Bentuk-Bentuk Kegiatan Sufi Menurut Idries Shah
Sabtu, 14 Januari 2023 - 21:47 WIB
Imam Ghazali dalam bukunya " Ihya' 'Ulumiddin " ('Revival of Religious Sciences') mengatakan seorang anak tidak memiliki ilmu pengetahuan yang nyata mengenai hasil-hasil yang dicapai oleh orang dewasa. Seorang dewasa biasa (awam) tidak dapat memahami hasil-hasil yang dicapai seorang terpelajar. "Dalam cara yang sama, seorang terpelajar tidak dapat mengerti tentang pengalaman-pengalaman orang-orang suci yang selalu mendapat pencerahan, atau para Sufi," ujar al-Ghazali.
Idries Shah dalam buku berjudul "The Way of the Sufi" dan diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha menjadi "Reportase Dunia Ma'rifat" (Risalah Gusti, 1999) menjelaskan ini untuk sebuah permulaan (awal), bukan sebuah konsep yang mana secara instan direkomendasikan tersendiri untuk orang terpelajar. Hal ini bukanlah persoalan baru.
Pada abad ke-11, Muhammad al-Ghazali (Algazel) yang telah memelihara (menyelamatkan) para teolog Muslim dari penafsiran materi-materi yang berhubungan dengan Islam dalam suatu cara serupa --sebagaimana menggagalkan serangan filsafat Yunani, yang diinformasikan para sarjana Yunani-- bahwa mode ilmu pengetahuan mereka lebih rendah mutunya daripada yang diperoleh melalui praktik-praktik Sufi .
Mereka menjadikan dirinya sebagai pahlawan mereka, dan para pewaris mereka tetap mengajarkan penafsiran-penafsirannya sebagai Islam ortodoks, meskipun pernyataannya bahwa metode akademis adalah tidak cukup dan kurang bermutu untuk ilmu pengetahuan yang sebenarnya (sejati).
Kemudian Jalaluddin Rumi, penyair dan mistikus besar, yang mengatakan kepada pendengarnya bahwa seperti seorang tuan rumah yang baik, ia telah memberi mereka puisi karena mereka membutuhkannya, untuk melengkapi apa yang ditanyakan.
Tetapi, ia melanjutkan, puisi adalah tak berharga dibanding dengan suatu perkembangan penting tertentu dari individu. Hampir tujuhratus tahun ia masih dapat melukai orang-orang dengan kata-kata ini.
Tak berapa lama kemudian, seorang pengulas dalam sebuah koran Inggris yang memiliki reputasi baik, juga merasa terhina dengan bagian ini (di mana dia menemukan dalam sebuah terjemahan), bahwa dia berkata, "Ar-Rumi mungkin berpikir bahwa puisi adalah omong kosong. Saya pikir bahwa puisinya adalah omong kosong dalam terjemahan ini."
Tetapi gagasan-gagasan Sufi, kata Idries Shah, diambil dari sikap tersebut, tidak pernah dimaksudkan untuk menantang manusia, hanya untuk memberinya atau melengkapinya dengan suatu tujuan yang lebih tinggi, untuk mempertahankan konsepsinya bahwa mungkin ada beberapa fungsi (manfaat) dari pikiran yang dihasilkan sebagai contoh para tokoh besar Sufi. "Yang tak dapat dielakkan adalah orang-orang yang bertabrakan dengan gagasan ini," kata Idries Shah.
Hal itu karena kelaziman dari reaksi ini, bahwa kaum Sufi mengatakan, kalau orang tidak benar-benar menginginkan pengetahuan bahwa pernyataan-pernyataan Sufisme menjadi dapat tertanam: mereka sesungguhnya hanya mencari kepuasan hati mereka sendiri, di dalam sistem berpikir mereka.
Tetapi Sufi menuntut dengan tegas: "Waktu yang singkat berada di hadapan teman-teman (kaum Sufi) adalah lebih baik daripada seratus tahun pengabdian yang tulus, dan patuh." (Ar-Rumi).
Sufisme juga menyatakan bahwa manusia mungkin (mampu) menjadi obyektif, dan obyektivitas tersebut memungkinkan individu memahami fakta-fakta yang 'lebih tinggi'. Manusia oleh karena itu diundang untuk mencoba mendorong evolusinya mendahului terhadap apa yang kadang disebut di dalam Sufisme 'akal budi yang sesungguhnya' (real intellect).
