Kisah Muhammad bin Wasi', Pilih Dicambuk 300 Kali Ketimbang Dijadikan Hakim

Sabtu, 29 Agustus 2020 - 13:15 WIB
loading...
A A A
Majelis Muhammad bin Wasi’ di Masjid Bashrah menjadi tujuan utama para penuntut ilmu, pencari hikmah dan kehidupan hati. Sejarah banyak mencatat tentang berita-berita di majelis itu. Sebagai contoh, ketika ada seseorang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berilah wasiat kepadaku.”



Beliau berkata, “Aku wasiatkan kepadaku kepadamu agar menjadi raja di dunia dan akhirat.”

Penanya terkejut dan berkata, “Bagaimana aku bisa mewujudkannya?”

Beliau berkata, “Jangan sekali-kali tamak terhadap isi dunia, niscaya engkau menjadi raja di dunia, sedangkan di akhirat menjadi raja dengan kemenangan atas pahala-pahala yang ada di sisi Allah.”

Contoh lain, ketika ada yang berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku mencintaimu.”

Beliau berkata, “Semoga Allah mencintaimu karena kecintaan itu.” (

Lalu beliau pergi sambil bergumam, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu bila aku dicintai karena Engkau, padahal Engkau murka kepadaku.”

Setiap kali beliau mendengar pujian dan sanjungan orang terhadap beliau karena ketakwaan dan ibadahnya, beliau berkata, “Andai saja perbuatan dosa itu mengeluarkan bau busuk, niscaya tak seorang pun di antara kalian yang sudi mendekatiku.”

Muhammad bin Wasi’ senantiasa mengingatkan murid-muridnya agar selalu berpegang teguh kepada Kitabullah dan hidup di bawah naugan Al-Qur’an. Beliau berkata, “Al-Qur’an adalah taman bagi setiap mukmin, setiap kali dia menunaikan satu bagian darinya berarti dia telah singgah di tamannya.” ( )

Porsi Makan
Beliau menasehatkan pula agar orang-orang mengurangi porsi makannya, karena barangsiapa yang mengurangi porsi makannya niscaya akan tajam pikiran dan pemahamannya, menjadi lembut dan bersih hatinya. Adapun terlalu kenyang dalam makan akan memberatkan seseorang untuk mewujudkan keinginannya.

Derajat takwa yang dimiliki Muhammad bin Wasi’ mencapai puncak yang tinggi. Sebuah kisah menyebutkan bahwa beliau pernah terlihat di pasar untuk menjual keledainya. Orang yang hendak membelinya bertanya, “Apakah Anda telah rela menjualnya kepadaku, wahai syaikh?”

Beliau menjawab, “Kalau saja aku rela untuk diriku pastilah aku tidak akan menjualnya.”

Sepanjang hidup, beliau senantiasa merasa takut akan dosa-dosanya, takut akan diperiksa Rabb-nya. Karena itulah, setiap kali beliau ditanya, “Bagaimana keadaanmu, wahai Abu Abdillah?”

Beliau menjawab, “Semakin dekat dengan ajalku namun menjauh dari cita-citaku. Alangkah buruknya yang aku perbuat.” ( )

Ketika beliau melihat penanya keheranan, beliau berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang setiap hari berjalan menuju akhirat?”

Di saat Muhammad bin Wasi’ menderita sakit yang tampaknya akan menyebabkan kematiannya, orang-orang datang berbondong-bondong menjenguk beliau hingga rumahnya penuh sesak dengan orang yang keluar masuk, yang duduk dan berdiri. Ketika melihatnya, Muhammad bin Wasi’ mengeluh kepada orang yang berjaga di sisinya, “Apalah faedah hadirnya mereka bagiku, bila kelak aku dituntut dari ubun-ubun hingga telapak kaki. Apa gunanya pula mereka bagiku bila kelak aku dimasukkan ke dalam api neraka.”



Setelah itu beliau berdo’a, “Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas segala kondisi dan kejahatan yang aku lakukan, di tempat yang mana aku berbuat dosa di sana, di pintu kejahatan yang aku masuk dan dari kejahatan yang aku keluar daripadanya dan setiap amal buruk yang aku kerjakan, dari perkataan-perkataan buruk yang aku ucapkan dan aku bicarakan. Ya Allah, aku memohon ampunan-Mu atas sesuatu itu. Ampunilah aku, aku bertaubat kepada-Mu, maka berilah ampunan untukku sehingga aku dapat menjumpai-Mu dengan selamat sebelum dihisab.” ( )
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1986 seconds (0.1#10.140)