ab membacakan ayat-ayat al-Quran. Mush’ab bermaksud mencuci hati nurani mereka, mengisinya dengan hikmah dan kemuliaan, kejujuran dan ketakwaan.

Sang ibu mencoba membungkam mulut putranya dengan tamparan keras. Namun tiba-tiba tangan yang terulur bagai anak panah itu surut dan jatuh terkulai begitu melihat nur pada diri buah hatinya. Sang ibu menyaksikan wajah anaknya yang berseri dan berwibawa.

Karena rasa keibuannya, ibunda Mush’ab batal memukul dan menyakiti putranya, tetapi tak dapat menahan diri dari tuntutan para tokoh Quraish yang menuhankan berhala-berhalanya. Selanjutnya dibawalah sang buah hati itu ke suatu tempat terpencil di rumahnya, lalu dikurung.

Mush’ab masih tinggal di dalam kerangkeng sampai beberapa orang Muslimin hijrah ke Habsyi. Mendengar berita hijrah ini Mush’ab pun mencari muslihat, dan berhasil mengelabui ibu dan penjaga-penjaganya, lalu pergi ke Habsyi.

Ia tinggal di sana bersama kaum Muhajirin. Tak berapa lama ia pulang ke Mekkah. Namun balik lagi ke Habsyi atas titah Rasulullah.

Baik di Habsyi ataupun di Mekkah, ujian dan penderitaan tak juga berhenti. la telah selesai dan berhasil menempa corak kehidupannya menurut pola hidup yang telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW.



Jubah Usang

Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa sahabat yang sedang duduk bersama Rasulullah SAW. Begitu mereka memandang Mush’ab, mereka menundukkan kepala dan memejamkan mata. Sementara beberapa orang lainnya matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal-tambal. Padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka ketika sebelum masuk Islam, Mush’ab tak ubahnya bagaikan kembang di taman, berwarna warni dan menghamburkan bau semerbak mewangi.

Rasulullah pun menatapnya dengan pandangan penuh arti. Pada kedua bibirnya tersungging senyuman.

Rasulullah mengatakan, “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya”.

Semenjak ibunya merasa putus asa untuk mengembalikan Mush’ab kepada agama yang lama, ia telah menghentikan segala pemberian yang biasa dilimpahkan kepadanya, bahkan ia tak sudi nasinya dimakan orang yang telah mengingkari berhala dan patut beroleh kutukan daripadanya, walau anak kandungnya sendiri.

Akhir pertemuan Mush’ab dengan ibunya, ketika perempuan itu hendak mencoba mengurungnya lagi sewaktu ia pulang dari Habsyi. Ia pun bersumpah dan menyatakan tekadnya untuk membunuh orang-orang suruhan ibunya bila rencana itu dilakukan.

Karena sang ibu telah mengetahui kebulatan tekad puteranya yang telah mengambil satu keputusan, tak ada jalan lain baginya kecuali melepasnya dengan cucuran air mata, sementara Mush’ab mengucapkan selamat berpisah dengan menangis pula.

Saat perpisahan itu menggambarkan kepada kita kegigihan luar biasa dalam kekafiran pihak ibu, sebaliknya kebulatan tekad yang lebih besar dalam mempertahankan keimanan dari pihak anak. Ketika sang ibu mengusirnya dari rumah sambil berkata: “Pergilah sesuka hatimu! Aku bukan ibumu lagi”.

Maka Mush’ab pun menghampiri ibunya sambil berkata: “Wahai bunda! Telah ananda sampaikan nasihat kepada bunda, dan ananda menaruh kasihan kepada bunda. Karena itu saksikanlah bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya”.

Dengan murka dan naik darah ibunya menyahut: “Demi bintang! Sekali-kali aku takkan masuk ke dalam agamamu itu. Otakku bisa jadi rusak, dan buah pikiranku takkan diindahkan orang lagi”.



Demikianlah akhirnya Mush’ab meninggalkan kemewahan dan kesenangan yang dialaminya selama itu, dan memilih hidup miskin dan sengsara.

Pemuda ganteng dan perlente itu, telah menjadi seorang melarat dengan pakaiannya yang kasar dan usang, sehari makan dan beberapa hari menderita lapar. Tapi jiwanya yang telah dihiasi dengan ‘aqidah suci dan cemerlang berkat sepuhan Nur Ilahi, telah mengubah dirinya menjadi seorang manusia lain, yaitu manusia yang dihormati, penuh wibawa dan disegani.

Duta Pertama

Pada suatu ketika Rasulullah SAW memilih Mush’ab bin Umair untuk melakukan suatu tugas maha penting. Ia menjadi duta atau utusan Rasul ke Madinah untuk mengajarkan seluk beluk agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan bai’at kepada Rasulullah di bukit‘Aqabah. Di samping itu mengajak orang-orang lain untuk menganut Agama Allah, serta mempersiapkan kota Madinah untuk menyambut hijratul Rasul sebagai peristiwa besar.

Sebenarnya, di kalangan sahabat ketika itu masih banyak yang lebih tua, lebih berpengaruh dan lebih dekat hubungan kekeluargaannya dengan Rasulullah SAW daripada Mush’ab. Tetapi Rasulullah SAW menjatuhkan pilihannya kepada “Mush’ab yang baik”.

Rasulullah bukannya tidak menyadari sepenuhnya bahwa beliau telah memikulkan tugas amat penting ke atas pundak pemuda itu, dan menyerahkan kepadanya tanggung jawab nasib Agama Islam di kota Madinah, suatu kota yang tak lama lagi akan menjadi kota tepatan atau kota hijrah, pusat para dai dan dakwah, tempat berhimpunnya penyebar agama dan pembela al-Islam.

Sesampainya di Madinah, Mush’ab mendapati kaum Muslimin di sana tidak lebih dari 12 orang, yakni hanya orang-orang yang telah baiat di bukit ‘Aqabah. Hanya dalam beberapa bulan saja, sejak kedatangan Mush’ab, jumlah itu meningkat pesat.

Halaman :
Follow
cover top ayah
وَلَيۡسَتِ التَّوۡبَةُ لِلَّذِيۡنَ يَعۡمَلُوۡنَ السَّيِّاٰتِ‌ ۚ حَتّٰۤى اِذَا حَضَرَ اَحَدَهُمُ الۡمَوۡتُ قَالَ اِنِّىۡ تُبۡتُ الۡـــٰٔنَ وَلَا الَّذِيۡنَ يَمُوۡتُوۡنَ وَهُمۡ كُفَّارٌ ‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ اَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا اَ لِيۡمًا
Dan tobat itu tidaklah diterima Allah dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, barulah dia mengatakan, Saya benar-benar bertobat sekarang. Dan tidak pula diterima tobat dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan azab yang pedih.

(QS. An-Nisa Ayat 18)
cover bottom ayah
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More