Kaum Sufi beranggapan, bahwa jauh dari pengetahuan ini di dalam buku-buku yang ada, bagian terbesar dari hal itu harus dikomunikasikan secara personal dengan memakai suatu interaksi antara guru dan murid. Sangat banyak perhatian pada halaman-halaman tertulis, mereka menegaskan, bahkan dapat berbahaya.
Inilah persoalan selanjutnya; karena hal itu muncul untuk menentang sarjana atau pelajar tak kurang daripada anggota komunitas modern terpelajar yang merasa, jika pada waktu itu hanya secara bawah sadar, bahwa semua ilmu pengetahuan sudah tentu ada di dalam buku-buku.
Kendati demikian, kaum Sufi telah bekerja keras dalam waktu yang lama untuk menyadur kata-kata yang tertulis guna menyampaikan bagian-bagian tertentu dari apa yang mereka ajarkan.
Hal ini telah membawa kepada penggunaan materi-materi yang dimanipulasi dan ditulis dalam kode --tidak dirancang secara khusus atau selalu untuk menyelubungi arti yang sebenarnya, tetapi bermaksud untuk memperlihatkan apabila membaca sandi, bahwa apakah yang terlihat di permukaan tampak seperti sebuah syair yang lengkap, dongeng, cerita yang dibuat-buat, risalah dan sebagainya, mudah atau rentan terkena interpretasi lain: suatu peragaan yang demikian itu analog dengan efek sebuah kaleidoskopis.
Menurut Idires Shah, apabila kaum Sufi menggambar diagram-diagram untuk tujuan serupa itu, para penjiplak cenderung menyalinnya belaka, dan menggunakannya pada tingkat pengertian mereka sendiri.
Merangsang Pemikiran
Teknik Sufi yang lain melengkapi problem selanjutnya. Banyak bagian-bagian, bahkan seluruh buku-buku atau rentetan pernyataan-pernyataan Sufi yang tegas, dirancang untuk merangsang pemikiran bahkan kadang-kadang dengan metode mengembangkan kritikisme yang sehat.
Dokumen-dokumen ini sangat sering diambil oleh para murid literalis mereka sebagai cara menerjemahkan yang seberiamya terhadap kepercayaan-kepercayaan yang dipegang oleh para penulisnya.
Di Barat umumnya, kata Idries Shah, kita memiliki banyak atau lebih dari cukup terjemahan. Kebanyakan cara penterjemahan adalah sesuai dengan aslinya terhadap hanya satu faset dari teks-teks multidimensional.
Para murid Barat, sesungguhnya tahu bahwa dimensi-dimensi internal itu eksis, tetapi (mereka) belum menggunakannya secara luas dalam karya-karya mereka. Menjadi adil, jelas, hal itu dikatakan kalau beberapa telah mengakui bahwa mereka tidak dapat mengerjakannya (hal itu).
Gagasan Sufi yang lain --menghasilkan sebuah problem yang banyak ditemukan tidak mungkin menggabungkan dalam pikiran-pikiran mereka-- adalah penegasan Sufi bahwa Sufisme dapat dipikirkan dalam banyak penyamaran. Kaum Sufi, dalam satu kata, secara singkat dilarang setia pada sesuatu adat kebiasaan.
Beberapa sangat dengan senang menggunakan satu format religius, lainnya puisi romantis, beberapa berhubungan dengan kelakar (humor), dongeng dan legenda, namun lainnya mempercayai bentuk-bentuk seni dan hasil-hasil dari para pengrajin.
Sekarang seorang Sufi dapat menceritakan dari pengalamannya, bahwa semua penyajian (presentasi) itu sah atau masuk akal. Tetapi orang yang bukan anggota, para literalis, bagaimanapun setianya, dia mungkin akan sering diminta kesaksian untuk mengatakan apakah para Sufi ini (atau kelompok kaum Sufi ini atau itu) adalah ahli kimia, anggota serikat pekerja, orang yang tergila-gila terhadap hal-hal religius, para joker, ilmuwan, --atau apa.
Problem ini, sementara hal itu mungkin khusus Sufisme, adalah sama sekali tidak baru. Kaum Sufi dibunuh secara hukum, diseret keluar dari rumah-rumah mereka atau disuruh membakar buku-buku mereka, karena melakukan rumusan-rumusan non-religius atau yang tidak diterima secara lokal.
