Syahidnya Yahya Sinwar: Ingat 3 Sahabat Nabi, Bertempur Habis-habisan sampai Napas Terakhir

Senin, 21 Oktober 2024 - 05:15 WIB
loading...
A A A


Haekal mengisahkan, pada bulan Jumadilawal tahun ke-8 Hijrah (tahun 629 M) Nabi memanggil 3.000 orang pilihan, dari sahabat-sahabatnya, dengan menyerahkan pimpinannya kepada Zaid bin Harithah dengan mengatakan: "Kalau Zaid gugur, maka Ja'far bin Abi Thalib yang memegang pimpinan, dan kalau Ja'far gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang memegang pimpinan."

Ketika pasukan tentara ini berangkat, Khalid bin Walid secara sukarela juga ikut menggabungkan diri. Dengan keikhlasan dan kesanggupannya dalam perang hendak memperlihatkan iktikad baiknya sebagai orang Islam.

Masyarakat ramai mengucapkan selamat jalan kepada komandan-komandan beserta pasukannya itu, dan Nabi Muhammad juga turut mengantarkan mereka sampai ke luar kota, dengan memberikan pesan kepada mereka: "Jangan membunuh wanita, bayi, orang-orang buta atau anak-anak, jangan menghancurkan rumah-rumah atau menebangi pohon-pohon."

Nabi Muhammad SAW mendoakan dan kaum Muslimin juga turut mendoakan dengan berkata: "Tuhan menyertai dan melindungi kamu sekalian. Semoga kembali dengan selamat."

Komandan pasukan itu semua merencanakan hendak menyergap pihak Byzantium secara tiba-tiba, seperti yang biasa dilakukan dalam ekspedisi-ekspedisi yang sudah-sudah. Dengan demikian kemenangan akan diperoleh lebih cepat dan kembali dengan membawa kemenangan. Mereka berangkat sampai di Ma'an di bilangan Syam dengan tidak mereka ketahui apa yang akan mereka hadapi di sana.

Akan tetapi berita keberangkatan mereka sudah lebih dulu sampai. Syurahbil penguasa Heraklius di Syam sudah mengumpulkan kelompok-kelompok kabilah yang ada di sekitarnya.



Pasukan yang terdiri dari orang-orang Yunani dan orang-orang Arab sebagai bantuan dari Heraklius didatangkan pula. Beberapa keterangan menyebutkan, bahwa Heraklius sendirilah yang tampil memimpin pasukannya itu sampai bermarkas di Ma'ab di bilangan Balqa', terdiri dan 100.000 orang Romawi, ditambah dengan 100.000 lagi dari Lakhm, Judham, Qain, Bahra' dan Bali.

Dikatakan juga bahwa Theodore saudara Heraklius itulah yang memimpin pasukan, bukan Heraklius sendiri.

Menurut Haekal, ketika pihak Muslimin berada di Ma'an, adanya kelompok-kelompok itu mereka ketahui. Dua malam mereka berada di tempat itu sambil melihat-lihat apa yang harus mereka lakukan berhadapan dengan jumlah yang begitu besar.

Salah seorang dari mereka ada yang berkata: "Kita menulis surat kepada Rasulullah SAW dengan memberitahukan jumlah pasukan musuh. Kita bisa diberi bala bantuan, atau kita mendapat perintah lain dan kita maju terus."

Saran ini hampir saja diterima oleh suara terbanyak kalau tidak Abdullah bin Rawahah, yang dikenal kesatria dan juga penyair, berkata:

"Saudara-saudara, apa yang tidak kita sukai, justru itu yang kita cari sekarang ini, yaitu mati syahid. Kita memerangi musuh itu bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah orang yang besar. Tetapi kita memerangi mereka hanyalah karena agama juga, yang dengan itu Allah telah memuliakan kita. Oleh karena itu marilah kita maju. Kita akan memperoleh satu dari dua pahala ini: menang atau mati syahid."



Rasa bangga dari penyair pemberani ini segera pula menular kepada anggota-anggota tentara yang lain. Mereka berkata: "Ibnu Rawahah memang benar!"

Mereka lalu maju terus. Ketika sudah sampai di perbatasan Balqa', di sebuah desa bernama Masyarif, mereka bertemu dengan pasukan Heraklius, yang terdiri dari orang-orang Romawi dan Arab. Bilamana posisi musuh sudah dekat pihak Muslimin segera mengelak ke Mu'ta, yang dilihatnya sebagai kubu pertahanan akan lebih baik daripada Masyarif.

Di Mu'tah inilah pertempuran sengit antara 200.000 tentara Heraklius dengan 3.000 tentara Muslimin mulai berkobar.

Alangkah agungnya iman, alangkah kuatnya! Bendera Nabi dibawa oleh Zaid bin Harithah dan dia terus maju ke tengah-tengah musuh. Ia yakin bahwa kematiannya itu takkan dapat dielakkan. Tetapi mati di sini berarti syahid di jalan Allah. Selain kemenangan, hanya ada satu pilihan, yaitu mati syahid. Dan di sinilah Zaid bertempur mati-matian sehingga akhirnya hancur luluh ia oleh tombak musuh.

Saat itu juga benderanya disambut oleh Ja'far bin Abi Thalib dari tangannya. Ketika itu usianya baru 33 tahun, sebagai pemuda yang berwajah tampan dan berani, Ja'far terus bertempur dengan membawa bendera itu.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3541 seconds (0.1#10.140)