Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah

Kamis, 13 Agustus 2020 - 08:21 WIB
loading...
Mullah Nashruddin, Keledai, dan Kualitas Magis Berkah
Ilustrasi/Ist
A A A
SEBUAH lelucon Mullah Nashruddin , yang dipisahkan dari terminologi teknisnya (kemungkinan akibat penterjemahan), masih bisa dirasakan nilai humornya . Dalam hal ini sebagian besar dampaknya mungkin hilang. Contohnya adalah lelucon tentang garam dan wool ini. ( )

Nashruddin tengah membawa muatan garam ke pasar. Keledainya berjalan menyeberangi sungai, dan garamnya pun meleleh. Ketika sampai di seberang sungai, keledai tersebut berjalan lincah karena muatannya menjadi ringan. Maka Nashruddin menjadi marah. ( )

Pada hari pasaran berikutnya ia memuati kantong pelananya dengan wool. Keledainya hampir tenggelam dengan meningkatnya beban ketika binatang tersebut keluar dari air.

"Bah!" ucap Nashruddin penuh kemenangan, "itu akan mengajari untuk berpikir bahwa engkau akan memperoleh sesuatu setiap kali engkau melewati air."
( )

Pada cerita asalnya, dua istilah teknis dipergunakan, garam dan wool. "Garam" (milh) adalah homonim untuk "menjadi baik, bijak".

Keledai adalah simbol untuk manusia. Dengan menumpahkan beban kebajikan umumnya, seseorang akan merasa lebih baik, karena kehilangan beban. Akibatnya ia kehilangan makanannya, sebab Nashruddin tidak bisa menjual garam untuk membeli pakan ternaknya.
( )

Kata "wool" tentu saja merupakan kata lain untuk "Sufi". Pada perjalanan keduanya, keledai tersebut telah meningkatkan bebannya melalui wool, karena adanya maksud dari sang guru, Nashruddin.

Bebannya meningkat selama perjalanan menuju pasar. Tetapi hasil akhirnya menjadi lebih baik, sebab Nashruddin menjual wool basah, tentu saja lebih berat dari sebelumnya, dengan harga yang lebih tinggi dari wool kering.

Idries Shah dalam The Sufis menyebut lelucon lain, yang juga ditemukan pada Cervantes (Don Quixote, Bagian 5), tetap menjadi sebuah lelucon meskipun istilah teknis "takut" semata-mata diterjemahkan apa adanya dan tidak dijelaskan:

"Aku akan mengantungmu!" ucap seorang raja lalim dan bodoh kepada Nashruddin. "Jika engkau tidak bisa membuktikan bahwa dirimu memiliki wawasan yang mendalam seperti yang telah dinisbatkan kepadamu."

Mendadak Nashruddin menyatakan bahwa dirinya bisa melihat seekor burung emas di langit dan iblis di dalam bumi. "Tetapi bagaimana engkau bisa melakukannya?" tanya sang raja. "Rasa takut," jawab Nashruddin, "itulah yang Tuan perlukan."

"Takut" dalam kosa kata Sufi, menurut Idries Shah, merupakan pengaktifan kesadaran yang bisa menghasilkan persepsi surga-inderawi (extra -sensory).

Ini merupakan suatu kawasan di mana akal-formal tidak dipergunakan, dan fakultas lain dari jiwa (mind) didorong untuk bekerja.



Tetapi Nashruddin, dengan cara yang sama sekali unik, berusaha mempergunakan pirantHntelektualitas yang sama untuk tujuan-tujuannya sendiri. Gema dari tujuan ini bisa ditemukan pada the Legend of Nasrudin, di mana di dalamnya diriwayatkan bahwa Hussein, pendiri sistem tersebut, mengambil utusannya yang telah dirancang, Nashruddin, dari cengkeraman "Pendosa Tua" -- sistem pemikiran yang mentah di mana hampir kita semua hidup di dalamnya.

"Hussein" dalam bahasa Arab dikaitkan dengan konsep kebajikan, "Hussein" bermakna "kuat, sulit untuk dimasuki".

Ketika Hussein mencari ke seluruh dunia seorang guru yang akan membawa pesannya ke seluruh generasi, ia hampir putus asa ketika mendengar suara ribut. Sang Pendosa-Tua memakai salah satu muridnya karena menceritakan lelucon. "Nashruddin" bentak sang Pendosa-Tua, "karena sikapmu yang keterlaluan aku mengutukmu menjadi bahan kekonyolan dunia. Oleh sebab itu, jika satu dari cerita-ceritamu yang rancu diceritakan, maka enam cerita lagi pasti akan terdengar secara beruntun sampai engkau terlihat jelas sebagai sosok yang lucu."



Diyakini bahwa pengaruh mistis dari tujuh cerita Nashruddin, yang dipelajari secara beruntun, adalah cukup untuk mempersiapkan seseorang menuju pencerahan.

Hussein, yang menguping hal itu, menyadari bahwa dari setiap situasi akan muncul pengobatannya sendiri, dan dengan demikian dari cara dimana kejahatan-kejahatan Pendosa-Tua terjadi itulah bisa dibawa pada perspektifnya yang sejati. Ia akan menjaga kebenaran melalui Nashruddin.

Ia memanggil Nashruddin dalam mimpi dan menanamkan sejumlah berkahnya ke dalam dirinya. Barakah merupakan kekuatan sufi, menembus secara batin ke dalam signifikansi-nominal dari makna.



Dari sinilah semua cerita tentang Nashruddin menjadi karya seni "independen". Mereka bisa dipahami sebagai lelucon; mereka memiliki suatu makna metafisis; cerita-cerita itu demikian kompleks dan mengandung sebagian dari sifat keutuhan dan kesempurnaan yang telah dicuri dari kesadaran manusia karena aktivitas-aktivitas dari Pendosa-Tua tersebut (sistem pemikiran yang mentah).

Dilihat dari sudut pandang biasa, barakah memiliki kualitas "magis" -- meskipun ia secara esensial merupakan suatu kesatuan dan pendorong serta substansi dari realitas obyektif.

bagian ( 1 ) dan ( 2 )

Salah satu dari kualitas ini adalah siapa saja yang diberi barakah, atau setiap obyektif yang terkait dengannya, tidak menjadi soal berapa banyak ia telah diubah karena dampak dari orang ini secara spiritual tercurahkan. Oleh sebab itu, pengulangan semata-mata sebuah lelucon Nashruddin akan membawa barakah.

"Maka dengan cara inilah ajaran-ajaran Nashruddin dari jalur Hussein ditanamkan selamanya di dalam suatu piranti yang secara keseluruhan tidak bisa diselewengkan tanpa bisa diperbaiki kembali. Seperti air, secara esensial semuanya adalah air, maka dalam pengalaman-pengalaman Nashruddin terdapat suatu takaran minimum yang tidak teredaksi yang bisa memberikan jawaban suatu panggilan, dan akan berkembang jika didorong."

Takaran minimum tersebut adalah kebenaran (truth), dan melalui kebenaran inilah dicapai kesadaran sejati.(
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2042 seconds (0.1#10.140)