Beberapa penulis Sufi klasik terbesar, dituduh melakukan bid'ah, kemurtadan, bahkan kejahatan politik. Bahkan (hari ini) mereka diserang dari semua jenis kalangan-kalangan yang setia, tidak hanya bersifat keagamaan.
Bahkan suatu pengamatan sepintas, yang dianggap asli mengenai Sufisme, menyatakan bahwa Sufisme merupakan suatu ajaran yang bersifat esoterik dalam Islam (yang karena itu dianggap sebagai kompatibel sepenuhnya), itu juga berada di belakang rumusan-rumusan yang banyak orang memperhatikan menjadi berbeda secara diam-diam dari satu orang ke orang lain.
Oleh karena itu, menurut Idries Shah, ketika "rentetan penyebaran" dari guru-guru yang ternama meluas, kembali kepada Nabi Muhammad SAW dalam garis keturunan ini atau itu dari pertalian yang digunakan oleh sebuah aliran atau guru, hal itu mungkin juga dihubungkan atau dianggap --oleh penguasa (setempat) yang sama-- sebagai garis keturunan dari seorang seperti Uwais al-Qarni (wafat pada abad ketujuh) yang tidak pernah bertemu dengan Muhammad saw di dalam hidupnya.
Suhrawardi yang dapat dipercaya, memiliki persamaan dengan (meski banyak sebelumnya) orang-orang Rosicrucia dan lainnya, secara spesifik menyatakan bahwa ini merupakan suatu bentuk kebijakan yang dikenal dan dipraktikkan dengan berhasil oleh orang-orang bijak termasuk di dalamnya Hermes kuno, yang penuh dengan rahasia, dari Mesir.
Individu lain yang tidak kurang reputasinya --Ibnu al-Farid (1181-1235)-- menekankan bahwa Sufisme terletak di belakang dan sebelum sistematisasi,-- bahwa 'anggur kami telah ada sebelum apa yang engkau sebut the grape and the vine (aliran dan sistem)': Kami telah meminum sebutan tentang Sahabat, Menggembirakan diri kami sendiri, bahkan sebelum penciptaan anggur.
Idries Shah mengatakan, tidak diragukan lagi, bahwa para darwis, calon Sufi, telah secara tradisional berkumpul bersama-sama untuk mengkaji atau belajar sisa-sisa apa saja dan ajaran yang mereka temukan ini, menunggu saat yang memungkinkan apabila seorang tokoh mungkin muncul diantara mereka, dan membuat efektif prinsip-prinsip dan praktek-praktek yang arti hidupnya telah hilang (lenyap), untuk mereka.
Teori ini ditemukan di Barat, tentu saja, di dalam Freemasonry (dengan konsepnya tentang 'Rahasia yang Hilang'). Latihan (praktik) secara layak ditegaskan sebagai contoh, di dalam buku Awarf-ul-Ma'arif dan hal itu telah dikaitkan dengan perhatiannya dalam hal-hal semacam sebagai suatu indikasi dari pengharapan messianik yang dicirikan dalam Sufisme.
Betapapun bahwa itu mungkin (dan itu mestinya suatu 'fase yang berhubungan dengan persiapan', bukan Sufisme yang sebenarnya) ada fakta-fakta atau bukti bahwa orang-orang di Eropa dan Timur Tengah, apa pun komitmen atau kepercayaan psikologis, telah dari waktu ke waktu ditetapkan dan bersemangat dalam doktrin-doktrin Sufi oleh para guru, yang kadang-kadang misterius asal-usulnya, telah berada diantara mereka.
Orang-orang ini telah berabad-abad ditunjuk atau dianggap sebagai manusia universal atau sempurna (insan al-kamil). Kasus seperti ar-Rumi dan orang-orang Syam dari Tabriz, dari Bahauddin Naqsyabandi (abad ke-14) dari Bukhara; dari Ibnu al-Arabi, yang mengajar dalam sudut pandang agama, para tokoh puisi kuno dan cinta, dan banyak lainnya yang kurang dikenal di dalam literatur Barat.
Menurut Idries Shah, problem bagi murid di sini mungkin bukan apakah bentuk 'irasional' dari kegiatan ini atau makanan-minuman dari suatu tradisi berlangsung atau tidak; melainkan kesulitan yang agak bersifat psikologis tentang penerimaan orang-orang serupa sebagai benar-benar memiliki suatu fungsi atau manfaat khusus untuk 'menyatukan kembali manik-manik tasbih dari air raksa' atau 'mengaktifkan kembali, membangunkan, aliran batin di dalam diri manusia'.
