Ini yang Harus Dilakukan Mubaligh Ketika Menyampaikan Risalah Islam

Minggu, 28 Februari 2021 - 15:02 WIB
loading...
Ini yang Harus Dilakukan Mubaligh Ketika Menyampaikan Risalah Islam
Ketua PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir/Foto/Ilustrasi/muhammadiyah.or.id
A A A
JAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah , Prof Dr Haedar Nashir mengimbau agar para mubalig dapat melihat konteks audiens ketika hendak menyampaikan risalah Islam. Mereka harus memiliki kemampuan untuk membedakan cara berkomunikasi kepada masyakarat muslim yang telah makmur dengan masyarakat pada umumnya.

“Ini tidak ada hubungannya dengan Islam membeda-bedakan. Tetapi kan lain ceritanya, harus ada perbedaan dalam komunikasi dakwah,” tutur Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini dalam acara Strategi Edukasi Zakat yang diselenggarakan Lazismu Pusat pada Sabtu (27/02).



Menurut dia, seseorang yang telah makmur pada umumnya ingin ketentraman dalam hatinya. Makmur atau orang yang sudah tercukupi kebutuhan dasarnya, kebutuhan lainnya yang menuntut untuk dipenuhi adalah kebutuhan aktualisasi diri seperti keinginan dihargai.

Selain memandang status ekonomi, penyampaian dakwah juga harus memperhatikan aspek posisi jabatan seseorang. Egoisme seorang pejabat publik biasanya tinggi sehingga aspek ini penting diperhatikan seorang muballigh.

Hal tersebut disampaikan Haedar agar usaha untuk memperluas literasi zakat diharapkan mampu menyentuh hati setiap insan. ”Maka itu yang disebut dengan dakwah ‘ala ukullihi mistluhu atau dakwah yang sesuai dengan derajat pemikiran dan sebagainya,” imbuh Haedar.

Dakwah merupakan upaya kegiatan mengajak atau menyeru umat manusia agar berada di jalan Allah. Dalam praktik penyampaian risalah Islam, dakwah sebisa mungkin harus menyesuaikan dengan kondisi audiens serta permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, tidak bersifat statis karena persoalan umat saat ini begitu kompleks. “Saya pikir paradigma ini penting agar siapa tahu kita bisa mengubah kondisi,” ucapnya.

Haedar menginginkan agar para mubalig bukan saja paham tentang keutaman zakat, infak, dan shadaqah , akan tetapi mereka juga didukung oleh kemampuan yang baik dalam menyampaikan risalah al Islamiyah. Sebab bila kemampuan ini tidak dimiliki seorang mubalig, maka kesenjangan antara kuantitas umat Islam dengan kualitas amal zakat, infaq, dan shadaqah akan semakin melebar.

“Mereka yang sudah kaya dan beragama Islam, serta mereka yang punya kekuasaan dan beragama Islam, kalau setiap hari diteriaki dengan pendekatan salah dan menyalahkan, ya mereka akan jauh dari ekosistem keislaman kita,” tegas Haedar.

Haedar memaparkan, pendekatannya harus positif, jangan negatif karena usaha literasi itu usaha dakwah. "Ud’u bil hikmah wal mau’idhatil hasanah wa jadilhum bilati hiya ahsan,” ujarnya.

“Biarpun ada ancaman-ancaman surga dan neraka, tapi dalam edukasi yang mauidhah dan hasanah harus sampai ke jantung orang, mengetuk hati orang, dan mengetuk hati orang yang kaya itu berbeda dengan mengetuk hati orang yang biasa,” imbuhnya.

Dalam forum Public Expose Lazismu Pusat terkait Hasil Survei Indeks Literasi Zakat Warga Muhammadiyah, Haedar Nashir mengingatkan Muhammadiyah sendiri mengutamakan pendekatan konstruktif (Muwajahah) daripada pendekatan konfrontatif (Mu’aradhah). Prinsip ini yang menurutnya perlu terus dipegang oleh mubaligh Muhammadiyah, termasuk berdakwah secara jernih dan menghindari pengaruh politik partisan dalam dakwahnya.

“Poin saya adalah pendekatan kita terutama pada mereka yang punya potensi tinggi adalah perlu cara dan pendekatan khusus, ini yang di Muhammadiyah disebut menggeser dari lil mu’aradhah pada pendekatan akomodatif konstruktif agar kita bisa mengubah kondisi,” jelasnya.

“Sesalah-salah orang, pasti ada penyesalan di hati kecilnya. Tapi kalau orang terus disalah-salahkan itu kan kehilangan eksistensi kesabaran dan manusianya,” imbuh Haedar.
(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2238 seconds (0.1#10.140)