Bentuk-Bentuk Kegiatan Sufi Menurut Idries Shah
Sabtu, 14 Januari 2023 - 21:47 WIB
Imam Ghazali dalam bukunya " Ihya' 'Ulumiddin " ('Revival of Religious Sciences') mengatakan seorang anak tidak memiliki ilmu pengetahuan yang nyata mengenai hasil-hasil yang dicapai oleh orang dewasa. Seorang dewasa biasa (awam) tidak dapat memahami hasil-hasil yang dicapai seorang terpelajar. "Dalam cara yang sama, seorang terpelajar tidak dapat mengerti tentang pengalaman-pengalaman orang-orang suci yang selalu mendapat pencerahan, atau para Sufi," ujar al-Ghazali.
Idries Shah dalam buku berjudul "The Way of the Sufi" dan diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha menjadi "Reportase Dunia Ma'rifat" (Risalah Gusti, 1999) menjelaskan ini untuk sebuah permulaan (awal), bukan sebuah konsep yang mana secara instan direkomendasikan tersendiri untuk orang terpelajar. Hal ini bukanlah persoalan baru.
Pada abad ke-11, Muhammad al-Ghazali (Algazel) yang telah memelihara (menyelamatkan) para teolog Muslim dari penafsiran materi-materi yang berhubungan dengan Islam dalam suatu cara serupa --sebagaimana menggagalkan serangan filsafat Yunani, yang diinformasikan para sarjana Yunani-- bahwa mode ilmu pengetahuan mereka lebih rendah mutunya daripada yang diperoleh melalui praktik-praktik Sufi .
Mereka menjadikan dirinya sebagai pahlawan mereka, dan para pewaris mereka tetap mengajarkan penafsiran-penafsirannya sebagai Islam ortodoks, meskipun pernyataannya bahwa metode akademis adalah tidak cukup dan kurang bermutu untuk ilmu pengetahuan yang sebenarnya (sejati).
Kemudian Jalaluddin Rumi, penyair dan mistikus besar, yang mengatakan kepada pendengarnya bahwa seperti seorang tuan rumah yang baik, ia telah memberi mereka puisi karena mereka membutuhkannya, untuk melengkapi apa yang ditanyakan.
Tetapi, ia melanjutkan, puisi adalah tak berharga dibanding dengan suatu perkembangan penting tertentu dari individu. Hampir tujuhratus tahun ia masih dapat melukai orang-orang dengan kata-kata ini.
Tak berapa lama kemudian, seorang pengulas dalam sebuah koran Inggris yang memiliki reputasi baik, juga merasa terhina dengan bagian ini (di mana dia menemukan dalam sebuah terjemahan), bahwa dia berkata, "Ar-Rumi mungkin berpikir bahwa puisi adalah omong kosong. Saya pikir bahwa puisinya adalah omong kosong dalam terjemahan ini."
Tetapi gagasan-gagasan Sufi, kata Idries Shah, diambil dari sikap tersebut, tidak pernah dimaksudkan untuk menantang manusia, hanya untuk memberinya atau melengkapinya dengan suatu tujuan yang lebih tinggi, untuk mempertahankan konsepsinya bahwa mungkin ada beberapa fungsi (manfaat) dari pikiran yang dihasilkan sebagai contoh para tokoh besar Sufi. "Yang tak dapat dielakkan adalah orang-orang yang bertabrakan dengan gagasan ini," kata Idries Shah.
Hal itu karena kelaziman dari reaksi ini, bahwa kaum Sufi mengatakan, kalau orang tidak benar-benar menginginkan pengetahuan bahwa pernyataan-pernyataan Sufisme menjadi dapat tertanam: mereka sesungguhnya hanya mencari kepuasan hati mereka sendiri, di dalam sistem berpikir mereka.
Tetapi Sufi menuntut dengan tegas: "Waktu yang singkat berada di hadapan teman-teman (kaum Sufi) adalah lebih baik daripada seratus tahun pengabdian yang tulus, dan patuh." (Ar-Rumi).
Sufisme juga menyatakan bahwa manusia mungkin (mampu) menjadi obyektif, dan obyektivitas tersebut memungkinkan individu memahami fakta-fakta yang 'lebih tinggi'. Manusia oleh karena itu diundang untuk mencoba mendorong evolusinya mendahului terhadap apa yang kadang disebut di dalam Sufisme 'akal budi yang sesungguhnya' (real intellect).
Kaum Sufi beranggapan, bahwa jauh dari pengetahuan ini di dalam buku-buku yang ada, bagian terbesar dari hal itu harus dikomunikasikan secara personal dengan memakai suatu interaksi antara guru dan murid. Sangat banyak perhatian pada halaman-halaman tertulis, mereka menegaskan, bahkan dapat berbahaya.
Inilah persoalan selanjutnya; karena hal itu muncul untuk menentang sarjana atau pelajar tak kurang daripada anggota komunitas modern terpelajar yang merasa, jika pada waktu itu hanya secara bawah sadar, bahwa semua ilmu pengetahuan sudah tentu ada di dalam buku-buku.
Kendati demikian, kaum Sufi telah bekerja keras dalam waktu yang lama untuk menyadur kata-kata yang tertulis guna menyampaikan bagian-bagian tertentu dari apa yang mereka ajarkan.
Hal ini telah membawa kepada penggunaan materi-materi yang dimanipulasi dan ditulis dalam kode --tidak dirancang secara khusus atau selalu untuk menyelubungi arti yang sebenarnya, tetapi bermaksud untuk memperlihatkan apabila membaca sandi, bahwa apakah yang terlihat di permukaan tampak seperti sebuah syair yang lengkap, dongeng, cerita yang dibuat-buat, risalah dan sebagainya, mudah atau rentan terkena interpretasi lain: suatu peragaan yang demikian itu analog dengan efek sebuah kaleidoskopis.