"Tetapi kita bahkan tidak memulai untuk menghitung atau menyebut satu demi satu di ladang-ladang yang mana kaum Sufi dan entitas-entitas yang terkenal, telah ditemukan oleh mereka (mereka ini belakangan menjadi suatu minoritas dari jumlah yang sebenarnya, karena Sufisme adalah tindakan, bukan institusi), telah mengamalkan bentuk-bentuk tindakan sosial, filosofis, dan lain-lain, seribu tahun lalu," katanya.
Karakter-karakter yang tampaknya bermacam-macam sebagaimana keterusterangan ar-Rumi, kesucian Chisyti, si 'mabuk Tuhan' al-Hallaj, ahli kenegaraan dari para Mujaddid, telah bekerja untuk abad-abad selanjutnya reunifikasi yang aktual dari komunitas-komunitas yang tampaknya terbagi secara tetap.
Menurutnya, karena usaha-usaha mereka ini, dan dinilai dengan standar-standar yang tidak cukup, dan sering tidak akurat dari para komentator mereka, orang-orang ini telah dituduh menjadi orang-orang Kristen (secara) rahasia, Yahudi, Hindu, Kafir, dan penyembah matahari.
Ketika para pendukung Bektasli menggunakan nomer (angka) duabelas, dan diberi --seperti al-Arabi dan ar-Rumi-- mitos-mitos orang Kristen, suatu tempat yang tinggi dalam ajaran-ajaran mereka.
Hal itu telah (dan tetap) dianggap bahwa mereka memupuk modal atau memberi modal pada daerah yang terdapat banyak orang Kristen tanpa suatu kepemimpinan efektif.
Validitas tindakan ini menunggu pembuktian dari jawaban Sufi bahwa orang-orang Kristen, seperti juga lainnya, rumusan-rumusan mengandung suatu ukuran berharga mengenai pemikiran (yang dalam) 'dalam keadaan yang cocok atau pantas' dapat diterapkan kepada manusia.
Para pengikut Haji Bektash (wafat 1337) telah dan tetap dalam beberapa tempat, dianggap sebagai amoral, karena praktek mereka mengijinkan kaum perempuan pada pertemuan-pertemuan mereka.
Tidak ada seorang pun yang dapat, atau akan mengerti mereka ketika mereka mengatakan bahwa hal itu (adalah) penting atau tak dapat dihindarkan, untuk mengenakan kembali 'pakaian' keseimbangan sosial, dari suatu masyarakat yang didasarkan atas supremasi kaum laki-laki.
'Pengembalian kedudukan sosial kaum perempuan' dengan mudah disuarakan, hingga belum lama berselang hal itu menjadi suatu tujuan yang 'dapat diterima' seperti sebuah jubah atau selubung untuk pesta yang memabukkan.
Tidak ada seorang pun yang mempunyai kedudukan sosial, bahkan di abad ke-19 dan awal abad ke-20, menyusahkan diri sendiri untuk melihat pada tuntutan, yang dibuat oleh laki-laki seperti Sufi Turki yang terpelajar dan Zia Gokalp yang ternama, bahwa para penulis Sufi pada abad-abad yang lalu, memiliki garis besar dan menggunakan teori-teori yang belakangan diidentifikasi dengan nama-nama dari Berkeley, Kant, Foullee, Gruyeau, Nietzsche, dan William James.
"Hal ini membawa kita kepada proyeksi Sufi lain yang penting, sesuatu yang menyebabkan teka-teki --dan bahkan kegusaran-- pada beberapa macam orang tertentu, tetapi sekalipun demikian harus dihadapi," ujar Idries Shah.
Hal itu adalah tuntutan bahwa apabila kegiatan Sufistik menjadi terpusat pada satu pokok, atau satu komunitas dalam suatu bentuk yang sangat aktif dan 'sebenarnya' (bukan tiruan), juga dikerjakan hanya untuk waktu terbatas dan tujuan-tujuan berbeda.
Inilah tipe orang yang mengatakan, 'Saya ingin hal itu di sini dan sekarang atau tidak sama sekali,' yang tidak menyukai pernyataan ini.
Mengajukan cara lain, gagasan bahwa tidak pernah ada masyarakat yang sempurna, juga tidak kebutuhan-kebutuhannya secara pasti, sama seperti masyarakat-masyarakat lain.
