Jadikan Setiap Malam Adalah Lailatul Qadar
Senin, 25 April 2022 - 03:00 WIB
Dengan demikian, ucapan Imam Ibrahim bin Adham, dari polanya, tidak berbeda dengan ucapan Sayyidina Ali tentang hari raya, bahwa beramal tidak perlu menunggu sepuluh hari terakhir atau mendatangi tempat tertentu terlebih dahulu.
Selama masih ada kesempatan, di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, manusia seharusnya menjalankan amalnya dan membaguskannya. Apalagi jika keseharian amalnya sudah seperti orang-orang yang mengharapkan lailatul qadar, kemudian diperlengkap dengan tempat yang sudah jelas kemuliannya, maka amalnya akan bertambah luar biasa.
Jadi, penekanan dari ucapan Ibrahim bin Adham adalah, lakukan perbuatan baik atau ibadah sekarang juga. Jangan menunggu nanti di sepuluh hari terakhir atau di tempat tertentu untuk beramal secara serius. Anggaplah setiap malam laiknya malam lailatul qadar, yang mana keseriusan amal dan ibadah sering tertampak dari para pencarinya.
Mungkin kebiasaan inilah yang membuat banyak ulama di masa lalu berhasil mendapatkan lailatul qadar di bulan Ramadhan. Karena di hari-hari biasa saja mereka sudah “sebiasa” itu beramal dan menganggap setiap hari adalah lailatul qadar, apalagi di bulan Ramadhan.
Dengan kata lain, keistiqamahan amal telah melebarkan kemungkinkan mereka untuk menjumpai lailatul qadar. Hal yang kurang lebih sama dikemukakan juga oleh Imam Abu al-Abbas al-Mursi, murid Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili.
“Semua waktu kami adalah lailatul qadar, alhamdulillah. Ini adalah keberkahan dalam umur, bukan panjangnya dan (bukan pula) tambahan masa (hidupnya).”
Jika mengacu pada ucapan tersebut, keberkahan umur tidak terkait dengan panjang dan lamanya. Tapi terkait dengan kesadaran berbuat baik dan beramal setiap saat, laiknya setiap hari dan setiap waktu adalah lailatul qadar, sebagaimana pesan yang ingin disampaikan oleh Ibrahim bin Adham kepada murid dan teman-temannya, agar mereka mendapatkan keberkahan umur dalam hidup.
Selama masih ada kesempatan, di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, manusia seharusnya menjalankan amalnya dan membaguskannya. Apalagi jika keseharian amalnya sudah seperti orang-orang yang mengharapkan lailatul qadar, kemudian diperlengkap dengan tempat yang sudah jelas kemuliannya, maka amalnya akan bertambah luar biasa.
Jadi, penekanan dari ucapan Ibrahim bin Adham adalah, lakukan perbuatan baik atau ibadah sekarang juga. Jangan menunggu nanti di sepuluh hari terakhir atau di tempat tertentu untuk beramal secara serius. Anggaplah setiap malam laiknya malam lailatul qadar, yang mana keseriusan amal dan ibadah sering tertampak dari para pencarinya.
Mungkin kebiasaan inilah yang membuat banyak ulama di masa lalu berhasil mendapatkan lailatul qadar di bulan Ramadhan. Karena di hari-hari biasa saja mereka sudah “sebiasa” itu beramal dan menganggap setiap hari adalah lailatul qadar, apalagi di bulan Ramadhan.
Dengan kata lain, keistiqamahan amal telah melebarkan kemungkinkan mereka untuk menjumpai lailatul qadar. Hal yang kurang lebih sama dikemukakan juga oleh Imam Abu al-Abbas al-Mursi, murid Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili.
“Semua waktu kami adalah lailatul qadar, alhamdulillah. Ini adalah keberkahan dalam umur, bukan panjangnya dan (bukan pula) tambahan masa (hidupnya).”
Jika mengacu pada ucapan tersebut, keberkahan umur tidak terkait dengan panjang dan lamanya. Tapi terkait dengan kesadaran berbuat baik dan beramal setiap saat, laiknya setiap hari dan setiap waktu adalah lailatul qadar, sebagaimana pesan yang ingin disampaikan oleh Ibrahim bin Adham kepada murid dan teman-temannya, agar mereka mendapatkan keberkahan umur dalam hidup.
(mhy)