Menurut Idires Shah, apabila kaum Sufi menggambar diagram-diagram untuk tujuan serupa itu, para penjiplak cenderung menyalinnya belaka, dan menggunakannya pada tingkat pengertian mereka sendiri.
Merangsang Pemikiran
Idries Shah dalam buku berjudul "The Way of the Sufi" dan diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha menjadi "Reportase Dunia Ma'rifat" (Risalah Gusti, 1999) menjelaskan ini untuk sebuah permulaan (awal), bukan sebuah konsep yang mana secara instan direkomendasikan tersendiri untuk orang terpelajar. Hal ini bukanlah persoalan baru.
Pada abad ke-11, Muhammad al-Ghazali (Algazel) yang telah memelihara (menyelamatkan) para teolog Muslim dari penafsiran materi-materi yang berhubungan dengan Islam dalam suatu cara serupa --sebagaimana menggagalkan serangan filsafat Yunani, yang diinformasikan para sarjana Yunani-- bahwa mode ilmu pengetahuan mereka lebih rendah mutunya daripada yang diperoleh melalui praktik-praktik Sufi .
Mereka menjadikan dirinya sebagai pahlawan mereka, dan para pewaris mereka tetap mengajarkan penafsiran-penafsirannya sebagai Islam ortodoks, meskipun pernyataannya bahwa metode akademis adalah tidak cukup dan kurang bermutu untuk ilmu pengetahuan yang sebenarnya (sejati).
Kemudian Jalaluddin Rumi, penyair dan mistikus besar, yang mengatakan kepada pendengarnya bahwa seperti seorang tuan rumah yang baik, ia telah memberi mereka puisi karena mereka membutuhkannya, untuk melengkapi apa yang ditanyakan.
Tetapi, ia melanjutkan, puisi adalah tak berharga dibanding dengan suatu perkembangan penting tertentu dari individu. Hampir tujuhratus tahun ia masih dapat melukai orang-orang dengan kata-kata ini.
Tak berapa lama kemudian, seorang pengulas dalam sebuah koran Inggris yang memiliki reputasi baik, juga merasa terhina dengan bagian ini (di mana dia menemukan dalam sebuah terjemahan), bahwa dia berkata, "Ar-Rumi mungkin berpikir bahwa puisi adalah omong kosong. Saya pikir bahwa puisinya adalah omong kosong dalam terjemahan ini."
Tetapi gagasan-gagasan Sufi, kata Idries Shah, diambil dari sikap tersebut, tidak pernah dimaksudkan untuk menantang manusia, hanya untuk memberinya atau melengkapinya dengan suatu tujuan yang lebih tinggi, untuk mempertahankan konsepsinya bahwa mungkin ada beberapa fungsi (manfaat) dari pikiran yang dihasilkan sebagai contoh para tokoh besar Sufi. "Yang tak dapat dielakkan adalah orang-orang yang bertabrakan dengan gagasan ini," kata Idries Shah.
Hal itu karena kelaziman dari reaksi ini, bahwa kaum Sufi mengatakan, kalau orang tidak benar-benar menginginkan pengetahuan bahwa pernyataan-pernyataan Sufisme menjadi dapat tertanam: mereka sesungguhnya hanya mencari kepuasan hati mereka sendiri, di dalam sistem berpikir mereka.
Tetapi Sufi menuntut dengan tegas: "Waktu yang singkat berada di hadapan teman-teman (kaum Sufi) adalah lebih baik daripada seratus tahun pengabdian yang tulus, dan patuh." (Ar-Rumi).
Sufisme juga menyatakan bahwa manusia mungkin (mampu) menjadi obyektif, dan obyektivitas tersebut memungkinkan individu memahami fakta-fakta yang 'lebih tinggi'. Manusia oleh karena itu diundang untuk mencoba mendorong evolusinya mendahului terhadap apa yang kadang disebut di dalam Sufisme 'akal budi yang sesungguhnya' (real intellect).
Kaum Sufi beranggapan, bahwa jauh dari pengetahuan ini di dalam buku-buku yang ada, bagian terbesar dari hal itu harus dikomunikasikan secara personal dengan memakai suatu interaksi antara guru dan murid. Sangat banyak perhatian pada halaman-halaman tertulis, mereka menegaskan, bahkan dapat berbahaya.
Inilah persoalan selanjutnya; karena hal itu muncul untuk menentang sarjana atau pelajar tak kurang daripada anggota komunitas modern terpelajar yang merasa, jika pada waktu itu hanya secara bawah sadar, bahwa semua ilmu pengetahuan sudah tentu ada di dalam buku-buku.
Kendati demikian, kaum Sufi telah bekerja keras dalam waktu yang lama untuk menyadur kata-kata yang tertulis guna menyampaikan bagian-bagian tertentu dari apa yang mereka ajarkan.
Hal ini telah membawa kepada penggunaan materi-materi yang dimanipulasi dan ditulis dalam kode --tidak dirancang secara khusus atau selalu untuk menyelubungi arti yang sebenarnya, tetapi bermaksud untuk memperlihatkan apabila membaca sandi, bahwa apakah yang terlihat di permukaan tampak seperti sebuah syair yang lengkap, dongeng, cerita yang dibuat-buat, risalah dan sebagainya, mudah atau rentan terkena interpretasi lain: suatu peragaan yang demikian itu analog dengan efek sebuah kaleidoskopis.
Menurut Idires Shah, apabila kaum Sufi menggambar diagram-diagram untuk tujuan serupa itu, para penjiplak cenderung menyalinnya belaka, dan menggunakannya pada tingkat pengertian mereka sendiri.
Baca Juga
Merangsang Pemikiran