"Tidak ada seorang Sufi yang bermaksud menegakkan sebuah institusi yang berlangsung secara terus menerus. Bentuk luar di mana dia menanamkan gagasan-gagasannya adalah suatu kendaraan singkat atau wahana yang didiami sementara, dirancang untuk operasi lokal. Bahwa hal itu berlangsung lama, ia berkata, adalah dalam wilayah lain," demikian Idries Shah.
Idries Shah dalam buku berjudul "The Way of the Sufi" dan diterjemahkan Joko S. Kahhar dan Ita Masyitha menjadi "Reportase Dunia Ma'rifat" (Risalah Gusti, 1999) menjelaskan ini untuk sebuah permulaan (awal), bukan sebuah konsep yang mana secara instan direkomendasikan tersendiri untuk orang terpelajar. Hal ini bukanlah persoalan baru.
Pada abad ke-11, Muhammad al-Ghazali (Algazel) yang telah memelihara (menyelamatkan) para teolog Muslim dari penafsiran materi-materi yang berhubungan dengan Islam dalam suatu cara serupa --sebagaimana menggagalkan serangan filsafat Yunani, yang diinformasikan para sarjana Yunani-- bahwa mode ilmu pengetahuan mereka lebih rendah mutunya daripada yang diperoleh melalui praktik-praktik Sufi .
Mereka menjadikan dirinya sebagai pahlawan mereka, dan para pewaris mereka tetap mengajarkan penafsiran-penafsirannya sebagai Islam ortodoks, meskipun pernyataannya bahwa metode akademis adalah tidak cukup dan kurang bermutu untuk ilmu pengetahuan yang sebenarnya (sejati).
Kemudian Jalaluddin Rumi, penyair dan mistikus besar, yang mengatakan kepada pendengarnya bahwa seperti seorang tuan rumah yang baik, ia telah memberi mereka puisi karena mereka membutuhkannya, untuk melengkapi apa yang ditanyakan.
Tetapi, ia melanjutkan, puisi adalah tak berharga dibanding dengan suatu perkembangan penting tertentu dari individu. Hampir tujuhratus tahun ia masih dapat melukai orang-orang dengan kata-kata ini.
Tak berapa lama kemudian, seorang pengulas dalam sebuah koran Inggris yang memiliki reputasi baik, juga merasa terhina dengan bagian ini (di mana dia menemukan dalam sebuah terjemahan), bahwa dia berkata, "Ar-Rumi mungkin berpikir bahwa puisi adalah omong kosong. Saya pikir bahwa puisinya adalah omong kosong dalam terjemahan ini."
Tetapi gagasan-gagasan Sufi, kata Idries Shah, diambil dari sikap tersebut, tidak pernah dimaksudkan untuk menantang manusia, hanya untuk memberinya atau melengkapinya dengan suatu tujuan yang lebih tinggi, untuk mempertahankan konsepsinya bahwa mungkin ada beberapa fungsi (manfaat) dari pikiran yang dihasilkan sebagai contoh para tokoh besar Sufi. "Yang tak dapat dielakkan adalah orang-orang yang bertabrakan dengan gagasan ini," kata Idries Shah.
Hal itu karena kelaziman dari reaksi ini, bahwa kaum Sufi mengatakan, kalau orang tidak benar-benar menginginkan pengetahuan bahwa pernyataan-pernyataan Sufisme menjadi dapat tertanam: mereka sesungguhnya hanya mencari kepuasan hati mereka sendiri, di dalam sistem berpikir mereka.
Tetapi Sufi menuntut dengan tegas: "Waktu yang singkat berada di hadapan teman-teman (kaum Sufi) adalah lebih baik daripada seratus tahun pengabdian yang tulus, dan patuh." (Ar-Rumi).
Sufisme juga menyatakan bahwa manusia mungkin (mampu) menjadi obyektif, dan obyektivitas tersebut memungkinkan individu memahami fakta-fakta yang 'lebih tinggi'. Manusia oleh karena itu diundang untuk mencoba mendorong evolusinya mendahului terhadap apa yang kadang disebut di dalam Sufisme 'akal budi yang sesungguhnya' (real intellect).
Kaum Sufi beranggapan, bahwa jauh dari pengetahuan ini di dalam buku-buku yang ada, bagian terbesar dari hal itu harus dikomunikasikan secara personal dengan memakai suatu interaksi antara guru dan murid. Sangat banyak perhatian pada halaman-halaman tertulis, mereka menegaskan, bahkan dapat berbahaya.
