Lelaki ini Menceraikan 5 Perempuan Dalam Satu Hari
loading...
A
A
A
Jika benar demikian maka hal ini kembali kepada perselisihan ulama tentangnya.
Mazhab Syafii berpendapat bahwa talak yang diucapkan ketika marah adalah sah.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengatakan bahwa jatuh talaknya orang yang marah baik secara lahir maupun batin adalah sah.
Mazhab Syafii tidak membedakan antara tahap atau tingkatan marah. Syeikh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam Fath Al-Mu’in para ulama sepakat atas jatuhnya talak orang yang marah meskipun ia mengaku hilangnya perasaan oleh sebab marah.
Imam Ar-Ramli di dalam Fatawa-nya juga berpendapat demikian, hanya saja ketika kemarahan sampai kepada tahap hilangnya akal, maka dimaafkan, dalam arti ucapan talaknya tidak jatuh.
Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah , ulama bermazhab Hanbali , dalam Ighatsah Al-Lahfan mengklasifikasikan marah ke dalam tiga tingkatan, di antaranya:
1. Kemarahan tahap awal yang tidak sampai mengubah perasaan dan akal pelakunya. Ia menyadari dan menyengaja terhadap segala apa yang ia ucapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa marah dalam tahap ini adalah jatuh talaknya.
2. Kemarahan yang telah mencapai tahap puncak di mana kehendak dan pengetahuan pelakunya sudah tertutup, sehingga ia tidak mengetahui dan tidak menghendaki terhadap apa yang ia ucapkan. Marah dalam tingkatan ini hukumnya sama dengan orang gila, sehingga ucapan talaknya tidak jatuh. Para ulama juga sependapat dalam hal ini.
3. Kemarahan tahap medium atau tengah-tengah di antara dua tahap di atas. Kemarahan dalam tahap inilah yang menjadi perbedaan pendapat. Syaikh Ibnu Qayyim sendiri memilih tidak sah atau tidak jatuhnya ucapan talak dalam tahap ini. Mazhab Hanafi juga berpendapat sama dengan Syaikh Ibnu Qayyim dalam masalah kemarahan pada tahap ini. Namun, ada ulama yang berpendapat talak dalam kondisi marah medium ini tetap sah.
Pangkal perbedaan pendapat para ulama adalah dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِي غَلاَقٍ
Tidak ada talak (yang sah) dan pembebasan dalam ighlaq (HR Abu Dawud no. 2193).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata ighlaq dalam hadis di atas. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Dawud (yang meriwayatkan hadis di atas) berpendapat bahwa ighlaq artinya marah, sedangkan Imam Asy-Syafii mengartikannya dipaksa.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dapat dipahami menurut sebagian ulama, ucapan talak di saat marah (puncak atau medium), itu tidak membatalkan pernikahan.
Namun demikian, hendaknya kita berusaha menjaga sikap dan kata-kata kita ketika sedang marah. Jangan biasakan dengan entengnya mengucapkan kata-kata kasar apalagi mengatakan kata talak saat marah. Apalagi kalau sudah lama membina rumah tangga dan memiliki anak.
Kalau marah maka diam atau menyingkir saja, jangan membentak atau mengucapkan sesuatu yang dapat membuat kita menyesal.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sabar di kala marah itu menyelamatkan kita dari 1000 momen penyesalan di masa depan.”
Wallahu a’lam bish ash-Shawabi.
Mazhab Syafii berpendapat bahwa talak yang diucapkan ketika marah adalah sah.
Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ mengatakan bahwa jatuh talaknya orang yang marah baik secara lahir maupun batin adalah sah.
Mazhab Syafii tidak membedakan antara tahap atau tingkatan marah. Syeikh Zainuddin Al-Malibari mengatakan dalam Fath Al-Mu’in para ulama sepakat atas jatuhnya talak orang yang marah meskipun ia mengaku hilangnya perasaan oleh sebab marah.
Imam Ar-Ramli di dalam Fatawa-nya juga berpendapat demikian, hanya saja ketika kemarahan sampai kepada tahap hilangnya akal, maka dimaafkan, dalam arti ucapan talaknya tidak jatuh.
Syaikh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah , ulama bermazhab Hanbali , dalam Ighatsah Al-Lahfan mengklasifikasikan marah ke dalam tiga tingkatan, di antaranya:
1. Kemarahan tahap awal yang tidak sampai mengubah perasaan dan akal pelakunya. Ia menyadari dan menyengaja terhadap segala apa yang ia ucapkan. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa marah dalam tahap ini adalah jatuh talaknya.
2. Kemarahan yang telah mencapai tahap puncak di mana kehendak dan pengetahuan pelakunya sudah tertutup, sehingga ia tidak mengetahui dan tidak menghendaki terhadap apa yang ia ucapkan. Marah dalam tingkatan ini hukumnya sama dengan orang gila, sehingga ucapan talaknya tidak jatuh. Para ulama juga sependapat dalam hal ini.
3. Kemarahan tahap medium atau tengah-tengah di antara dua tahap di atas. Kemarahan dalam tahap inilah yang menjadi perbedaan pendapat. Syaikh Ibnu Qayyim sendiri memilih tidak sah atau tidak jatuhnya ucapan talak dalam tahap ini. Mazhab Hanafi juga berpendapat sama dengan Syaikh Ibnu Qayyim dalam masalah kemarahan pada tahap ini. Namun, ada ulama yang berpendapat talak dalam kondisi marah medium ini tetap sah.
Pangkal perbedaan pendapat para ulama adalah dalam memahami hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:
لاَ طَلاَقَ وَلاَ عَتَاقَ فِي غَلاَقٍ
Tidak ada talak (yang sah) dan pembebasan dalam ighlaq (HR Abu Dawud no. 2193).
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata ighlaq dalam hadis di atas. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Dawud (yang meriwayatkan hadis di atas) berpendapat bahwa ighlaq artinya marah, sedangkan Imam Asy-Syafii mengartikannya dipaksa.
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka dapat dipahami menurut sebagian ulama, ucapan talak di saat marah (puncak atau medium), itu tidak membatalkan pernikahan.
Namun demikian, hendaknya kita berusaha menjaga sikap dan kata-kata kita ketika sedang marah. Jangan biasakan dengan entengnya mengucapkan kata-kata kasar apalagi mengatakan kata talak saat marah. Apalagi kalau sudah lama membina rumah tangga dan memiliki anak.
Kalau marah maka diam atau menyingkir saja, jangan membentak atau mengucapkan sesuatu yang dapat membuat kita menyesal.
Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Sabar di kala marah itu menyelamatkan kita dari 1000 momen penyesalan di masa depan.”
Wallahu a’lam bish ash-Shawabi.