Pemilu: Perbedaan Sikap Ulama dan Fatwa MUI tentang Haramnya Golput
loading...
A
A
A
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk golput atau tidak menggunakan hak pilih pada saat pemilu. Fatwa tersebut dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 2009, ketika Majelis Ulama Indonesia melakukan sidang Ijtima ke-III yang digelar di Padang Panjang, Sumatera Barat .
Berdasarkan hasil sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut, disepakati lima point penting, yaitu:
(1) Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
(2) Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imâmah dan imârah dalam kehidupan bersama.
(3) Imâmah dan imârah dalam Islam menghajatkan syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat.
(4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
(5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Fatwa tersebut kemudian diikuti dua rekomendasi, yaitu:
(1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya untuk mengemban tugas amar makrûf nahy munkar.
(2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Sodikin dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam papernya berjudul "Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam" menyebut setelah keluarnya fatwa MUI tersebut, banyak tanggapan pro dan kontra dari pelbagai kalangan. Ada yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan agar ada wakil dari umat Islam yang duduk di DPR.
Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan fatwa MUI tersebut karena golput berkaitan dengan hak memilih, bukan wajib memilih.
Di samping itu, dengan keluarnya fatwa tersebut ada yang berpendapat bahwa MUI membenarkan praktik pemilu sekarang ini yang menimbulkan banyak kemudaratan.
Mekanisme pemilihan pemimpin sudah menyimpang dari nilai-nilai syariah, bahkan dengan fatwa tersebut MUI telah melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
Fatwa tersebut sebenarnya sebagai salah satu upaya dari MUI agar umat Islam memilih pemimpin yang memenuhi kriteria syar’i, meskipun pelaksanaan pemilu itu sendiri sudah sangat liberal dan menyimpang dari ajaran hukum Islam.
Oleh karena itu, maka wajar jika banyak kalangan yang tidak mendukung adanya fatwa dari MUI tersebut.
Hal ini, meskipun mekanisme dan sistem pelaksanaan pemilu yang belum sesuai dengan syariah, tetapi setidaknya MUI telah memberikan peringatan kepada umat tentang pentingnya pemilihan umum untuk memilih perwakilan umat atau penguasa yang amanah sesuai dengan tuntutan Rasulullah SAW.
Pemilihan umum di Indonesia yang merupakan praktik ketatanegaraan yang harus diselenggarakan untuk memilih pemimpin maupun perwakilan rakyat di lembaga perwakilan telah menimbulkan permasalahan.
Dengan demikian, MUI memberikan jalan keluar (meskipun banyak juga yang tidak sependapat) agar umat Islam tidak terjebak dalam permainan politik yang dilakukan oleh kaum kafir yang tidak suka dengan Islam yang kemudian merugikan umat Islam.
Sodikin mengatakan apabila mencermati pendapat di atas dengan memperhatikan pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan di Indonesia, tentu dapat dilihat bahwa memilih wakil rakyat untuk melakukan tugas sesuai syariah dan dalam praktik ketatanegaraan berfungsi untuk melakukan check and balance atau muhâsabah li al-hukkâm (mengoreksi penguasa), tentu saja hukumnya boleh.
Hal ini karena pemilih memilih atau memberikan wakâlah kepada wakilnya untuk melakukan tugasnya diperbolehkan, mungkin juga hukumnya menjadi wajib.
Begitu juga wakil rakyat yang dipilih dengan tugas membuat undang-undang dengan mekanisme yang dibenarkan dalam syariah, sehingga undang-undang yang lahir dari parlemen merupakan undang-undang yang dibenarkan oleh Islam.
Mekanisme pembuatan undang-undang tidak didasarkan pada suara mayoritas, tetapi didasarkan pada pertimbangan dalil atau karena perintah wahyu. Berarti di sini suara rakyat bukanlah suara Tuhan, tetapi suara Tuhan-lah yang mengatur kehidupan umat manusia (rakyat).
