Ini Perbedaan Ekonomi Islam dan Materialisme Menurut Syaikh Al-Qardhawi
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan ekonomi Islam merupakan sistem yang berbeda dengan sistem-sistem yang ada saat ini, baik yang berorientasi ke kanan atau ke kiri atau yang dikenal dengan sistem Materialis dan Sosialis.
"Islam berbeda dengan keduanya secara menyeluruh dalam berbagai segi, apalagi Islam lebih mendahului keduanya lebih dari 12 abad yang lalu," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Islam dan Materialisme
Al-Qardhawi lalu membanding ekonomi Islam dan materialisme. Menurutnya, sistem ekonomi materialis tegak di atas pengkultusan terhadap kebebasan individu dan terlepas dari segala ikatan. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan dan menafkahkan dengan berbagai sarana yang dimiliki tanpa adanya aturan dan pembatasan.
"Adapun hak masyarakat atas hartanya dan di dalam pengawasannya serta perhitungan atas pemilikannya, pengembangan dan pendistribusiannya, adalah hak yang lemah, bahkan hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa," jelasnya.
Sementara dari hati nurani mereka tidak lagi memiliki rasa pengawasan dan tanggung jawab yang menjadikannya menghormati kebenaran dan memeliharanya. Bahkan setiap saat mereka berusaha sedapat mungkin untuk lolos dari pengawasan hukum.
Adapun Islam, kata al-Qardhawi, sungguh telah kita lihat bahwa dia meletakkan batas-batas atas pemilikan (hak milik) dan karya, juga batas-batas dalam pengembangan, pengeluaran dan pembelanjaannya.
Islam menentukan batas-batas atas pemilikan, yang sebagiannya bersifat selamanya dan sebagian lagi bersifat sementara. Islam juga menghapus bentuk pemilikan yang diharamkan dan melarang riba, menimbun, menipu dan yang lainnya dari segala sesuatu yang menafikan (mengesampingkan) akhlak dan bertentangan dengan kemaslahatan umum.
Islam juga menjadikan hati nurani seorang Muslim untuk selalu melihat Al Khaliq Allah SWT, sebelum makhluk-Nya dalam setiap permasalahan. "Dialah yang menjaga dan mengawasi pertama kali untuk memelihara hak-hak tersebut dari pemilik harta yang sesungguhnya. Dia-lah Allah SWT," kata al-Qardhawi. .
Islam juga memberi hak kepada seorang hakim syar'i yang melaksanakan hukum Allah untuk mencabut pemilikan seseorang, apabila ternyata memang bertentangan dengan kemaslahatan umum.
Demikian juga Islam memberi wewenang kepadanya untuk tidak memberikan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya dan orang yang menghambur-hamburkan harta serta menahan mereka untuk tidak mempergunakan harta yang pada hakikatnya merupakan harta masyarakat atau harta Allah menurut prinsip "Istikhlaf" (amanah).
"Islam berbeda dengan keduanya secara menyeluruh dalam berbagai segi, apalagi Islam lebih mendahului keduanya lebih dari 12 abad yang lalu," ujar al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997).
Islam dan Materialisme
Al-Qardhawi lalu membanding ekonomi Islam dan materialisme. Menurutnya, sistem ekonomi materialis tegak di atas pengkultusan terhadap kebebasan individu dan terlepas dari segala ikatan. Setiap individu bebas memiliki, mengembangkan dan menafkahkan dengan berbagai sarana yang dimiliki tanpa adanya aturan dan pembatasan.
"Adapun hak masyarakat atas hartanya dan di dalam pengawasannya serta perhitungan atas pemilikannya, pengembangan dan pendistribusiannya, adalah hak yang lemah, bahkan hampir tidak memiliki pengaruh apa-apa," jelasnya.
Sementara dari hati nurani mereka tidak lagi memiliki rasa pengawasan dan tanggung jawab yang menjadikannya menghormati kebenaran dan memeliharanya. Bahkan setiap saat mereka berusaha sedapat mungkin untuk lolos dari pengawasan hukum.
Adapun Islam, kata al-Qardhawi, sungguh telah kita lihat bahwa dia meletakkan batas-batas atas pemilikan (hak milik) dan karya, juga batas-batas dalam pengembangan, pengeluaran dan pembelanjaannya.
Islam menentukan batas-batas atas pemilikan, yang sebagiannya bersifat selamanya dan sebagian lagi bersifat sementara. Islam juga menghapus bentuk pemilikan yang diharamkan dan melarang riba, menimbun, menipu dan yang lainnya dari segala sesuatu yang menafikan (mengesampingkan) akhlak dan bertentangan dengan kemaslahatan umum.
Islam juga menjadikan hati nurani seorang Muslim untuk selalu melihat Al Khaliq Allah SWT, sebelum makhluk-Nya dalam setiap permasalahan. "Dialah yang menjaga dan mengawasi pertama kali untuk memelihara hak-hak tersebut dari pemilik harta yang sesungguhnya. Dia-lah Allah SWT," kata al-Qardhawi. .
Islam juga memberi hak kepada seorang hakim syar'i yang melaksanakan hukum Allah untuk mencabut pemilikan seseorang, apabila ternyata memang bertentangan dengan kemaslahatan umum.
Demikian juga Islam memberi wewenang kepadanya untuk tidak memberikan harta kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya dan orang yang menghambur-hamburkan harta serta menahan mereka untuk tidak mempergunakan harta yang pada hakikatnya merupakan harta masyarakat atau harta Allah menurut prinsip "Istikhlaf" (amanah).
(mhy)