Dua Versi Tentang Pertobatan Malik Bin Dinar yang Dramatis
Rabu, 17 Juni 2020 - 17:35 WIB
DI kalangan pegiat tasawuf , kisah ketakwaan dan kesalehan Malik bin Dinar amatlah melegenda. Ia terkenal dengan zuhud dan kehati-hatiannya ( wara’ ). Pemilik nama lengkap Abu Yahya Malik bin Dinar al-Sami ini sebelumnya akrab dengan dunia hitam dan bergelimang dosa .
Segala bentuk maksiat pernah ia lakoni semasa lajang, seperti mabuk, menzalimi orang, memakan riba, dan sebagainya. “Orang menjauhiku akibat nista yang aku jalani,” katanya mengenang kehidupannya yang kelam.
Menurut Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya, Malik bin Dinar adalah pria yang sangat tampan dan menyukai hal-hal duniawi, dan dia memiliki kekayaan yang begitu banyak. Dia tinggal di Damaskus, tempat Muawiyah membangun Masjid Agung, mewariskannya secara cuma-cuma.
Malik sangat menginginkan ditunjuk untuk menjadi imam masjid itu. Maka dia pergi dan menghamparkan sajadahnya di sudut masjid, dan (tetap) di sana selama satu tahun penuh dalam ketaatan beribadah , berharap bahwa siapa pun yang melihatnya akan menemukannya sedang salat.
“Betapa munafik nya engkau!” katanya pada dirinya sendiri.
Satu tahun berlalu dalam keadaan demikian. Pada malam harinya, dia akan meninggalkan masjid dan bersenang-senang. Suatu malam, dia menikmati musik, dan semua temannya sudah tertidur. Tiba-tiba sebuah suara datang dari kecapi yang dia mainkan.
“Malik, apa yang membuatmu tidak bertobat?”
Mendengar kata-kata ini, Malik menjatuhkan alat musiknya dan berlari ke masjid dengan sangat kebingungan.
“Selama satu tahun penuh aku telah menyembah Allah dengan kemunafikan,” dia berbicara dengan dirinya sendiri.
“Bukankah lebih baik aku seharusnya menyembah Allah dengan ketulusan? Sekarang aku begitu malu. Apa yang harus aku lakukan? Bahkan jika mereka menawariku posisi ini (sebagai imam), aku tidak akan menerimanya.”
Jadi dia telah memutuskan, dan dia memantapkan hatinya sepenuhnya menuju Allah. Malam itu dia beribadah dengan hati yang bersih.
Hari berikutnya orang-orang berkumpul seperti biasa di depan masjid.
“Kenapa ada perpecahan di masjid?” seru mereka. “Seorang imam harus ditunjuk untuk menjaganya.”
Mereka mencapai pandangan bulat bahwa tidak ada yang lebih cocok untuk jabatan itu daripada Malik. Jadi mereka mendatanginya. Dia sedang salat, jadi mereka menunggu dengan sabar sampai dia selesai.
“Kami datang untuk memohon agar engkau menerima penunjukkan ini,” kata mereka.
“Ya Allah,” seru Malik, “aku melayani-Mu dengan kemunafikan selama setahun penuh, dan tidak ada yang memandangku. Sekarang aku telah memberikan hatiku kepada-Mu dan dengan tegas memutuskan bahwa aku tidak menginginkan jabatan itu, Engkau telah mengirim dua puluh orang kepadaku untuk menempatkan tugas ini di leherku. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak menginginkannya.”
Dan dia berlari keluar dari masjid dan mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada Allah, mengambil jalan hidup yang zuhud dan disiplin.
Malik menjadi orang yang terhormat dan menjalani kehidupan yang begitu baik, sehingga ketika seorang warga Basrah yang kaya raya meninggal, meninggalkan seorang putri yang cantik, yang bernama Thabet binti Bonani, belakangan mendekatinya.
“Aku ingin menjadi istri Malik,” dia berujar, “sehingga dia dapat membantuku untuk mengabdi dalam ketaatan kepada Allah.”
Thabet kemudian menyampaikan maksudnya kepada Malik.
“Aku telah menceraikan dunia,” jawab Malik. “Wanita ini milik dunia yang telah aku ceraikan. Aku tidak dapat menikahinya.”
Versi Kedua
Sementara itu, Abdullah bin Ahmad bin Quddamah al-Maqdisi dalam al-Tawwabin menuturkan kisah yang berbeda tentang pertobatan Malik bin Dinar.
