Makanan Halal: Hukum Daging Binatang Buruan yang Dilukai Anjing
loading...
A
A
A
Daging binatang hasil berburu adalah halal dengan syarat tertentu. Terkait alat berburu, Syaikh Yusuf al-Qardhawi menjelaskan alat yang dipakai ada dua macam. Pertama, alat yang dapat melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Kedua, binatang yang dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung elang, rajawali dan sebagainya.
Hal yang pertama yakni alat yang dapat melukai sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:
". . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. " ( QS al-Maidah : 94)
Sedangkan binatang yang dapat melukai sebagaimana firman Allah:
"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." ( QS al-Maidah : 4)
Khusus berburu dengan binatang yang melukai, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus dididik.
Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Menurut al-Qardhawi, definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, di mana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
Selanjutnya, definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Di antara ahli-ahli fikih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah.
Akan tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
2. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
Menurut al-Qardhawi, ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang.
Dalam hal ini ayat al-Quran telah memerintah dengan tegas "dan sebutlah asma' Allah atasnya" (al-Maidah: 4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi bin Hatim.
Di antara dalil yang menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.
Dalam hal ini Adi pernah bertanya kepada Nabi sebagai berikut:
"Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma' Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak." (Riwayat Ahmad)
Kemudian kalau lupa tidak menyebut asma' Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma' Allah itu ketika makan, sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.
Hal yang pertama yakni alat yang dapat melukai sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:
". . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. " ( QS al-Maidah : 94)
Sedangkan binatang yang dapat melukai sebagaimana firman Allah:
"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." ( QS al-Maidah : 4)
Khusus berburu dengan binatang yang melukai, Syaikh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya berjudul "Halal dan Haram dalam Islam" (PT Bina Ilmu, 1993) menjelaskan kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:
1. Binatang tersebut harus dididik.
Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Menurut al-Qardhawi, definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, di mana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.
Selanjutnya, definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)
Di antara ahli-ahli fikih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.
Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah.
Akan tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.
2. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.
Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:
"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)
Menurut al-Qardhawi, ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang.
Dalam hal ini ayat al-Quran telah memerintah dengan tegas "dan sebutlah asma' Allah atasnya" (al-Maidah: 4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi bin Hatim.
Di antara dalil yang menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.
Dalam hal ini Adi pernah bertanya kepada Nabi sebagai berikut:
"Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma' Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak." (Riwayat Ahmad)
Kemudian kalau lupa tidak menyebut asma' Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma' Allah itu ketika makan, sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.
(mhy)