4 Bidang Utama Sasaran Hukum Islam Menurut KH Ali Yafie

Sabtu, 04 Maret 2023 - 11:44 WIB
loading...
4 Bidang Utama Sasaran...
Prof KH Ali Yafie. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Profesor Kiai Haji Ali Yafie (wafat: 25 Februari 2023) dalam buku "Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah" saat membahas konsep-konsep hukum Islam menyatakan penjabaran yang merinci hukum-hukum al-Qur'an memperlihatkan adanya empat bidang utama yang menjadi sasaran dari hukum itu, yakni bidang ibadat, bidang mu'amalat, bidang munakahat dan bidang jinayat.

Hubungan manusia sebagai makhluk dengan Khaliqnya (Allah), katanya, diatur penataannya melalui hukum ibadat. Tata hubungan antara manusia dengan sesamanya dalam lalulintas pergaulan dan hubungan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, diatur dalam hukum mu'amalat.

Tata hubungan manusia dalam kehidupan berkeluarga dalam suatu lingkungan rumah tangga, diatur melalui hukum munakahat, dan terakhir tata hubungan keselamatan, keamanan serta kesejahteraannya yang ditegakkan oleh pemegang kekuasaan umum atau badan peradilan, diatur melalui hukum jinayat.

Adanya hukum--ibadat dalam batang tubuh hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an itu merupakan ciri utama hukum Islam. Ibadat tidak lain adalah perwujudan dari akidah yang diimani.

Di sinilah terlihat secara nyata keterkaitan hukum itu dengan akidah/keimanan. Hubungan antara makhluk (manusia) dengan Al-Khaliq, diatur secara pasti.



Menurut Kiai Ali Yafie, adanya hukum niat yang diberi peran menentukan nilai perilaku manusia, memperlihatkan dengan jelas peran moral dalam hukum itu. Di sini pula tampak titik awal perbedaan antara pemahaman hukum menurut ilmu hukum dengan hukum Islam yang bersumber dari al-Qur'an.

Menurut ilmu hukum, hukum itu hanya sekadar mengurus dan mengatur hubungan antar sesama manusia. Di luar itu tidak diperlukan hukum.

Selain itu, masih ada perbedaan asasi antara kedua jenis hukum itu. Menurut ilmu hukum, hukum itu terdiri dari suruhan/perintah dan larangan serta hak dan kewajiban. Apa yang dimaksud dengan nilai moral dan akhlak tidaklah tergolong hukum.

Dengan demikian tidaklah mengherankan akibatnya dalam rangka pembinaan hukum, hanya diarahkan supaya tidak melanggar rambu-rambu hukum. Kepatuhan mentaati hukum menjadi kepatuhan yang semu dan bersifat lahiriah belaka.

Sebaliknya, kata Kiai Ali Yafie, hukum menurut ajaran al-Qur'an penegakannya berjalan sekaligus dengan penabinaan moral dan akhlak yang bersumber dari akidah/keimanan. Karena itu penegakan hukum menurut ilmu hukum selama tidak diawasi dan diketahui pejabat/aparat hukum selalu terjadi pelanggaran hukum.



Pembinaan hukum di sini tidak diarahkan kepada pembinaan diri manusianya. Dalam penegakan hukum menurut ajaran al-Qur'an selalu ditekankan suatu pesan sebagai berikut:

۞ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ ۚ اِنْ يَّكُنْ غَنِيًّا اَوْ فَقِيْرًا فَاللّٰهُ اَوْلٰى بِهِمَاۗ فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوٰٓى اَنْ تَعْدِلُوْا ۚ وَاِنْ تَلْوٗٓا اَوْ تُعْرِضُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرًا

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia (yang terdakwa) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan (kebaikannya). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan." ( QS An-Nisa : 135)

"Itulah pesan al-Qur'an, bagaimana seyogyanya seorang berbuat adil. Tidak dituntut dari dan terhadap orang lain saja, yang pertama ialah dari dan terhadap dirinya sendiri," ujar Kiai Ali Yafie.

