Perkembangan Salat Tarawih yang Dipraktikkan Khulafaur Rasyidin

Minggu, 26 Maret 2023 - 15:26 WIB
loading...
A A A
Dalam perkembangannya, ternyata Imam yang ditentukan oleh Umar bukan saja 2; Ubai bin Ka’ab dan Tamim Al-Daariy, tapi lebih banyak dari itu. Bahkan Khalifah Umar mengumpulkan para qari-qari untuk bergiliran menjadi imam qiyam Ramadan di masjid Nabawi.

Lama waktu salat pun ikut berubah. Itu diawali dengan perubahan jumlah ayat yang dibaca; karena memang itulah sebab lamanya salat. Umar setelahnya memerintahkan imam-imam salat yang dipilih itu untuk membaca ayat al-Qur’an dalam satu rakaat hanya 50 sampai 60 ayat.



Dalam perkembangannya (lagi), Umar memerintahkan para imam membaca dalam satu rakaat hanya 20 sampai 30 ayat saja. Hal ini tentu saja memangkas waktu salat menjadi lebih cepat dari sebelum-sebelumnya.

Bahkan dari kitab yang sama juga, Imam al-Marwadzi meriwayatkan bahwa salat di zaman Umar akhirnya menjadi sangat ringan karena mereka masih sempat istirahat dan tidur setelah isya sekitar seperempat malam.

Dan 2/4 mereka gunakan untuk salat dan di ¼ terakhir mereka bisa santap sahur. Dan jumlah ayat yang dibaca pun berkurang, dengan jumlah rakaat yang ditambah. Untuk kali ini, ayat yang dibaca dalam satu rakaat hanya 5 sampai 6 ayat. Dan jumlah rakaat bertambah menjadi 18 rakaat Qiyam Ramadan yang sebelumnya 8 dan juga 13 rakaat.

Ini proses yang dilalui orang umat Islam ketika Umar menjabat sebagai khalifah. Dari mulai salat yang lama dan panjang dengan jumlah rakaat yang sedikit. Lalu kemudian menjadi salat malam yang ringan dengan jumlah rakaat yang lebih banyak.

Era Khalifah Utsman bin Affan

Tata cara salat malam di bulan Ramadan pada era Khalifah Usman bin Affan melanjutkan tradisi yang telah dikembangkan Sayyidina Umar bin Khattab. Kala itu, para sahabat tidak ada yang menolak. Tidak sedikit ulama yang menyebut bahwa format tarawih dengan berjamaah dan 20 rakaat ditambah menjadi 23 rakaat plus witir itu adalah sebuah ijma’ alias konsensus.

Menurut Ahmad Zarkasih. perbedaan yang ada antara Utsman dan Umar hanyalah terjadi pada posisi imam. Pada zaman Utsman, posisi imam lebih banyak ditempati oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Setidaknya, beliau menjadi Imam pada masa Utsman hanya 20 malam saja. Sisanya beliau menyendiri memaksimalkan malam 10 akhir ramadan.



Selanjutnya, 10 malam terakhir di masjid dipimpin oleh Abu Halimah Muadz al-Qari’. Begitu riwayat yang direkam oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunannya: Dari Hasan, beliau berkata: Ali bin Abi Thalib menjadi Imam pada zaman Utsman bin ‘Affan selama 20 malam. Kemudian menyendiri. Beberapa orang menyebut, beliau (Ali) beribadah sendiri. Kemudian (10 malam terakhir) diteruskan oleh Abu Halimah Mu’adz al-Qari’ , dan beliau membaca Qunut (di salat witir). (HR al-Baihaqi)

Jika tadinya Umar mengumpulkan banyak imam untuk saling bergantian menjadi imam, sedangkan Utsman tidak melelang posisi ini. Beliau hanya memberikan posisi itu kepada 2 orang, yakni Ali bin Abi Thalib sebagai Imam utama dan penggantinya di 10 terakhir adalah Abu Halimah Mu’adz al-Qari’.

Hal yang juga menjadi corak khas zaman Utsman menjadi khalifah dan menjadi pembeda serta juga bisa dikatakan sebagai tradisi baru yang dijalankan adanya doa Khatmul-Qur’an di ujung salat tarawih.

Dan di akhir rakaat, yakni rakaat ke 20, dibacakan surat terakhir; al-Naas yang kemudian disusul dengan doa khatam Qur’an sebelum ruku’. Ini yang kita dapati dari beberapa riwayat termasuk riwayat yang disebutkan oleh Imam Ibn Qudamah; salah satu ulama al-Hanabilah, dalam kitabnya yang Masyhur; al-Mughni (2/125).

Hanbal mengatakan: aku mendengar Imam Ahmad berkata pada masalah Khatam Qur’an: “Jika kalian selesai membaca qul ‘Audzu birabbinNaas, angkatlah tangamu untuk berdosa sebelum ruku’. Aku mengatakan: kepada siapa kau mengikuti hal ini? Beliau (Imam Ahmad) menjawab: aku melihat orang-orang Makkah mengerjakan ini dan Sufyan bin ‘Uyaynah juga mengerjakannya di Mekkah. Abbas bin Abdul ‘Adzim mengatakan: seperti itu kami mendapati orang Makkah dan juga orang Bashrah. Dan orang-orang Madinah mencontoh itu karena disebutkan itu dilakukan sejak zaman Utsman bin ‘Affan.



Itu juga berarti bahwa apa yang dianjurkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal itu adalah sesuatu yang memang sudah dikerjakan oleh penduduk 3 kota ulama-ulama Islam; Makkah, Madinah dan Bashrah. Dan ketiganya itu melakukan sebab didahului oleh apa yang dikerjakan dan terjadi di zaman Sayyidina Utsman bin ‘Affan. Hanya saja memang tidak diketahui dengan pasti, apakah khatam Quran itu dilakukan di setiap malam atau hanya dikerjakan di akhir Ramadan, yakni di malam terakhir tarawih.

Era Khalifah Ali bin Abi Thalib

Pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah, format salat tarawih tidak berubah. Bedanya, tentu saja pada posisi imam. Dan memang posisi itulah yang selalu pasti terjadi rotasi dari khalifah ke khalifah yang lain.

Pada zaman Ali, salat tarawih tetap 20 rakaat dengan 3 rakaat witir, dikerjakan berjamaah di masjid, dan yang menjadi imam adalah imam yang lulus seleksi audisi yang dilakukan oleh Khalifah.

Dalam riwayat Imam al-Baihaqi dalam kitab Sunan-nya, disebutkan bahwa Khalifah Ali memanggil para Qurra’ (jamak Qari’) untuk dipilih salah satu di antara mereka memimpin salat di Masjid Nabawi. Tapi itu hanya untuk 20 rakaat tarawih. Sedangkan witir, Khalifah Ali sendiri yang menjadi imam.



Perubahan kedua yang terjadi dan dilakukan oleh Khalifah Ali adalah format tarwiih, yakni jeda istirahat. Dulu, di masa Umar menjabat, tarwiih itu ada di setiap selesai 2 rakaat. Artinya, dalam 20 rakaat, istirahat ada 10 kali. Sedangkan di zaman Ali, format tarwiih berubah. Beliau hanya mengizinkan tarwiih dari 20 rakaat itu hanya 5 kali. Artinya bahwa tarwiih tidak dilakukan setiap selesai 2 rakaat, melainkan setiap 4 rakaat.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2726 seconds (0.1#10.140)