Inilah persoalan selanjutnya; karena hal itu muncul untuk menentang sarjana atau pelajar tak kurang daripada anggota komunitas modern terpelajar yang merasa, jika pada waktu itu hanya secara bawah sadar, bahwa semua ilmu pengetahuan sudah tentu ada di dalam buku-buku.
Kendati demikian, kaum Sufi telah bekerja keras dalam waktu yang lama untuk menyadur kata-kata yang tertulis guna menyampaikan bagian-bagian tertentu dari apa yang mereka ajarkan.
Hal ini telah membawa kepada penggunaan materi-materi yang dimanipulasi dan ditulis dalam kode --tidak dirancang secara khusus atau selalu untuk menyelubungi arti yang sebenarnya, tetapi bermaksud untuk memperlihatkan apabila membaca sandi, bahwa apakah yang terlihat di permukaan tampak seperti sebuah syair yang lengkap, dongeng, cerita yang dibuat-buat, risalah dan sebagainya, mudah atau rentan terkena interpretasi lain: suatu peragaan yang demikian itu analog dengan efek sebuah kaleidoskopis.
Menurut Idires Shah, apabila kaum Sufi menggambar diagram-diagram untuk tujuan serupa itu, para penjiplak cenderung menyalinnya belaka, dan menggunakannya pada tingkat pengertian mereka sendiri.
Baca Juga
Merangsang Pemikiran
Teknik Sufi yang lain melengkapi problem selanjutnya. Banyak bagian-bagian, bahkan seluruh buku-buku atau rentetan pernyataan-pernyataan Sufi yang tegas, dirancang untuk merangsang pemikiran bahkan kadang-kadang dengan metode mengembangkan kritikisme yang sehat.
Dokumen-dokumen ini sangat sering diambil oleh para murid literalis mereka sebagai cara menerjemahkan yang seberiamya terhadap kepercayaan-kepercayaan yang dipegang oleh para penulisnya.
Di Barat umumnya, kata Idries Shah, kita memiliki banyak atau lebih dari cukup terjemahan. Kebanyakan cara penterjemahan adalah sesuai dengan aslinya terhadap hanya satu faset dari teks-teks multidimensional.
Para murid Barat, sesungguhnya tahu bahwa dimensi-dimensi internal itu eksis, tetapi (mereka) belum menggunakannya secara luas dalam karya-karya mereka. Menjadi adil, jelas, hal itu dikatakan kalau beberapa telah mengakui bahwa mereka tidak dapat mengerjakannya (hal itu).
Gagasan Sufi yang lain --menghasilkan sebuah problem yang banyak ditemukan tidak mungkin menggabungkan dalam pikiran-pikiran mereka-- adalah penegasan Sufi bahwa Sufisme dapat dipikirkan dalam banyak penyamaran. Kaum Sufi, dalam satu kata, secara singkat dilarang setia pada sesuatu adat kebiasaan.
Beberapa sangat dengan senang menggunakan satu format religius, lainnya puisi romantis, beberapa berhubungan dengan kelakar (humor), dongeng dan legenda, namun lainnya mempercayai bentuk-bentuk seni dan hasil-hasil dari para pengrajin.
Sekarang seorang Sufi dapat menceritakan dari pengalamannya, bahwa semua penyajian (presentasi) itu sah atau masuk akal. Tetapi orang yang bukan anggota, para literalis, bagaimanapun setianya, dia mungkin akan sering diminta kesaksian untuk mengatakan apakah para Sufi ini (atau kelompok kaum Sufi ini atau itu) adalah ahli kimia, anggota serikat pekerja, orang yang tergila-gila terhadap hal-hal religius, para joker, ilmuwan, --atau apa.
Baca Juga
Problem ini, sementara hal itu mungkin khusus Sufisme, adalah sama sekali tidak baru. Kaum Sufi dibunuh secara hukum, diseret keluar dari rumah-rumah mereka atau disuruh membakar buku-buku mereka, karena melakukan rumusan-rumusan non-religius atau yang tidak diterima secara lokal.
Beberapa penulis Sufi klasik terbesar, dituduh melakukan bid'ah, kemurtadan, bahkan kejahatan politik. Bahkan (hari ini) mereka diserang dari semua jenis kalangan-kalangan yang setia, tidak hanya bersifat keagamaan.
