Salat di Hotel Lebih Utama Bagi Jemaah Haji Lansia daripada Masjidil Haram, Ini Hukumnya
loading...
A
A
A
Salat di Masjidil Haram merupakan impian setiap jemaah haji. Sebab salat di masjid tersebut setara dengan 100.000 kali salat di masjid biasa. Keutamaan salat di Masjidil Haram ini memang tertuang dalam hadis yang menyatakan salat di Masjidil Haram pahalanya seratus ribu kali lipat di banding di masjid lain.
Artinya: “Dari Ibn az-Zubair ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa salat di Masjid-ku (Masjid Nabawi) ini lebih utama dibanding seribu salat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedang shalat di Masjidil Haram lebih utama di banding salat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus ribu salat”. (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Hadis ini telah memotivasi setiap umat Islam, khususnya bagi jemaah haji yang punya kesempatan untuk berbondong-bondong mendatangi Masjidil Haram , siang maupun malam. Mereka berusaha datang ke Masjidil Haram dalam kondisi apa pun, untuk mendapatkan pahala salat itu.
Lantas bagaimana jika jemaah haji lanjut usia (lansia) yang memiliki keterbatasan, sakit, dan risiko tinggi (risti), atau jemaah yang jauh dari Masjidil Haram sehingga shalatnya berada di hotel atau masjid terdekat tempat menginapnya, apakah pahalanya sama dengan salat di Masjidil Haram?
Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuti, yang dimaksudkan dengan Masjidil Haram adalah seluruh Tanah Haram. Karenanya menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Mekkah tidak dikhusukan di Masjidil Haram saja, tetapi mencakup semua Tanah Haram.
Artinya: “Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Mekkah tidak khusus di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 523)
Pandangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi itu selaras dengan pandangan mayoritas ulama. Hal ini bisa kita pahami dalam keterangan yang terdapat dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
“Madzhab Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat pelipatgandaan (pahala di Tanah Haram Makkah) itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah”. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, cet ke-2, 1427 H, juz, 37, h. 239)
Jika penjelasan ini ditarik ke dalam konteks besarnya jamaah haji lansia Indonesia sekitar 67.000 dari total 229.000, yang memerlukan pelayanan khusus lantaran ada peningkatan risiko terkena penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan lainnya, maka sebenarnya pahala shalat di masjid yang dekat dengan tempat penginapan atau bahkan shalat jemaah di hotel sama dengan salatdi Masjidil Haram.
Sebab yang dimaksudkan dengan Masjdil Haram bukan hanya Masjdil Haram yang di dalamnya ada Ka’bahnya, tetapi keseluruhan Tanah Haram Mekkah.
Ketika Rasulullah Saw melaksanakan haji wada’, dan saat tiba di Mekkah, setelah selesai tawaf dan sa’i, Nabi menunggu haji dengan tinggal di Abthah. Selama di Abthah, Rasulullah tidak pernah ke Ka’bah hingga selesai wukuf di Arafah.
Perbuatan Nabi ini dijadikan dasar oleh para ulama bahwa seluruh tanah haram Mekkah memiliki keutamaan sebanding dengan Masjidil Haram. Nabi selama di Mekkah tinggal di Hujun atau Abthah berdasarkan hadits yang artinya sebagai berikut:
“…Kemudian beliau tinggal di bagian atas Mekkah pada al-Hajun, sementara beliau telah berihram haji. Beliau tidak pernah mendekati Ka’bah selesai tawaf hingga kembali dari Arafah.…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hlm. 186, nomor hadis 1545).
Nabi tinggal di Abthah sebelum haji selama empat hari yaitu pada Minggu, Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Kamis, beliau meninggalkan Mekkah menuju Arafah dengan terlebih dulu singgah di Mina. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas ra. yang artinya sebagai berikut;
“Dari Ibnu Abbas Ra berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw singgah di Abthoh, di dekat Mekkah bermukim bersama para sahabat selama empat hari; Ahad, Senin, Selasa dan Rabu.” (Lihat Fakhruddin az-Zubair bin, Ali al-Muhsi, Syarh Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah lil al-Banin, h. 343).