Berdasarkan hasil sidang yang dihadiri sekitar 750 orang ulama tersebut, disepakati lima point penting, yaitu:
(1) Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
(2) Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imâmah dan imârah dalam kehidupan bersama.
(3) Imâmah dan imârah dalam Islam menghajatkan syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujudnya kemaslahatan dalam masyarakat.
(4) Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddîq), terpercaya (amânah), aktif dan aspiratif (tablîgh), mempunyai kemampuan (fathânah) dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
(5) Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 1 (satu) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Fatwa tersebut kemudian diikuti dua rekomendasi, yaitu:
(1) Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya untuk mengemban tugas amar makrûf nahy munkar.
(2) Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Sodikin dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta dalam papernya berjudul "Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam" menyebut setelah keluarnya fatwa MUI tersebut, banyak tanggapan pro dan kontra dari pelbagai kalangan. Ada yang sependapat dengan fatwa MUI itu dengan alasan agar ada wakil dari umat Islam yang duduk di DPR.
Selain itu, ada pula pendapat yang tidak setuju dengan fatwa MUI tersebut karena golput berkaitan dengan hak memilih, bukan wajib memilih.
Di samping itu, dengan keluarnya fatwa tersebut ada yang berpendapat bahwa MUI membenarkan praktik pemilu sekarang ini yang menimbulkan banyak kemudaratan.
Mekanisme pemilihan pemimpin sudah menyimpang dari nilai-nilai syariah, bahkan dengan fatwa tersebut MUI telah melanggengkan bobroknya sistem politik di Indonesia.
Fatwa tersebut sebenarnya sebagai salah satu upaya dari MUI agar umat Islam memilih pemimpin yang memenuhi kriteria syar’i, meskipun pelaksanaan pemilu itu sendiri sudah sangat liberal dan menyimpang dari ajaran hukum Islam.
Oleh karena itu, maka wajar jika banyak kalangan yang tidak mendukung adanya fatwa dari MUI tersebut.
Hal ini, meskipun mekanisme dan sistem pelaksanaan pemilu yang belum sesuai dengan syariah, tetapi setidaknya MUI telah memberikan peringatan kepada umat tentang pentingnya pemilihan umum untuk memilih perwakilan umat atau penguasa yang amanah sesuai dengan tuntutan Rasulullah SAW.
Pemilihan umum di Indonesia yang merupakan praktik ketatanegaraan yang harus diselenggarakan untuk memilih pemimpin maupun perwakilan rakyat di lembaga perwakilan telah menimbulkan permasalahan.
Dengan demikian, MUI memberikan jalan keluar (meskipun banyak juga yang tidak sependapat) agar umat Islam tidak terjebak dalam permainan politik yang dilakukan oleh kaum kafir yang tidak suka dengan Islam yang kemudian merugikan umat Islam.
Sodikin mengatakan apabila mencermati pendapat di atas dengan memperhatikan pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan di Indonesia, tentu dapat dilihat bahwa memilih wakil rakyat untuk melakukan tugas sesuai syariah dan dalam praktik ketatanegaraan berfungsi untuk melakukan check and balance atau muhâsabah li al-hukkâm (mengoreksi penguasa), tentu saja hukumnya boleh.
Hal ini karena pemilih memilih atau memberikan wakâlah kepada wakilnya untuk melakukan tugasnya diperbolehkan, mungkin juga hukumnya menjadi wajib.
Begitu juga wakil rakyat yang dipilih dengan tugas membuat undang-undang dengan mekanisme yang dibenarkan dalam syariah, sehingga undang-undang yang lahir dari parlemen merupakan undang-undang yang dibenarkan oleh Islam.
Mekanisme pembuatan undang-undang tidak didasarkan pada suara mayoritas, tetapi didasarkan pada pertimbangan dalil atau karena perintah wahyu. Berarti di sini suara rakyat bukanlah suara Tuhan, tetapi suara Tuhan-lah yang mengatur kehidupan umat manusia (rakyat).
(mhy)