Bahkan suatu pengamatan sepintas, yang dianggap asli mengenai Sufisme, menyatakan bahwa Sufisme merupakan suatu ajaran yang bersifat esoterik dalam Islam (yang karena itu dianggap sebagai kompatibel sepenuhnya), itu juga berada di belakang rumusan-rumusan yang banyak orang memperhatikan menjadi berbeda secara diam-diam dari satu orang ke orang lain.
Oleh karena itu, menurut Idries Shah, ketika "rentetan penyebaran" dari guru-guru yang ternama meluas, kembali kepada Nabi Muhammad SAW dalam garis keturunan ini atau itu dari pertalian yang digunakan oleh sebuah aliran atau guru, hal itu mungkin juga dihubungkan atau dianggap --oleh penguasa (setempat) yang sama-- sebagai garis keturunan dari seorang seperti Uwais al-Qarni (wafat pada abad ketujuh) yang tidak pernah bertemu dengan Muhammad saw di dalam hidupnya.
Suhrawardi yang dapat dipercaya, memiliki persamaan dengan (meski banyak sebelumnya) orang-orang Rosicrucia dan lainnya, secara spesifik menyatakan bahwa ini merupakan suatu bentuk kebijakan yang dikenal dan dipraktikkan dengan berhasil oleh orang-orang bijak termasuk di dalamnya Hermes kuno, yang penuh dengan rahasia, dari Mesir.
Baca Juga
Individu lain yang tidak kurang reputasinya --Ibnu al-Farid (1181-1235)-- menekankan bahwa Sufisme terletak di belakang dan sebelum sistematisasi,-- bahwa 'anggur kami telah ada sebelum apa yang engkau sebut the grape and the vine (aliran dan sistem)': Kami telah meminum sebutan tentang Sahabat, Menggembirakan diri kami sendiri, bahkan sebelum penciptaan anggur.
Idries Shah mengatakan, tidak diragukan lagi, bahwa para darwis, calon Sufi, telah secara tradisional berkumpul bersama-sama untuk mengkaji atau belajar sisa-sisa apa saja dan ajaran yang mereka temukan ini, menunggu saat yang memungkinkan apabila seorang tokoh mungkin muncul diantara mereka, dan membuat efektif prinsip-prinsip dan praktek-praktek yang arti hidupnya telah hilang (lenyap), untuk mereka.
Teori ini ditemukan di Barat, tentu saja, di dalam Freemasonry (dengan konsepnya tentang 'Rahasia yang Hilang'). Latihan (praktik) secara layak ditegaskan sebagai contoh, di dalam buku Awarf-ul-Ma'arif dan hal itu telah dikaitkan dengan perhatiannya dalam hal-hal semacam sebagai suatu indikasi dari pengharapan messianik yang dicirikan dalam Sufisme.
Betapapun bahwa itu mungkin (dan itu mestinya suatu 'fase yang berhubungan dengan persiapan', bukan Sufisme yang sebenarnya) ada fakta-fakta atau bukti bahwa orang-orang di Eropa dan Timur Tengah, apa pun komitmen atau kepercayaan psikologis, telah dari waktu ke waktu ditetapkan dan bersemangat dalam doktrin-doktrin Sufi oleh para guru, yang kadang-kadang misterius asal-usulnya, telah berada diantara mereka.
Orang-orang ini telah berabad-abad ditunjuk atau dianggap sebagai manusia universal atau sempurna (insan al-kamil). Kasus seperti ar-Rumi dan orang-orang Syam dari Tabriz, dari Bahauddin Naqsyabandi (abad ke-14) dari Bukhara; dari Ibnu al-Arabi, yang mengajar dalam sudut pandang agama, para tokoh puisi kuno dan cinta, dan banyak lainnya yang kurang dikenal di dalam literatur Barat.
Menurut Idries Shah, problem bagi murid di sini mungkin bukan apakah bentuk 'irasional' dari kegiatan ini atau makanan-minuman dari suatu tradisi berlangsung atau tidak; melainkan kesulitan yang agak bersifat psikologis tentang penerimaan orang-orang serupa sebagai benar-benar memiliki suatu fungsi atau manfaat khusus untuk 'menyatukan kembali manik-manik tasbih dari air raksa' atau 'mengaktifkan kembali, membangunkan, aliran batin di dalam diri manusia'.
"Tetapi kita bahkan tidak memulai untuk menghitung atau menyebut satu demi satu di ladang-ladang yang mana kaum Sufi dan entitas-entitas yang terkenal, telah ditemukan oleh mereka (mereka ini belakangan menjadi suatu minoritas dari jumlah yang sebenarnya, karena Sufisme adalah tindakan, bukan institusi), telah mengamalkan bentuk-bentuk tindakan sosial, filosofis, dan lain-lain, seribu tahun lalu," katanya.
