Quraish Shihab: Al-Quran Tidak Sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan
loading...
A
A
A
Al-Quran Al-Karim , yang terdiri atas 6.236 ayat itu, menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian-uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut ayat-ayat kawniyyah. Tidak kurang dari 750 ayat yang secara tegas menguraikan hal-hal di atas. Jumlah ini tidak termasuk ayat-ayat yang menyinggungnya secara tersirat.
"Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan , atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah," ujar Prof Dr M Quraish Shihab MA dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).
Menurutnya, ketika Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i ( QS 16 :89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran".
Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi, Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku ( QS 26 :80). Tuhan tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya.
Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir Al-Qur'an.
Menurut Quraish Shihab, di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. "Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?" ujarnya.
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas.
"Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka."
Quraish Shihab mengatakan ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.
"Tetapi, kendatipun terdapat sekian banyak ayat tersebut, bukan berarti bahwa Al-Quran sama dengan Kitab Ilmu Pengetahuan , atau bertujuan untuk menguraikan hakikat-hakikat ilmiah," ujar Prof Dr M Quraish Shihab MA dalam bukunya berjudul " Membumikan Al-Quran , Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat" (Mizan, 1996).
Menurutnya, ketika Al-Quran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay'i ( QS 16 :89), bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Al-Quran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.
Al-Ghazali dinilai sangat berlebihan ketika berpendapat bahwa "segala macam ilmu pengetahuan baik yang telah, sedang dan akan ada, kesemuanya terdapat dalam Al-Quran".
Dasar pendapatnya ini antara lain adalah ayat yang berbunyi, Pengetahuan Tuhan kami mencakup segala sesuatu (QS 7:89). Dan bila aku sakit Dialah Yang Menyembuhkan aku ( QS 26 :80). Tuhan tidak mungkin dapat mengobati kalau Dia tidak tahu penyakit dan obatnya.
Dari ayat ini disimpulkan bahwa pasti Al-Quran, yang merupakan Kalam/Firman Allah, juga mengandung misalnya disiplin ilmu kedokteran. Demikian pendapat Al-Ghazali dalam Jawahir Al-Qur'an.
Menurut Quraish Shihab, di sini, dia mempersamakan antara ilmu dan kalam, dua hal yang pada hakikatnya tidak selalu seiring. "Bukankah tidak semua apa yang diketahui dan diucapkan?! Bukankah ucapan tidak selalu menggambarkan (seluruh) pengetahuan?" ujarnya.
Al-Syathibi, yang bertolak belakang dengan Al-Ghazali, juga melampaui batas kewajaran ketika berpendapat bahwa "Para sahabat tentu lebih mengetahui tentang kandungan Al-Quran" --tetapi dalam kenyataan tidak seorang pun di antara mereka yang berpendapat seperti di atas.
"Kita," kata Al-Syathibi lebih jauh, "tidak boleh memahami Al-Quran kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka."
Quraish Shihab mengatakan ulama ini seakan-akan lupa bahwa perintah Al-Quran untuk memikirkan ayat-ayatnya tidak hanya tertuju kepada para sahabat, tetapi juga kepada generasi-generasi sesudahnya yang tentunya harus berpikir sesuai dengan perkembangan pemikiran pada masanya masing-masing.
(mhy)