Abdullah menulis tentang pertobatan itu berdasar pengakuan Malik bin Dinar sendiri. Berikut pengakuan itu.
Dulu aku adalah seorang polisi yang suka mabuk-mabukan. Aku lalu membeli seorang budak perempuan cantik yang melahirkan anak perempuan yang sangat aku cintai.
Ketika dia sudah dapat merangkak, aku semakin mencintainya. Setiap aku meletakkan minuman keras di hadapanku, dia mendatangiku, lalu menumpahkan minuman keras dariku. Ketika sudah genap dua tahun, dia meninggal dunia, sehingga aku merasa berduka atas kepergiannya.
Pada malam Nishfu Syaban, yaitu malam Jumat, semalaman aku mabuk dan tidak mengerjakan salat isya. Kemudian aku bermimpi seakan-akan kiamat telah tiba, sangkakala ditiup, kuburan mengeluarkan isinya, seluruh makhluk telah dikumpulkan, dan aku berada di antara mereka.
Aku mendengar suara dari belakangku, lalu aku menoleh dan melihat ular besar yang berwarna hitam kebiruan mengejarku dengan mulut terbuka. Aku lari terbirit-birit karena ketakutan. Lalu aku bertemu dengan seorang syaikh yang berpakaian bersih dengan bau yang sangat harum. Aku mengucapkan salam padanya, dan dia pun menjawab salamku.
Aku berkata kepadanya, "Wahai syaikh, selamatkan aku dari ular itu, semoga Allah menyelamatkanmu."
Syaikh itu menangis dan berkata, "Aku lemah, sementara ia lebih kuat dariku. Aku tidak mampu melawannya. Cepatlah pergi, semoga Allah menyelamatkanmu dari ular itu."
Aku terus berlari, lalu naik di atas tebing dari tebing-tebing kiamat, aku mendekati kobaran api neraka. Aku melihat teror di dalamnya, dan hampir saja aku terjatuh karena takut akan kejaran ular itu.
Tiba-tiba ada suara teriakan, "Kembalilah, engkau bukan termasuk penghuni neraka."
Aku merasa tenang dengan kata-katanya, dan aku pun kembali.
ahi Munkar
Ular itu terus mengejarku. Aku mendatangi syaikh itu kembali dan berkata kepadanya, "Wahai syaikh, aku memohon padamu agar menyelamatkanku dari ular itu, namun engkau tidak melakukannya."
Syaikh itu menangis lalu berkata kepadaku, "Aku lemah, tapi pergilah ke gunung itu, karena di dalamnya ada simpanan orang-orang Islam. Jika engkau memiliki simpanan di dalam gunung itu, ia akan menyelamatkanmu."
Aku melihat gunung bulat yang terbuat dari perak, ada kubah di atas lembah permata dan tira-tirai yang bergelantungan. Setiap kubah memiliki dua pintu yang berwarna merah keemasan bertaburan zamrud dan mutiara, dan pada setiap pintu terdapat tirai-tirai dari sutera bergantungan.
Ketika aku melihat gunung itu, aku berlari dan ular itu terus mengejarku. Dan ketika aku mendekati gunung itu, salah satu malaikat berteriak, "Angkatlah tirai-tirai itu, bukalah pintu-pintu, dan hati-hatilah. Mudah-mudahan orang malang ini memiliki simpanan yang dapat menyelamatkan dia dari musuhnya."
Tirai-tirai itu diangkat, pintu-pintu dibuka, dan tiba-tiba dari dalam tempat itu muncul anak-anak yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama, namun ular itu terus mengejarku dan hampir saja aku putus asa.
Di antara anak-anak itu ada yang berteriak, "Celakalah engkau. Kemarilah dan mendekatlah kalian semua. Musuhnya sudah dekat dengannnya."
Anak-anak itu kemudian keluar satu demi satu, dan aku melihat putriku yang sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Anakku mendekatiku, dan ketika melihatku dia menangis dan berkata, "Ayah, demi Allah."
Dia kemudian melompat ke dalam kereta cahaya yang kecepatannya seperti anak panah. Dia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kananku, dan aku berpegangan ke tangannya. Lalu dia mengulurkan tangan kanannya ke arah ular itu, dan ular itu pun lari.
Dia kemudian mengajakku duduk, dan anakku duduk di atas pangkuanku, dan dia mulai membelai janggutku seraya berkata, "Ayah, belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk mengingat Allah?"
Aku menangis, lalu aku berkata kepada anakku, "Anakku, kalian memahami Alquran?"
