Permainan dan Seni, Syaikh Al-Qardhawi: Banyak yang Terjerumus Berlebihan
loading...
A
A
A
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan pembahasan yang paling rumit dan paling sulit berkaitan dengan masyarakat Islam adalah masalah permainan dan seni . Hal itu karena kebanyakan manusia dalam hal ini terjerumus pada permasalahan antara berlebihan dan mempermudah, mengingat karena masalah permainan dan seni ini lebih berkaitan dengan perasaan hati nurani daripada akal dan pemikiran.
"Dan selama terjadi demikian itu permasalahannya, maka akan lebih banyak kemungkinan untuk munculnya sikap berlebihan di satu sisi dan mempermudah di sisi yang lain," ujar Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997)
Ada sebagian yang memahami bahwa masyarakat Islam itu adalah masyarakat ibadah dan taat, masyarakat yang serius dan disibukkan oleh amal, maka tidak ada kesempatan di dalamnya untuk bermain-main, bersenda gurau atau menyanyi dan bermain musik.
Tidak diperbolehkan lagi bagi bibir ini untuk tersenyum, bagi mulut untuk tertawa dan bagi hati untuk bergembira, tidak pula bagi kebahagiaan untuk berseri di wajah manusia.
Menurut al-Qardhawi, barangkali pemahaman seperti ini didukung oleh perilaku sebagian aktivis dakwah, yaitu mereka yang wajahnya selalu cemberut, pelipisnya nampak bergaris, gigi taringnya kelihatan, seakan ia manusia yang berputus asa, gagal atau bahkan gangguan jiwa.
Perilaku yang aneh ini mereka pahami seakan merupakan ajaran Islam. Maksudnya, kata al-Qardhawi, mereka telah mengatasnamakan semua perilaku ini sebagai tuntutan ajaran Islam. Padahal agama tidak punya dosa apa-apa, kecuali kesalahpahaman mereka saja yang telah mengambil hanya sebagian nash, tidak berusaha untuk mengambil atau membandingkan dengan nash yang lainya.
"Bisa jadi dalam masalah-masalah tertentu boleh saja bagi mereka untuk bersikap keras terhadap diri mereka jika memang mereka puas dengan hal itu, akan tetapi yang berbahaya di sini adalah jika mereka memukul rata kekerasaan itu kepada seluruh masyarakat dan memaksakan pendapatnya. Sehingga menimbulkan fitnah dan membuat masalah dalam kehidupan manusia seluruhnya," jelas al-Qardhawi.
Menurutnya, kebalikan dari mereka itu adalah orang-orang yang melepaskan segala ikatan etika, norma untuk memperturutkan keinginan hawa nafsunya. Sehingga jadilah seluruh kehidupannya untuk bermain-main, dan mereka menghilangkan itu batas-batas yang boleh dan yang tidak boleh, antara yang harus dilakukan dan yang tertolak, dan antara yang halal dengan yang haram.
Maka kita lihat mereka itu mengajak pada kerusakan akhlak dan mempromosikan kebebasan serta menyebarkan hal-hal yang keji, baik yang zahir maupun yang batin, dengan mengatasnamakan seni, atau sarana hiburan. "Mereka lupa bahwa yang dinilai itu adalah esensi dan isinya, bukan nama dan simbolnya, dan segala sesuatu itu dilihat maksud dan motivasinya," ujar al-Qardhawi.
Oleh karena itu harus ada pandangan yang adil terhadap pembahasan ini. Jauh dari kekerasan sikap sebagian manusia dan sikap mempermudah sebagian yang lainya. Yakni pandangan yang sesuai dengan nash-nash yang benar-benar shahih, yang dalilnya (maknanya) jelas dan di bawah naungan maqasid syari'ah (maksud syari'ah) dan kaidah-kaidah fiqih yang juga sudah ditetapkan.
"Dan selama terjadi demikian itu permasalahannya, maka akan lebih banyak kemungkinan untuk munculnya sikap berlebihan di satu sisi dan mempermudah di sisi yang lain," ujar Syaikh Yusuf Qardhawi dalam bukunya berjudul "Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh" yang dalam edisi Indonesia menjadi "Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah" (Citra Islami Press, 1997)
Ada sebagian yang memahami bahwa masyarakat Islam itu adalah masyarakat ibadah dan taat, masyarakat yang serius dan disibukkan oleh amal, maka tidak ada kesempatan di dalamnya untuk bermain-main, bersenda gurau atau menyanyi dan bermain musik.
Tidak diperbolehkan lagi bagi bibir ini untuk tersenyum, bagi mulut untuk tertawa dan bagi hati untuk bergembira, tidak pula bagi kebahagiaan untuk berseri di wajah manusia.
Baca Juga
Menurut al-Qardhawi, barangkali pemahaman seperti ini didukung oleh perilaku sebagian aktivis dakwah, yaitu mereka yang wajahnya selalu cemberut, pelipisnya nampak bergaris, gigi taringnya kelihatan, seakan ia manusia yang berputus asa, gagal atau bahkan gangguan jiwa.
Perilaku yang aneh ini mereka pahami seakan merupakan ajaran Islam. Maksudnya, kata al-Qardhawi, mereka telah mengatasnamakan semua perilaku ini sebagai tuntutan ajaran Islam. Padahal agama tidak punya dosa apa-apa, kecuali kesalahpahaman mereka saja yang telah mengambil hanya sebagian nash, tidak berusaha untuk mengambil atau membandingkan dengan nash yang lainya.
"Bisa jadi dalam masalah-masalah tertentu boleh saja bagi mereka untuk bersikap keras terhadap diri mereka jika memang mereka puas dengan hal itu, akan tetapi yang berbahaya di sini adalah jika mereka memukul rata kekerasaan itu kepada seluruh masyarakat dan memaksakan pendapatnya. Sehingga menimbulkan fitnah dan membuat masalah dalam kehidupan manusia seluruhnya," jelas al-Qardhawi.
Menurutnya, kebalikan dari mereka itu adalah orang-orang yang melepaskan segala ikatan etika, norma untuk memperturutkan keinginan hawa nafsunya. Sehingga jadilah seluruh kehidupannya untuk bermain-main, dan mereka menghilangkan itu batas-batas yang boleh dan yang tidak boleh, antara yang harus dilakukan dan yang tertolak, dan antara yang halal dengan yang haram.
Maka kita lihat mereka itu mengajak pada kerusakan akhlak dan mempromosikan kebebasan serta menyebarkan hal-hal yang keji, baik yang zahir maupun yang batin, dengan mengatasnamakan seni, atau sarana hiburan. "Mereka lupa bahwa yang dinilai itu adalah esensi dan isinya, bukan nama dan simbolnya, dan segala sesuatu itu dilihat maksud dan motivasinya," ujar al-Qardhawi.
Oleh karena itu harus ada pandangan yang adil terhadap pembahasan ini. Jauh dari kekerasan sikap sebagian manusia dan sikap mempermudah sebagian yang lainya. Yakni pandangan yang sesuai dengan nash-nash yang benar-benar shahih, yang dalilnya (maknanya) jelas dan di bawah naungan maqasid syari'ah (maksud syari'ah) dan kaidah-kaidah fiqih yang juga sudah ditetapkan.
(mhy)