Hukum Musik dan Nyanyian, Ibnu Hazm: Tergantung Pada Niat
loading...
A
A
A
Syaikh Prof Dr Yusuf al-Qaradawi dalam bukunya berjudul "Fatwa-Fatwa Kontemporer" (Gema Insani Press, 1995) mencontohkan pendapat Ibnu Hazm yang tidak melarang musik dan nyanyian.
Allah SWT berfirman:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." ( QS Luqman : 6)
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Ibnu Hazm dalam kitab "Al Muhalla" mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama, tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah SAW .
Kedua, pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain.
Ketiga, nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
Berikut sanggahan Ibnu Hazm atas pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata:
"Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? Allah SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..." ( QS Yunus , 32)
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barang siapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran.
Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaidah) yang dimaafkan.
Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan adapun hadis-hadis yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya.
Allah SWT berfirman:
"Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu hanya memperoleh azab yang menghinakan." ( QS Luqman : 6)
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi'in untuk mengharamkan nyanyian.
Ibnu Hazm dalam kitab "Al Muhalla" mengatakan bahwa ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat dari beberapa segi:
Pertama, tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah SAW .
Kedua, pendapat ini telah ditentang oleh sebagian sahabat dan tabi'in yang lain.
Ketiga, nash ayat ini justru membatalkan argumentasi mereka, karena di dalamnya menerangkan kualifikasi tertentu:
Baca Juga
Berikut sanggahan Ibnu Hazm atas pendapat orang-orang yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata:
"Mereka berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga? Allah SWT berfirman:
"... maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan ..." ( QS Yunus , 32)
Maka jawaban saya, mudah-mudahan Allah memberi taufik, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya tiap-tiap orang (mendapatkan) apa yang ia niatkan."
Oleh karenanya barang siapa mendengarkan nyanyian dengan niat mendorongnya untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta'ala berarti ia fasik, demikian pula terhadap selain nyanyian.
Dan barangsiapa mendengarkannya dengan niat untuk menghibur hatinya agar bergairah dalam menaati Allah Azza wa Jalla dan menjadikan dirinya rajin melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat dan baik, dan perbuatannya itu termasuk dalam kategori kebenaran.
Dan barangsiapa yang tidak berniat untuk taat juga tidak untuk maksiat, maka mendengarkan nyanyian itu termasuk laghwu (perbuatan yang tidak berfaidah) yang dimaafkan.
Misalnya, orang yang pergi ke taman sekadar rekreasi, atau duduk di pintu rumahnya dengan membuka kancing baju, mencelupkan pakaian untuk mengubah warna, meluruskan kakinya atau melipatnya, dan perbuatan-perbuatan sejenis lainnya."
Yusuf al-Qardhawi juga menyebutkan adapun hadis-hadis yang dijadikan landasan oleh pihak yang mengharamkan nyanyian semuanya memiliki cacat, tidak ada satu pun yang terlepas dari celaan, baik mengenai tsubut (periwayatannya) maupun petunjuknya, atau kedua-duanya.