Setelah selesai haji, Nabi pun tidak tinggal di Mekkah. Ketika beliau telah menyelesaikan mabit di Mina pada hari tasyriq ke tiga (nafar tsani), Nabi menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf wada’ dan setelah itu beliau langsung berangkat bersama rombongan kembali ke Madinah.
Ini berarti, Jemaah haji lansia yang selalu berada di hotel dan tidak sempat salat di Masjidil Haram karena udzur juga masih mendapat keutamaan mengikuti sunnah Rasul di mana selama menunggu haji beliau tidak pernah mendekati Ka’bah.
Selain mengikuti Nabi, juga senada dengan kaidah fikih “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih” (mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan). Dalam kasus jemaah lansia, menghindari risiko fisik jauh lebih diutamakan daripada keinginan mengejar pahala berlipat di Masjidil Haram. Apalagi pahala yang diperoleh juga sama. Inilah yang menjadi alasan mengapa salat di hotel bagi jemaah lansia lebih utama.
Pada musim haji, Masjidil Haram sangat padat. Jemaah sulit mendapatkan tempat duduk dan jaraknya jauh, sehingga menguras tenaga dan melelahkan. Belum lagi tata ruang masjid yang sulit dikenali, sehingga memungkinkan jemaah untuk kesasar. Hal ini sangat berisiko bagi jemaah haji lansia, lemah, dan risiko tinggi.
وَعَنِ اِبْنِ اَلزُّبَيْرِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلَّا اَلْمَسْجِدَ اَلْحَرَامَ، وَصَلَاةٌ فِي اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةٍ فِي مَسْجِدِي بِمِائَةِ صَلَاةٍ (رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ)
Artinya: “Dari Ibn az-Zubair ra ia berkata, Rasulullah saw bersabda, bahwa salat di Masjid-ku (Masjid Nabawi) ini lebih utama dibanding seribu salat di masjid lain kecuali Masjidil Haram. Sedang shalat di Masjidil Haram lebih utama di banding salat di Masjidku dengan kelipatan pahala seratus ribu salat”. (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Ibnu Hibban).
Hadis ini telah memotivasi setiap umat Islam, khususnya bagi jemaah haji yang punya kesempatan untuk berbondong-bondong mendatangi Masjidil Haram , siang maupun malam. Mereka berusaha datang ke Masjidil Haram dalam kondisi apa pun, untuk mendapatkan pahala salat itu.
Lantas bagaimana jika jemaah haji lanjut usia (lansia) yang memiliki keterbatasan, sakit, dan risiko tinggi (risti), atau jemaah yang jauh dari Masjidil Haram sehingga shalatnya berada di hotel atau masjid terdekat tempat menginapnya, apakah pahalanya sama dengan salat di Masjidil Haram?
Menurut Imam Jalaluddin as-Suyuti, yang dimaksudkan dengan Masjidil Haram adalah seluruh Tanah Haram. Karenanya menurut Imam Jalaluddin as-Suyuthi, pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Mekkah tidak dikhusukan di Masjidil Haram saja, tetapi mencakup semua Tanah Haram.
أَنَّ التَّضْعِيفَ فِي حَرَمِ مَكَّةَ لَا يُخْتَصُّ بِالْمَسْجِدِ بَلْ يَعُمُّ جَمِيعَ الْحَرَمِ
Artinya: “Sesungguhnya pelipatgandaan pahala di Tanah Haram Mekkah tidak khusus di Masjidil Haram tetapi meliputi seluruh Tanah Haram. (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, Bairut-al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1403 H, h. 523)
Pandangan Imam Jalaluddin as-Suyuthi itu selaras dengan pandangan mayoritas ulama. Hal ini bisa kita pahami dalam keterangan yang terdapat dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ فِي الْمَشْهُورِ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْمُضَاعَفَةَ تَعُمُّ جَمِيعَ حَرَمِ مَكَّةَ
“Madzhab Hanafi dalam pendapat yang masyhur, Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat pelipatgandaan (pahala di Tanah Haram Makkah) itu meliputi seluruh Tanah Haram Makkah”. (Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Thab’ al-Wizarah, cet ke-2, 1427 H, juz, 37, h. 239)
Jika penjelasan ini ditarik ke dalam konteks besarnya jamaah haji lansia Indonesia sekitar 67.000 dari total 229.000, yang memerlukan pelayanan khusus lantaran ada peningkatan risiko terkena penyakit kronis, seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan lainnya, maka sebenarnya pahala shalat di masjid yang dekat dengan tempat penginapan atau bahkan shalat jemaah di hotel sama dengan salatdi Masjidil Haram.
