Memahami Tawassul: Syirik, Bid'ah, Ataukah Sekadar Adab?

Rabu, 10 Maret 2021 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Imam al-Qurthubi (w 671 H) berkata, “Ayat ini merupakan celaan kepada orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah dalam doa mereka di Masjidil Haram. Imam asy-Syaukani (w 1250 H) berkata dalam kitabnya Tuhfah adz-Dzakirin saat menjelaskan tentang shalat hajat.

"Hadis ini (hadis orang buta yang bertawassul kepada Rasulullah SAW) merupakan dalil tentang bolehnya menjadikan Rasulullah SAW sebagai wasilah kepada Allah SWT."

Namun dengan tetap meyakini bahwa Allah-lah yang menjadi pemberi hajat. Selain itu, hakikatnya bertawassul dalam doa, bukanlah suatu keharusan. Sebagaimana terkabulnya doa, tidaklah secara pasti ditentukan dengan wasilah tersebut. "Justru inti dari tawassul adalah doa itu sendiri, yang ditujukan sebagai ibadah kepada Allah SWT" katanya.



Pendapat Ibnu Taimiyah
Mengutip kitab Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh memaparkan tawassul ada dua bentuk yang disepakati oleh para ulama, sedangkan bentuk tawassul ketiga tidak ada dalilnya. Rinciannya:

1.Tawassul dengan iman dan amal ketaatan pada Allah.
2.Tawassul dengan do’a orang yang masih hidup.

Bentuk kedua seperti perkataan ‘Umar bin Al Khattab kepada Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal dunia,

اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا

“Ya Allah, sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan Nabi-Mu, maka turunkanlah hujan pada kami. Dan sekarang kami bertawassul kepada-Mu lewat perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah pula hujan pada kami.” (HR Bukhari no. 1010).

Tawassul pertama adalah pokok agama, yang tidak diingkari oleh seorang muslim pun. Sedangkan tawassul dengan do’a dan syafa’at -sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin Al Khattab-, maka itu adalah tawassul dengan do’a, bukan dengan zatnya.

Oleh karena itu, para sahabat ketika itu bertawassul dengan paman Nabi Al ‘Abbas. Seandainya tawassul dengan zat (bukan dengan do’a) diperkenankan, maka tentu para sahabat akan bertawassul dengan zat Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah tiada daripada bertawassul dengan Al ‘Abbas bin ‘Abdul Muthollib.

Tatkala para sahabat beralih dari bertawassul pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Abbas, maka benarlah bahwa jika hidup bisa jadi perantara dalam do’a, namun beda halnya ketika telah mati. Sedangkan tawassul jenis pertama yaitu dengan iman dan amalan ketaatan, berlaku selamanya.

Sedangkan tawassul jenis ketiga yang keliru adalah tawassul bermakna sumpah pada Allah dan meminta dengan perantaraan zat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bentuk ketiga ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat ketika meminta hujan atau perkara lainnya. Mereka pun tidak pernah melakukan tawassul semacam itu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup atau telah mati, begitu pula tidak dilakukan di kubur beliau atau kubur lainnya.

Tidak ada pula do’a yang ma’ruf dan masyhur yang berkenaan dengan tawassul semacam itu. Dalil pendukung yang ada hanyalah dari hadis dho’if yang diklaim sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (marfu’) atau sampai pada para sahabat (mauquf). Atau yang jadi pegangan adalah alasan yang tidak bisa dijadikan argument yang kuat.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1114 seconds (0.1#10.140)