Anakku menjawab, "Ayah, kami lebih memahaminya lebih baik darimu."
“‘Beritahu aku tentang ular yang ingin membunuhku!’
Dia menjawab, "Ia adalah amal burukmu yang kemudian menjadi kuat dan akan melemparkanmu ke neraka."
“‘Lalu siapa syaikh yang aku temui di jalan itu?” tanyaku kepada anak perempuanku kembali.
“‘Dia adalah amal baikmu yang menjadi lemah, sehingga dia tidak dapat membantu menyelamatkanmu dari amal burukmu."
Aku bertanya lagi, "Apa yang kalian lakukan di gunung itu?"
Dia menjawab, "Kami adalah anak-anak orang Islam. Kami tinggal di sini sampai hari kiamat tiba. Kami menunggu kedatangan kalian dan akan memohonkan syafaat untuk kalian."
Aku lalu terbangun ketika fajar telah terbit. Aku menumpahkan minuman kerasku, memecahkan botolnya, dan bertaubat kepada Allah.
Ahli Hadis
Malik bin Dinar al-Sami adalah putra seorang budak Persia dari Sejestan (atau Kabol). Dia murid Abu Said bin Abul-Hasan Yasar al-Basri, atau biasa disebut Hasan al-Basri, seorang sufi ternama.
Malik bin Dinar disebut-sebut sebagai ahli hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis-hadis dari rantai otoritas pada masa awal, seperti dari Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar juga diketahui sebagai seorang ahli kaligrafi Alquran yang terkemuka. Dia wafat sekitar tahun 130 H / 748 M.
Agar tidak keliru, Malik bin Dinar adalah orang yang berbeda dengan Malik Dinar, salah satu sahabat Rasulullah. Meskipun namanya mirip, namun Malik Dinar hidup di masa yang berbeda dengan Malik bin Dinar. Malik Dinar (tanpa “bin”) adalah salah satu sahabat yang menyaksikan mujizat terbelahnya bulan oleh Rasulullah.
Farid al-Din Attar, seorang penyair Persia yang juga dianggap sebagai salah satu sufi mistik terbesar, adalah salah satu yang menuliskan kisah hidup Malik bin Dinar dalam karyanya yang berjudul Tadhkirat al-Awliya (Kisah Hidup para Manusia Suci) pada tahun 1177 M. ( )
Segala bentuk maksiat pernah ia lakoni semasa lajang, seperti mabuk, menzalimi orang, memakan riba, dan sebagainya. “Orang menjauhiku akibat nista yang aku jalani,” katanya mengenang kehidupannya yang kelam.
Menurut Farid al-Din Attar dalam Tadhkirat al-Awliya, Malik bin Dinar adalah pria yang sangat tampan dan menyukai hal-hal duniawi, dan dia memiliki kekayaan yang begitu banyak. Dia tinggal di Damaskus, tempat Muawiyah membangun Masjid Agung, mewariskannya secara cuma-cuma.
Malik sangat menginginkan ditunjuk untuk menjadi imam masjid itu. Maka dia pergi dan menghamparkan sajadahnya di sudut masjid, dan (tetap) di sana selama satu tahun penuh dalam ketaatan beribadah , berharap bahwa siapa pun yang melihatnya akan menemukannya sedang salat.
“Betapa munafik nya engkau!” katanya pada dirinya sendiri.
Satu tahun berlalu dalam keadaan demikian. Pada malam harinya, dia akan meninggalkan masjid dan bersenang-senang. Suatu malam, dia menikmati musik, dan semua temannya sudah tertidur. Tiba-tiba sebuah suara datang dari kecapi yang dia mainkan.
“Malik, apa yang membuatmu tidak bertobat?”
Mendengar kata-kata ini, Malik menjatuhkan alat musiknya dan berlari ke masjid dengan sangat kebingungan.
“Selama satu tahun penuh aku telah menyembah Allah dengan kemunafikan,” dia berbicara dengan dirinya sendiri.
“Bukankah lebih baik aku seharusnya menyembah Allah dengan ketulusan? Sekarang aku begitu malu. Apa yang harus aku lakukan? Bahkan jika mereka menawariku posisi ini (sebagai imam), aku tidak akan menerimanya.”
Jadi dia telah memutuskan, dan dia memantapkan hatinya sepenuhnya menuju Allah. Malam itu dia beribadah dengan hati yang bersih.
Hari berikutnya orang-orang berkumpul seperti biasa di depan masjid.
