Jadikan Setiap Malam Adalah Lailatul Qadar

Senin, 25 April 2022 - 03:00 WIB
Ibrahim bin Adham mengatakan kerjakan amal dengan baik. Bagi kalian, setiap malam adalah lailatul qadar. Foto/Ilustrasi: SINDOnews
Abu Yusuf al-Ghasuli Ya’qub bin al-Mughirah berkisah bahwa suatu ketika ia,saat panen di bulan Ramadhan, bersama Ibrahim bin Adham . "Wahai Abu Ishaq, andaikan kau masuk bersama kami ke Madinah , kemudian (menghabiskan) sepuluh hari terakhir berpuasa di Madinah, boleh jadi kita akan mendapatkan lailatul qadar," ujar Abu Yusuf al-Ghasuli.

Ibrahim bin Adham menjawab: "Lakukanlah di sini (sekarang juga), dan kerjakan amal dengan baik. Bagi kalian, setiap malam adalah lailatul qadar .”

Kisah ini termuat dalam kitab Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’ karya Imam al-Hafidh Abu Na’im al-Ashfahani.



Lailatul qadar adalah malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan (khairun min alfi syahrin). Kebaikannya tidak ada batasannya, lebih baik dari umur manusia, dan lebih baik dari usia zaman (khairun minad dahr). Begitulah yang dikemukakan Syekh Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya, "Syahr Ramadhan".

Sedangkan M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran " mengatakan malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]: l).

Malam tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu: Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2).

Hal Biasa

Hanya saja, apa yang dikemukakan Ibrahim bin Adham bahwa setiap malam adalah lailatul qadar adalah hal biasa di antara ulamâ’ul ‘ârifîn di masa lampau, yaitu orang-orang yang menghidupkan hari-harinya dengan lailatul qadar.

Mereka menganggap setiap hari adalah lailatul qadar. Aktivitas dan rajinnya ibadah mereka tidak bersifat harian, mingguan atau bulanan. Setiap hari mereka beramal seperti orang yang beramal mengharapkan lailatul qadar (mitslul ‘âmil fî lailatil qadr).



Sebagian ulama sebagaimana dinyatakan Imam Abu Thalib al-Makki dalam kitab "Qût al-Qulûb fî Mu’âmalah al-Mahbûb wa Washf Tharîq al-Murîd ilâ Maqâm al-Tauhîd" mengatakan: “Setiap malam bagi seorang ‘arif statusnya (sama dengan) lailatul qadar.”

“Status sama” di sini tidak dalam kedudukan dan kemuliaan hakikinya, tapi dalam hal pengamalan ibadah. Sebab, banyak orang yang mulai giat beribadah saat sepuluh hari terakhir untuk mendapatkan lailatul qadar.

Sedangkan bagi mereka, orang-orang arif, kegiatan ibadah tidak harus menunggu terjadinya lailatul qadar, tapi harus dilakukan setiap hari, setiap saat dan setiap waktu.

Tentunya hal ini tidak bermaksud menyalahkan orang yang mulai giat beribadah di sepuluh hari terakhir, karena itu adalah hal yang sangat baik untuk dilakukan.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa hari yang di dalamnya tidak melakukan maksiat kepada Allah, maka hari itu adalah hari raya (yaum ‘îd). Ia mengatakan: “Setiap hari yang di dalamnya tidak bermaksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka hari tersebut bagi kami adalah hari raya (‘îd).” (Al-Makki, 2016: I/155)



Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kebumen, Jawa Tengah, menjelaskan tentu, hari raya yang dimaksud bukan hari raya yang dipahami secara umum, melainkan hari yang perlu dirayakan dengan kebahagiaan dan perasaan kembali fitri.

Sebagaimana yang banyak orang tahu, hari raya sangat identik dengan kebahagiaan dan kesenangan. Oleh karena itu, Sayyidina Ali radhiyallahu ‘anhu memandang perlu merayakan keberhasilan menjauhi maksiat dengan menganggap hari itu sebagai hari raya.

"Itulah sebenarnya yang harus dihayati dalam hari raya, tidak sekadar kebaruan dalam bagian luarnya saja seperti baju baru dan lain sebagainya," ujar Ustadz Muhammad Afiq Zahara dalam tulisannya berjudul "Saat Ibrahim bin Adham Diajak Mencari Lailatul Qadar di Madinah" sebagaimana dilansir laman resmi Nahdlatul Ulama, Ahad (24/4/2022)

Dengan demikian, ucapan Imam Ibrahim bin Adham, dari polanya, tidak berbeda dengan ucapan Sayyidina Ali tentang hari raya, bahwa beramal tidak perlu menunggu sepuluh hari terakhir atau mendatangi tempat tertentu terlebih dahulu.

Selama masih ada kesempatan, di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, manusia seharusnya menjalankan amalnya dan membaguskannya. Apalagi jika keseharian amalnya sudah seperti orang-orang yang mengharapkan lailatul qadar, kemudian diperlengkap dengan tempat yang sudah jelas kemuliannya, maka amalnya akan bertambah luar biasa.



Jadi, penekanan dari ucapan Ibrahim bin Adham adalah, lakukan perbuatan baik atau ibadah sekarang juga. Jangan menunggu nanti di sepuluh hari terakhir atau di tempat tertentu untuk beramal secara serius. Anggaplah setiap malam laiknya malam lailatul qadar, yang mana keseriusan amal dan ibadah sering tertampak dari para pencarinya.

Mungkin kebiasaan inilah yang membuat banyak ulama di masa lalu berhasil mendapatkan lailatul qadar di bulan Ramadhan. Karena di hari-hari biasa saja mereka sudah “sebiasa” itu beramal dan menganggap setiap hari adalah lailatul qadar, apalagi di bulan Ramadhan.

Dengan kata lain, keistiqamahan amal telah melebarkan kemungkinkan mereka untuk menjumpai lailatul qadar. Hal yang kurang lebih sama dikemukakan juga oleh Imam Abu al-Abbas al-Mursi, murid Sayyid Abu al-Hasan al-Syadzili.

“Semua waktu kami adalah lailatul qadar, alhamdulillah. Ini adalah keberkahan dalam umur, bukan panjangnya dan (bukan pula) tambahan masa (hidupnya).”

Jika mengacu pada ucapan tersebut, keberkahan umur tidak terkait dengan panjang dan lamanya. Tapi terkait dengan kesadaran berbuat baik dan beramal setiap saat, laiknya setiap hari dan setiap waktu adalah lailatul qadar, sebagaimana pesan yang ingin disampaikan oleh Ibrahim bin Adham kepada murid dan teman-temannya, agar mereka mendapatkan keberkahan umur dalam hidup.

(mhy)
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Hadits of The Day
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:  Manusia yang paling dibenci Allah adalah yang keras kepala dan suka membantah.

(HR. Bukhari No. 6651)
Artikel Terkait
Al-Qur'an, Bacalah!
Rekomendasi
Terpopuler
Artikel Terkini More