Sebab yang dimaksudkan dengan Masjdil Haram bukan hanya Masjdil Haram yang di dalamnya ada Ka’bahnya, tetapi keseluruhan Tanah Haram Mekkah.
Ketika Rasulullah Saw melaksanakan haji wada’, dan saat tiba di Mekkah, setelah selesai tawaf dan sa’i, Nabi menunggu haji dengan tinggal di Abthah. Selama di Abthah, Rasulullah tidak pernah ke Ka’bah hingga selesai wukuf di Arafah.
Perbuatan Nabi ini dijadikan dasar oleh para ulama bahwa seluruh tanah haram Mekkah memiliki keutamaan sebanding dengan Masjidil Haram. Nabi selama di Mekkah tinggal di Hujun atau Abthah berdasarkan hadits yang artinya sebagai berikut:
“…Kemudian beliau tinggal di bagian atas Mekkah pada al-Hajun, sementara beliau telah berihram haji. Beliau tidak pernah mendekati Ka’bah selesai tawaf hingga kembali dari Arafah.…” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, hlm. 186, nomor hadis 1545).
Nabi tinggal di Abthah sebelum haji selama empat hari yaitu pada Minggu, Senin, Selasa dan Rabu. Pada hari Kamis, beliau meninggalkan Mekkah menuju Arafah dengan terlebih dulu singgah di Mina. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu ‘Abbas ra. yang artinya sebagai berikut;
“Dari Ibnu Abbas Ra berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw singgah di Abthoh, di dekat Mekkah bermukim bersama para sahabat selama empat hari; Ahad, Senin, Selasa dan Rabu.” (Lihat Fakhruddin az-Zubair bin, Ali al-Muhsi, Syarh Manasik al-Hajj wa al-‘Umrah lil al-Banin, h. 343).
Setelah selesai haji, Nabi pun tidak tinggal di Mekkah. Ketika beliau telah menyelesaikan mabit di Mina pada hari tasyriq ke tiga (nafar tsani), Nabi menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf wada’ dan setelah itu beliau langsung berangkat bersama rombongan kembali ke Madinah.
Mengapa Jemaah Haji Lansia Lebih Baik Salat di Hotel?
Berdasar keterangan bahwa seluruh tanah haram Mekkah adalah Masjidil Haram, maka salat di pondokan, di hotel atau di masjid sekitar pondokan, keutamaannya sama dengan salat di Masjidil Haram.Ini berarti, Jemaah haji lansia yang selalu berada di hotel dan tidak sempat salat di Masjidil Haram karena udzur juga masih mendapat keutamaan mengikuti sunnah Rasul di mana selama menunggu haji beliau tidak pernah mendekati Ka’bah.
Selain mengikuti Nabi, juga senada dengan kaidah fikih “Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil masholih” (mencegah kerusakan lebih utama daripada meraih kebaikan). Dalam kasus jemaah lansia, menghindari risiko fisik jauh lebih diutamakan daripada keinginan mengejar pahala berlipat di Masjidil Haram. Apalagi pahala yang diperoleh juga sama. Inilah yang menjadi alasan mengapa salat di hotel bagi jemaah lansia lebih utama.
Pada musim haji, Masjidil Haram sangat padat. Jemaah sulit mendapatkan tempat duduk dan jaraknya jauh, sehingga menguras tenaga dan melelahkan. Belum lagi tata ruang masjid yang sulit dikenali, sehingga memungkinkan jemaah untuk kesasar. Hal ini sangat berisiko bagi jemaah haji lansia, lemah, dan risiko tinggi.
(wid)