“Kenapa ada perpecahan di masjid?” seru mereka. “Seorang imam harus ditunjuk untuk menjaganya.”
Mereka mencapai pandangan bulat bahwa tidak ada yang lebih cocok untuk jabatan itu daripada Malik. Jadi mereka mendatanginya. Dia sedang salat, jadi mereka menunggu dengan sabar sampai dia selesai.
“Kami datang untuk memohon agar engkau menerima penunjukkan ini,” kata mereka.
“Ya Allah,” seru Malik, “aku melayani-Mu dengan kemunafikan selama setahun penuh, dan tidak ada yang memandangku. Sekarang aku telah memberikan hatiku kepada-Mu dan dengan tegas memutuskan bahwa aku tidak menginginkan jabatan itu, Engkau telah mengirim dua puluh orang kepadaku untuk menempatkan tugas ini di leherku. Demi kemuliaan-Mu, aku tidak menginginkannya.”
Dan dia berlari keluar dari masjid dan mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada Allah, mengambil jalan hidup yang zuhud dan disiplin.
Malik menjadi orang yang terhormat dan menjalani kehidupan yang begitu baik, sehingga ketika seorang warga Basrah yang kaya raya meninggal, meninggalkan seorang putri yang cantik, yang bernama Thabet binti Bonani, belakangan mendekatinya.
“Aku ingin menjadi istri Malik,” dia berujar, “sehingga dia dapat membantuku untuk mengabdi dalam ketaatan kepada Allah.”
Thabet kemudian menyampaikan maksudnya kepada Malik.
“Aku telah menceraikan dunia,” jawab Malik. “Wanita ini milik dunia yang telah aku ceraikan. Aku tidak dapat menikahinya.”
Versi Kedua
Sementara itu, Abdullah bin Ahmad bin Quddamah al-Maqdisi dalam al-Tawwabin menuturkan kisah yang berbeda tentang pertobatan Malik bin Dinar.
Abdullah menulis tentang pertobatan itu berdasar pengakuan Malik bin Dinar sendiri. Berikut pengakuan itu.
Dulu aku adalah seorang polisi yang suka mabuk-mabukan. Aku lalu membeli seorang budak perempuan cantik yang melahirkan anak perempuan yang sangat aku cintai.
Ketika dia sudah dapat merangkak, aku semakin mencintainya. Setiap aku meletakkan minuman keras di hadapanku, dia mendatangiku, lalu menumpahkan minuman keras dariku. Ketika sudah genap dua tahun, dia meninggal dunia, sehingga aku merasa berduka atas kepergiannya.
Pada malam Nishfu Syaban, yaitu malam Jumat, semalaman aku mabuk dan tidak mengerjakan salat isya. Kemudian aku bermimpi seakan-akan kiamat telah tiba, sangkakala ditiup, kuburan mengeluarkan isinya, seluruh makhluk telah dikumpulkan, dan aku berada di antara mereka.
Aku mendengar suara dari belakangku, lalu aku menoleh dan melihat ular besar yang berwarna hitam kebiruan mengejarku dengan mulut terbuka. Aku lari terbirit-birit karena ketakutan. Lalu aku bertemu dengan seorang syaikh yang berpakaian bersih dengan bau yang sangat harum. Aku mengucapkan salam padanya, dan dia pun menjawab salamku.
Aku berkata kepadanya, "Wahai syaikh, selamatkan aku dari ular itu, semoga Allah menyelamatkanmu."
Syaikh itu menangis dan berkata, "Aku lemah, sementara ia lebih kuat dariku. Aku tidak mampu melawannya. Cepatlah pergi, semoga Allah menyelamatkanmu dari ular itu."
Aku terus berlari, lalu naik di atas tebing dari tebing-tebing kiamat, aku mendekati kobaran api neraka. Aku melihat teror di dalamnya, dan hampir saja aku terjatuh karena takut akan kejaran ular itu.
Tiba-tiba ada suara teriakan, "Kembalilah, engkau bukan termasuk penghuni neraka."
Aku merasa tenang dengan kata-katanya, dan aku pun kembali.
ahi Munkar
Ular itu terus mengejarku. Aku mendatangi syaikh itu kembali dan berkata kepadanya, "Wahai syaikh, aku memohon padamu agar menyelamatkanku dari ular itu, namun engkau tidak melakukannya."
