Jenis-Jenis Puasa Sunnah, Syarat Sah, dan Rukun Puasa

Senin, 01 Februari 2021 - 19:47 WIB
loading...
A A A
Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah: 185)

Puasa dimulai ketika sudah terbit fajar shadiq atau fajar yang kedua. Allah Ta’ala berfirman:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al- Baqarah: 187)

Yang dimaksud dengan khaithul abyadh di sini adalah fajar shadiq atau fajar kedua karena berwarna putih dan melintang di ufuk seperti benang. Adapun fajar kadzib atau fajar pertama itu bentuknya seperti dzanabus sirhan (ekor serigala). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الفَجْرُ فَجْرَانِ: فَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِيْ يَكُوْنُ كَذَنَبِ السِّرْحَانِ فَلَا يَحِلُّ الصَّلَاةُ وَلَا يُحَرِّمُ الطَّعَامَ، وَأَمَّا الْفَجْرُ الَّذِيْ يَذْهَبُ مُسْتَطِيْلًا فِيْ الأُفُقِ فَإِنَّهُ يَحِلُّ الصَّلَاةُ وَ يُحَرِّمُ الطَّعَامَ

“Fajar itu ada dua: pertama, fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka ini tidak menghalalkan shalat (subuh) dan tidak mengharamkan makan. Kedua, fajar yang memanjang di ufuk, ia menghalalkan shalat (subuh) dan mengharamkan makan (mulai puasa).” (HR. Al-Hakim, al-Baihaqi, di-shahih-kan al-Albani dalam Shahih al-Jami’)

Puasa berakhir ketika terbenam matahari. Allah Ta’ala berfirman:

ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Lalu sempurnakanlah puasa hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)

6. Niat

Niat adalah syarat sah semua amalan. Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إنَّما الأعْمالُ بِالنِّيَّةِ، وإنَّما لِامْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ

“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya. Dan amalan-amalan akan diganjar sesuai dengan apa yang diniatkan. Barangsiapa yang niat hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia pun dianggap berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk suatu tujuan duniawi, atau untuk menikahi seorang wanita maka ganjaran hijrahnya sebatas itu saja.” (HR. Al-Bukhari no.1, Muslim no. 1907)

Untuk puasa wajib, niat harus dijatuhkan dalam hati sebelum terbit fajar. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيامَ قَبْلَ الْفَجْرِ، فَلَا صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak menghadirkan niat puasa di malam hari sebelum terbit fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. An-Nasa`i no. 2331, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih an-Nasa`i)

Adapun puasa nafilah (sunnah) maka boleh menghadirkan niat setelah terbit fajar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan hal tersebut. Sebagaimana dalam hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

قَالَ لِيْ رَسُوْلُ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ ! هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ قَالَتَ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘Kalau begitu aku akan puasa.’” (HR. Muslim no. 1154)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2701 seconds (0.1#10.140)