Kemungkinan seorang pencari keadilan berlaku memperdaya hakim, atau adanya aparat hukum yang menyalahgunakan kedudukannya, secara dini al-Qur'an memperingatkan:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." ( QS Al-Baqarah : 188)



Menurut Kiai Ali Yafie, dalam hubungan adanya kemungkinan seseorang berlaku memperdayakan hakim, sunnah Rasulullah memperjelas sebagai berikut:

"Sesungguhnya kalian mengajukan perkara-perkara kepadaku (untuk diputus). Mungkin sebagian dari kalian lebih mampu dari yang lain (lawannya) mengemukakan alasan-alasan untuk memperkuat tuntutannya, lalu aku memutus perkara itu atas dasar apa yang saya dengar (dari alasan/keterangan) itu. Maka barangsiapa menerima putusan perkara (yang ia sendiri tahu) bahwa itu hak saudaranya (lawannya dalam perkara) maka janganlah ia mengambil (hak) itu. Karena sesungguhnya ia hanya mengambil (menerima dariku) sepotong api neraka."

Dengan demikian maka jelaslah, al-Qur'an memperkenalkan satu konsepsi hukum yang bersifat integral. Di dalamnya terpadu antara sunnatullah dengan sunnah Rasulullah, sebagaimana terpadunya antara aqidah/keimanan dan moral/akhlak, dengan hukum dalam rumusan yang diajarkan al-Qur'an.

Dengan sifatnya yang demikian itu, kata Kiai Ali Yafie, maka hukum dari ajaran al-Qur'an itu mempunyai kekuatan sendiri yang tidak sepenuhnya tergantung pada adanya suatu kekuasaan sebagai kekuatan pemaksa dari luar hukum itu.



Ide hukum yang diajarkan al-Qur'an berkembang terus dari kurun ke kurun, melalui jalur ilmu. Seandainya hukum yang diajarkan al-Qur'an itu tergantung pada suatu kekuasaan, maka sudah lama jenis hukum ini terkubur dalam perut sejarah atau sekurang-kurangnya menjadi barang pajangan di lemari-lemari museum.

Karena kita semua cukup mengetahui betapa hebat upaya dari kekuasaan-kekuasaan yang mampu menaklukkan wilayah-wilayah Islam dan umatnya disertai upaya melikuidasi budaya dan hukumnya. Tapi ternyata hukum Islam dari ajaran al-Qur'an itu dapat memperlihatkan daya tahannya yang ampuh.

Ia tetap bertahan bahkan berkembang dalam bentuk baru melalui proses taqnin (dirumuskan menjadi positif melalui yurisprudensi dan adakalanya melalui berbagai bentuk perundang-undangan).

Di lain pihak, perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, yang terjadi di negara-negara maju dapat pula mencari pandangan yang negatif terhadap Islam dan al-Qur'an, yang sangat mendominasi bangsa-bangsa Barat.

Salah satu gejala dari perkembangan tersebut adalah minat para ilmuwan Barat untuk mempelajari Islam/Qur'an, sebagai ilmu. Dalam rangka itu para ahli hukum dari mereka, dari kongres ke kongres mulai terbuka pandangan terhadap Islam, yang tidak lain wujud nyatanya dan terinci adalah fiqih (hukum Islam) itu sendiri. Maka Fiqih ini dijadikan agenda tetap dalam pengkajian-pengkajian mereka di bidang hukum.



Menurut Kiai Ali Yafie, sebagai contoh dapat kita lihat dari hasil Kongres Ahli-ahli Hukum Internasional yang berlangsung di London (2-7 Juli 1951) yang antara lain menetapkan, pokok-pokok hukum (undang-undang) yang terdapat dalam agama Islam merupakan undang-undang yang bernilai tinggi dan sulit dibantah kebenarannya.

Di samping itu, adanya berbagai madrasah dan mazhab di dalamnya menunjukkan, perundang-undangan Islam kaya dengan berbagai teori hukum dan teknik hukum yang indah, sehingga perundang-undangan ini dapat memenuhi kebutuhan hidup modern.
(mhy)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3789 seconds (0.1#10.24)