Syaikh itu menangis lalu berkata kepadaku, "Aku lemah, tapi pergilah ke gunung itu, karena di dalamnya ada simpanan orang-orang Islam. Jika engkau memiliki simpanan di dalam gunung itu, ia akan menyelamatkanmu."
Aku melihat gunung bulat yang terbuat dari perak, ada kubah di atas lembah permata dan tira-tirai yang bergelantungan. Setiap kubah memiliki dua pintu yang berwarna merah keemasan bertaburan zamrud dan mutiara, dan pada setiap pintu terdapat tirai-tirai dari sutera bergantungan.
Ketika aku melihat gunung itu, aku berlari dan ular itu terus mengejarku. Dan ketika aku mendekati gunung itu, salah satu malaikat berteriak, "Angkatlah tirai-tirai itu, bukalah pintu-pintu, dan hati-hatilah. Mudah-mudahan orang malang ini memiliki simpanan yang dapat menyelamatkan dia dari musuhnya."
Tirai-tirai itu diangkat, pintu-pintu dibuka, dan tiba-tiba dari dalam tempat itu muncul anak-anak yang wajahnya bersinar seperti bulan purnama, namun ular itu terus mengejarku dan hampir saja aku putus asa.
Di antara anak-anak itu ada yang berteriak, "Celakalah engkau. Kemarilah dan mendekatlah kalian semua. Musuhnya sudah dekat dengannnya."
Anak-anak itu kemudian keluar satu demi satu, dan aku melihat putriku yang sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Anakku mendekatiku, dan ketika melihatku dia menangis dan berkata, "Ayah, demi Allah."
Dia kemudian melompat ke dalam kereta cahaya yang kecepatannya seperti anak panah. Dia meletakkan tangan kirinya di atas tangan kananku, dan aku berpegangan ke tangannya. Lalu dia mengulurkan tangan kanannya ke arah ular itu, dan ular itu pun lari.
Dia kemudian mengajakku duduk, dan anakku duduk di atas pangkuanku, dan dia mulai membelai janggutku seraya berkata, "Ayah, belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk mengingat Allah?"
Aku menangis, lalu aku berkata kepada anakku, "Anakku, kalian memahami Alquran?"
Anakku menjawab, "Ayah, kami lebih memahaminya lebih baik darimu."
“‘Beritahu aku tentang ular yang ingin membunuhku!’
Dia menjawab, "Ia adalah amal burukmu yang kemudian menjadi kuat dan akan melemparkanmu ke neraka."
“‘Lalu siapa syaikh yang aku temui di jalan itu?” tanyaku kepada anak perempuanku kembali.
“‘Dia adalah amal baikmu yang menjadi lemah, sehingga dia tidak dapat membantu menyelamatkanmu dari amal burukmu."
Aku bertanya lagi, "Apa yang kalian lakukan di gunung itu?"
Dia menjawab, "Kami adalah anak-anak orang Islam. Kami tinggal di sini sampai hari kiamat tiba. Kami menunggu kedatangan kalian dan akan memohonkan syafaat untuk kalian."
Aku lalu terbangun ketika fajar telah terbit. Aku menumpahkan minuman kerasku, memecahkan botolnya, dan bertaubat kepada Allah.
Ahli Hadis
Malik bin Dinar al-Sami adalah putra seorang budak Persia dari Sejestan (atau Kabol). Dia murid Abu Said bin Abul-Hasan Yasar al-Basri, atau biasa disebut Hasan al-Basri, seorang sufi ternama.
Malik bin Dinar disebut-sebut sebagai ahli hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis-hadis dari rantai otoritas pada masa awal, seperti dari Anas bin Malik dan Ibnu Sirin. Malik bin Dinar juga diketahui sebagai seorang ahli kaligrafi Alquran yang terkemuka. Dia wafat sekitar tahun 130 H / 748 M.
Agar tidak keliru, Malik bin Dinar adalah orang yang berbeda dengan Malik Dinar, salah satu sahabat Rasulullah. Meskipun namanya mirip, namun Malik Dinar hidup di masa yang berbeda dengan Malik bin Dinar. Malik Dinar (tanpa “bin”) adalah salah satu sahabat yang menyaksikan mujizat terbelahnya bulan oleh Rasulullah.
Farid al-Din Attar, seorang penyair Persia yang juga dianggap sebagai salah satu sufi mistik terbesar, adalah salah satu yang menuliskan kisah hidup Malik bin Dinar dalam karyanya yang berjudul Tadhkirat al-Awliya (Kisah Hidup para Manusia Suci) pada tahun 1177 M. ( )
(mhy)