Karakter-karakter yang tampaknya bermacam-macam sebagaimana keterusterangan ar-Rumi, kesucian Chisyti, si 'mabuk Tuhan' al-Hallaj, ahli kenegaraan dari para Mujaddid, telah bekerja untuk abad-abad selanjutnya reunifikasi yang aktual dari komunitas-komunitas yang tampaknya terbagi secara tetap.
Menurutnya, karena usaha-usaha mereka ini, dan dinilai dengan standar-standar yang tidak cukup, dan sering tidak akurat dari para komentator mereka, orang-orang ini telah dituduh menjadi orang-orang Kristen (secara) rahasia, Yahudi, Hindu, Kafir, dan penyembah matahari.
Ketika para pendukung Bektasli menggunakan nomer (angka) duabelas, dan diberi --seperti al-Arabi dan ar-Rumi-- mitos-mitos orang Kristen, suatu tempat yang tinggi dalam ajaran-ajaran mereka.
Baca Juga
Hal itu telah (dan tetap) dianggap bahwa mereka memupuk modal atau memberi modal pada daerah yang terdapat banyak orang Kristen tanpa suatu kepemimpinan efektif.
Validitas tindakan ini menunggu pembuktian dari jawaban Sufi bahwa orang-orang Kristen, seperti juga lainnya, rumusan-rumusan mengandung suatu ukuran berharga mengenai pemikiran (yang dalam) 'dalam keadaan yang cocok atau pantas' dapat diterapkan kepada manusia.
Para pengikut Haji Bektash (wafat 1337) telah dan tetap dalam beberapa tempat, dianggap sebagai amoral, karena praktek mereka mengijinkan kaum perempuan pada pertemuan-pertemuan mereka.
Tidak ada seorang pun yang dapat, atau akan mengerti mereka ketika mereka mengatakan bahwa hal itu (adalah) penting atau tak dapat dihindarkan, untuk mengenakan kembali 'pakaian' keseimbangan sosial, dari suatu masyarakat yang didasarkan atas supremasi kaum laki-laki.
'Pengembalian kedudukan sosial kaum perempuan' dengan mudah disuarakan, hingga belum lama berselang hal itu menjadi suatu tujuan yang 'dapat diterima' seperti sebuah jubah atau selubung untuk pesta yang memabukkan.
Tidak ada seorang pun yang mempunyai kedudukan sosial, bahkan di abad ke-19 dan awal abad ke-20, menyusahkan diri sendiri untuk melihat pada tuntutan, yang dibuat oleh laki-laki seperti Sufi Turki yang terpelajar dan Zia Gokalp yang ternama, bahwa para penulis Sufi pada abad-abad yang lalu, memiliki garis besar dan menggunakan teori-teori yang belakangan diidentifikasi dengan nama-nama dari Berkeley, Kant, Foullee, Gruyeau, Nietzsche, dan William James.
"Hal ini membawa kita kepada proyeksi Sufi lain yang penting, sesuatu yang menyebabkan teka-teki --dan bahkan kegusaran-- pada beberapa macam orang tertentu, tetapi sekalipun demikian harus dihadapi," ujar Idries Shah.
Hal itu adalah tuntutan bahwa apabila kegiatan Sufistik menjadi terpusat pada satu pokok, atau satu komunitas dalam suatu bentuk yang sangat aktif dan 'sebenarnya' (bukan tiruan), juga dikerjakan hanya untuk waktu terbatas dan tujuan-tujuan berbeda.
Inilah tipe orang yang mengatakan, 'Saya ingin hal itu di sini dan sekarang atau tidak sama sekali,' yang tidak menyukai pernyataan ini.
Mengajukan cara lain, gagasan bahwa tidak pernah ada masyarakat yang sempurna, juga tidak kebutuhan-kebutuhannya secara pasti, sama seperti masyarakat-masyarakat lain.
"Tidak ada seorang Sufi yang bermaksud menegakkan sebuah institusi yang berlangsung secara terus menerus. Bentuk luar di mana dia menanamkan gagasan-gagasannya adalah suatu kendaraan singkat atau wahana yang didiami sementara, dirancang untuk operasi lokal. Bahwa hal itu berlangsung lama, ia berkata, adalah dalam wilayah lain," demikian Idries Shah.
(mhy)